Scroll untuk baca artikel

Investasi Hijau Rp9.600 Triliun di 2023, BKPM: Masih Tertinggal

×

Investasi Hijau Rp9.600 Triliun di 2023, BKPM: Masih Tertinggal

Sebarkan artikel ini
Editor: Devi Puspitasari
ekonomi hijau
Ilustrasi investasi hijau (Foto: Int)

KABARBURSA.COM – Menteri Investasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani mengungkapkan bahwa investasi global untuk energi dan bahan bakar terbarukan pada tahun 2023 telah melesat mencapai angka monumental USD 623 miliar, atau sekitar Rp 9.602 triliun. Lonjakan ini mencerminkan peningkatan sebesar 8,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun, meskipun angka tersebut terkesan impresif, Rosan menilai bahwa perkembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di tingkat global masih sangat tidak merata. Kemajuan teknologi EBT saat ini masih terpusat di China, Uni Eropa, dan Amerika Serikat (AS).

“Investasi global untuk energi terbarukan dan bahan bakar terbarukan mencetak rekor baru di angka USD 623 miliar, meningkat 8,1 persen dari tahun ke tahun. Meski demikian, pengembangan energi terbarukan secara regional masih sangat timpang,” jelas Rosan pada Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Kamis, 5 September 2024.

China tetap mendominasi arus investasi EBT global, dengan kontribusi mencapai 44 persen dari total investasi dunia. Uni Eropa menyusul dengan 21 persen, sementara Amerika Serikat berkontribusi sebesar 15 persen terhadap investasi EBT global.

Sebaliknya, Amerika Latin, Afrika, dan Asia – kecuali China – hanya menyumbang 18 persen dari total investasi, meskipun wilayah-wilayah ini mewakili lebih dari dua pertiga populasi dunia.

Rosan mencatat bahwa negara berkembang seperti Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam transisi menuju energi terbarukan. Kendala utama meliputi infrastruktur yang belum memadai, kebutuhan investasi awal yang besar, dan kesulitan dalam mendapatkan pembiayaan untuk sektor EBT.

“Pada tahun 2022, biaya modal untuk proyek di negara berpenghasilan rendah adalah 6,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan negara berpenghasilan tinggi. Biaya modal yang tinggi di negara berkembang disebabkan oleh kekhawatiran terhadap stabilitas hukum, fluktuasi mata uang, dan konvertibilitas,” ungkap Rosan.

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan pentingnya dukungan dari negara maju dalam bentuk investasi dan pendanaan murah bagi negara berkembang. Ia menyoroti bahwa tanpa dukungan tersebut, upaya penanganan dampak perubahan iklim tidak akan mencapai hasil yang signifikan.

“Penanganan perubahan iklim tidak akan efektif jika negara maju tidak berani berinvestasi dan jika riset serta teknologi tidak dibuka secara luas. Selain itu, pendanaan harus disediakan dalam skema yang meringankan beban negara berkembang,” tegas Jokowi saat membuka Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Kamis, 5 September 2024.

Investasi global untuk energi dan bahan bakar terbarukan pada tahun 2023 meroket hingga mencapai angka spektakuler USD 623 miliar, setara dengan sekitar Rp 9.602 triliun. Lonjakan ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 8,1 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Meski angka ini mengesankan, Rosan menggarisbawahi bahwa perkembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di tingkat global masih sangat tidak merata. Kemajuan teknologi EBT masih terkonsentrasi di China, Uni Eropa, dan Amerika Serikat (AS).

“Investasi global dalam sektor energi terbarukan dan bahan bakar terbarukan mencapai rekor baru di angka USD 623 miliar, mengalami peningkatan 8,1 persen dari tahun ke tahun. Namun, distribusi pengembangan energi terbarukan secara regional masih sangat timpang,” ungkap Rosan pada Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Kamis, 5 September 2024.

China terus mendominasi arus investasi EBT global dengan kontribusi mencapai 44 persen dari total investasi dunia. Uni Eropa mengikuti dengan sumbangan 21 persen, sementara Amerika Serikat menyumbang 15 persen dari total investasi EBT global.

Di sisi lain, Amerika Latin, Afrika, dan Asia – kecuali China – hanya memberikan kontribusi sebesar 18 persen terhadap total investasi, padahal wilayah-wilayah ini mencakup lebih dari dua pertiga populasi dunia.

Rosan menyoroti bahwa negara berkembang seperti Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam transisi menuju energi terbarukan. Kendala utama termasuk infrastruktur yang belum memadai, kebutuhan investasi awal yang besar, dan kesulitan dalam memperoleh pembiayaan untuk sektor EBT.

“Pada tahun 2022, biaya modal untuk proyek di negara berpenghasilan rendah adalah 6,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan negara berpenghasilan tinggi. Tingginya biaya modal di negara berkembang disebabkan oleh kekhawatiran terkait stabilitas hukum, fluktuasi mata uang, dan konvertibilitas,” kata Rosan.

Di kesempatan yang sama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan pentingnya dukungan negara maju dalam bentuk investasi dan pendanaan murah untuk negara berkembang. Ia menggarisbawahi bahwa tanpa dukungan tersebut, upaya penanganan dampak perubahan iklim tidak akan menghasilkan hasil yang signifikan.

“Upaya penanganan perubahan iklim tidak akan efektif jika negara maju tidak berani berinvestasi dan jika riset serta teknologi tidak dibuka secara luas. Selain itu, pendanaan harus disediakan dalam skema yang meringankan beban negara berkembang,” tegas Jokowi saat membuka Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Kamis, 5 September 2024.

Upaya Zero Net Emission

Sebelumnya, dalam forum internasional Indonesia Sustainability Forum (ISF) 2024 yang digelar di JCC Senayan, Jakarta, Kamis 5 September 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission dan berkontribusi pada dunia yang lebih berkelanjutan.

Jokowi menguraikan berbagai potensi energi bersih yang dimiliki oleh Indonesia, dengan penekanan pada potensi energi hijau yang diperkirakan mencapai lebih dari 3.600 gigawatt (GW).

Sebagai contoh konkret, Jokowi menyoroti keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di Waduk Cirata, Purwakarta, Jawa Barat. PLTS ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara, dengan kapasitas mencapai 192 MWp (megawatt peak), menjadikannya sebagai PLTS apung terbesar ketiga di dunia.

“PLTS Terapung di Waduk Cirata bukan hanya yang terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga yang ketiga terbesar di dunia,” ungkap Jokowi dengan bangga.

Tak hanya itu, dalam upaya pengurangan emisi, Indonesia juga memiliki potensi besar dalam penyerapan karbon. Salah satu aset berharga Indonesia adalah hutan mangrove yang tersebar di seluruh nusantara.

Hutan mangrove Indonesia, yang merupakan yang terluas di dunia dengan luas mencapai 3,3 juta hektar, mampu menyerap karbon 8-12 kali lebih efektif dibandingkan dengan hutan hujan tropis. “Ini adalah fakta yang banyak belum diketahui,” jelas Jokowi, menegaskan pentingnya peran hutan mangrove dalam mitigasi perubahan iklim. (*)