KABARBURSA.COM – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai pasar modal dapat menjadi pilihan pembiayaan bagi perusahaan energi terbarukan. Menurutnya, pendanaan ini krusial dalam mereformasi kebijakan ketenagalistrikan dan mendukung pembiayaan Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mempercepat transisi energi bersih.
Pengembangan energi terbarukan di Indonesia umumnya dimulai dari tenaga air dan panas bumi. Namun, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) memerlukan dana besar yang sebagian besar berasal dari investasi asing.
Namun, menurut Fabby, energi terbarukan kini juga berkembang di sektor lain, seperti biogas, biomassa, surya, dan bayu. Ia mencatat banyak perusahaan dalam negeri yang mulai mengembangkan pembangkit energi terbarukan skala kecil, termasuk surya, mikrohidro, minihidro, biogas, dan biomassa.
Fabby menambahkan, perusahaan dalam negeri kini juga berinvestasi dalam pembangkit energi terbarukan berskala besar, seperti PLTP dan PLTA, baik melalui perbankan maupun pasar modal. Menurutnya, investasi ini memiliki tingkat modal dan pendanaan yang beragam sesuai dengan skala pembangkit.
“Perusahaan dalam negeri sebetulnya juga sudah banyak yang menjadi pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP),” tutur Fabby dalam keterangannya, Sabtu, 9 November 2024.
IESR bersama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) telah memberikan lima rekomendasi jangka pendek terkait pendanaan transisi energi berkeadilan kepada pemerintah. Fabby menyebut, rekomendasi ini sesuai dengan Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) serta mendorong pembiayaan JETP.
Fabby mengatakan kendala pendanaan energi hijau bisa diatasi lewat pasar modal dengan melaksanakan penawaran saham perdana (IPO). Namun, ia mengakui ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi sehingga tidak semua perusahaan bisa masuk ke Bursa Efek Indonesia (BEI).
Untuk dapat melantai di bursa, menurut Fabby, perusahaan energi terbarukan harus memiliki prospektus yang menarik dari sisi operasional dan finansial. Menurut Fabby, jika sebuah perusahaan energi terbarukan memiliki 3-4 proyek, maka perlu diperhatikan tingkat pengembalian investasinya (IRR). “Apakah memiliki kontrak jangka panjang, apakah proyeknya tidak bermasalah, bagaimana rekam jejak dan kredibilitasnya?,” kata dia.
Ernst and Young (EY) Indonesia sebelumnya memprediksi bahwa IPO sektor energi terbarukan akan menarik minat pasar. Dalam lima tahun terakhir, beberapa IPO berhasil dari perusahaan energi terbarukan, termasuk PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN), PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN).
Saham perusahaan-perusahaan tersebut naik setidaknya 30 persen sejak penawaran perdana hingga 30 September 2024. Sejak IPO pada 2 September 2019 hingga 30 September 2024, harga saham KEEN meningkat 15,25 persen, sementara harga saham ARKO melonjak 244,64 persen sejak IPO pada 8 Juli 2022 hingga 30 September 2024.
Emiten energi terbarukan mencatatkan pertumbuhan laba bersih pada kuartal III 2024. Laba bersih BREN mencapai USD 86,05 juta, tumbuh 1,87 persen secara tahunan (YoY), sedangkan laba PGEO naik 0,36 persen YoY menjadi USD 133,99 juta.
Laba bersih KEEN juga naik 0,94 persen YoY menjadi USD 12,82 juta. EY Indonesia menyebutkan, emiten energi terbarukan menunjukkan peningkatan kinerja setelah mendapat dukungan dana dari pasar modal.
Berdasarkan data tersebut, Fabby menilai m perusahaan yang ingin melantai di bursa perlu memiliki portofolio solid, pipeline proyek, prospek bisnis yang baik, manajemen rapi, dan tata kelola perusahaan (GCG) yang terjaga. Selain itu, laporan keuangan harus diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP) yang kredibel.
“Ini akan membuat investor percaya dan tertarik untuk memiliki sahamnya. Oleh sebab itu, perusahaan yang ingin IPO harus sejak awal mulai mengikuti standar-standar GCG,” katanya.
Target Investasi Rp1.884 Triliun
Senyampang menunggu perusahaan energi terbarukan untuk mengakses pendanaan melalui pasar modal, dukungan pemerintah pun terus bergulir untuk memperkuat sektor ini. Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bahkan menargetkan perolehan investasi besar tahun depan, dengan fokus utama memperkuat sektor energi terbarukan.
Pemerintah menargetkan perolehan investasi sebesar USD120 miliar atau setara Rp1.884 triliun (kurs Rp15.757 per dolar AS) pada 2025, baik dari investor asing maupun domestik. Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus Kepala BKPM, Rosan P. Roeslani, mengungkapkan investasi besar ini akan difokuskan untuk memperkuat sektor energi terbarukan.
“Tahun depan adalah sekitar USD120 miliar dari investasi asing dan lokal. Kami ingin lebih banyak investasi, terutama di sektor energi terbarukan yang berorientasi ekspor,” ujarnya saat acara Gala Dinner Kadin Indonesia bersama para duta besar di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Jumat, 1 November 2024.
Rosan menjelaskan Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sekitar 3.700 gigawatt (GW), yang sebagian besar bersumber dari panel surya, tenaga air, biomassa, dan panas bumi. “Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia, terutama di wilayah Jawa,” katanya.
Ia menambahkan, Indonesia berkomitmen mendorong pemanfaatan energi bersih, khususnya panas bumi, sebagai bagian dari upaya mencapai emisi karbon nol bersih (net zero carbon emission) pada 2060. “Kami memiliki potensi besar, dan kami ingin menerjemahkan potensi ini menjadi implementasi nyata. Hal ini tidak dapat dilakukan sendiri, sehingga kami memerlukan kerja sama,” katanya.(*)