Scroll untuk baca artikel
Ekonomi Hijau

Industri Perbankan Sulit Biayai Energi Terbarukan, PLTU Captive Jadi Kendala

×

Industri Perbankan Sulit Biayai Energi Terbarukan, PLTU Captive Jadi Kendala

Sebarkan artikel ini
PLN IP
Ilustrasi energi baru terbarukan (EBT). Foto: Int

KABARBURSA.COM – Industri perbankan di Indonesia dinilai belum mampu secara optimal membiayai sektor energi baru terbarukan (EBT). Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang masih memperbolehkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Captive. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 Pasal 3 Ayat 4 (b), yang memberikan pengecualian terhadap larangan pengembangan PLTU baru.

Pasal tersebut menyebutkan tiga poin pengecualian, di antaranya pembangunan PLTU yang terintegrasi dengan industri berorientasi peningkatan nilai tambah sumber daya alam, komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam sepuluh tahun, serta pengoperasian PLTU hingga tahun 2050.

Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai langkah pemerintah yang mendorong perbankan untuk membiayai transisi energi justru kontradiktif dengan kebijakan yang memperbolehkan PLTU Captive. “Ini kan aneh, perbankan masih enggan membiayai transisi energi karena regulasi masih memperbolehkan PLTU Captive,” kata Bhima dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa, 10 September 2024.

Bhima mengatakan bank cenderung lebih memilih membiayai industri yang menggunakan PLTU Captive karena operasionalnya lebih murah, apalagi pemerintah masih menerapkan Domestic Market Obligation (DMO) pada batu bara. “Bank itu juga melihat, orang masih boleh PLTU, kok kenapa bank itu enggak menyalurkan ke PLTU Captive? Orang masih diperbolehkan. Jadi ingat, ada DMO batu bara sehingga si PLTU Captive dapat jaminan terus nih pasokan batu baranya,” ujarnya.

Jika pemerintah serius mendorong transisi energi, kata Bhima, Presiden Joko Widodo atau Jokowi harus menghapus Pasal 3 Ayat 4 (b) dalam Perpres 112/2022. Menurut dia, penghapusan pasal ini akan lebih efektif mempercepat transisi energi industri. “Sebelum ini regulasinya tidak diutak-atik, maka susah bagi lembaga keuangan untuk membantu pembiayaan energi terbarukan. Dan selamanya kita akan cari dirty nickel,” katanya.

Seret Investasi Hijau

Menteri Investasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani sebelumnya mengungkapkan investasi global untuk energi dan bahan bakar terbarukan pada 2023 mencapai USD623 miliar, atau sekitar Rp9.602 triliun. Angka ini meningkat 8,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya, namun Rosan mencatat pengembangan energi terbarukan secara global masih belum merata. Kemajuan teknologi EBT saat ini masih terpusat di China, Uni Eropa, dan Amerika Serikat (AS).

“Pengembangan energi terbarukan secara regional masih sangat timpang,” ujar Rosan pada Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Kamis, 5 September 2024.

China mendominasi investasi energi terbarukan global dengan kontribusi 44 persen, diikuti Uni Eropa 21 persen, dan Amerika Serikat 15 persen. Sementara itu, kawasan seperti Amerika Latin, Afrika, dan Asia –di luar China– hanya menyumbang 18 persen dari total investasi meskipun wilayah tersebut mencakup lebih dari dua pertiga populasi dunia.

Rosan menambahkan, negara berkembang seperti Indonesia menghadapi tantangan besar dalam transisi energi terbarukan,  seperti infrastruktur yang belum memadai, tingginya biaya investasi awal, serta kesulitan pembiayaan.

“Pada tahun 2022, biaya modal untuk proyek di negara berpenghasilan rendah adalah 6,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan negara berpenghasilan tinggi. Biaya modal yang tinggi di negara berkembang disebabkan oleh kekhawatiran terhadap stabilitas hukum, fluktuasi mata uang, dan konvertibilitas,” kata Rosan.

Belum Optimal

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2023 mencapai 13,1 persen, meningkat dari 12,3 persen pada 2022. Meskipun demikian, batubara masih mendominasi dengan 40,46 persen, diikuti minyak bumi 30,18 persen dan gas bumi 16,28 persen.

Di sisi lain, bauran energi terbarukan pada pembangkit listrik PT PLN mengalami penurunan menjadi 12,21 persen, dibandingkan 13,3 persen pada 2022. Namun, kapasitas terpasang energi terbarukan bertambah 539 megawatt (MW), sehingga totalnya mencapai 13.155 MW pada 2023.

Pelaksana Tugas Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, mengatakan meski ada peningkatan kapasitas energi terbarukan, persentasenya rendah karena energi fosil juga bertambah. Misalnya, ada tambahan 4.182 MW pembangkit listrik berbasis batubara alias menggunakan PLTU pada 2023. Dengan kata lain, untuk mencapai keseimbangan, perlu ada pembangunan pembangkit energi terbarukan dengan kapasitas yang setara. Namun, dalam kondisi saat ini, hal tersebut sulit untuk direalisasikan.

Sekretaris Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Sahid Junaidi, menjelaskan bahwa penundaan operasi beberapa pembangkit listrik energi terbarukan yang tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menjadi salah satu alasan mengapa akselerasi energi terbarukan belum maksimal. Meskipun demikian, menurut Sahid, peningkatan kapasitas energi terbarukan sudah sesuai dengan arah transisi energi yang sedang berlangsung.

Saat ini, langkah yang diambil oleh Kementerian ESDM adalah mempercepat penyelesaian pembangunan proyek energi terbarukan. “Dengan ekonomi yang agak melambat, arus kas perusahaan terganggu, sehingga penyelesaiannya melambat. Sementara yang swasta, salah satu kendala ya TKDN,” kata Sahid dalam konferensi perdu Jakarta pada Kamis, 18 Januari 2024, lalu.

Sahid mengatakan Kementerian ESDM terus melakukan koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait guna mencari solusi atas permasalahan TKDN dalam pengembangan energi terbarukan. Pasalnya, dua aspek penting dalam pengembangan energi terbarukan adalah pendanaan dan teknologi. Namun, mendapatkan pendanaan dengan biaya rendah tidaklah mudah, sementara teknologi yang dibutuhkan masih bergantung pada luar negeri, yang terhambat oleh aturan TKDN.

Melalui berbagai fasilitasi dan regulasi yang ada, percepatan pengembangan energi terbarukan diharapkan dapat terjadi pada 2024. Rencana ini didukung dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) serta peraturan turunannya. “Mudah-mudahan ini bisa mempercepat,” kata Sahid.