KABARBURSA.COM – Dunia tengah bersiap menghadapi rencana Donald Trump, presiden terpilih Amerika Serikat (AS), untuk menarik kembali AS dari Kesepakatan Iklim Paris. Langkah ini akan menjadi kali kedua AS mundur dari perjanjian tersebut, namun kali ini diprediksi bisa dilakukan lebih cepat dan tanpa banyak hambatan.
Trump telah berjanji untuk menarik AS dari kesepakatan yang diikuti hampir 200 negara ini. Kesepakatan ini mengikat tiap negara membuat janji untuk mengurangi emisi yang menyebabkan pemanasan global. Kemenangan Trump dalam pemilu minggu lalu dapat memengaruhi jalannya Konferensi Iklim COP29 yang akan berlangsung di Azerbaijan. Dalam konferensi itu, AS dan negara lain akan membahas pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan bantuan iklim bagi negara miskin.
Absennya AS dari kesepakatan ini akan memaksa negara lain untuk mengurangi emisi mereka lebih besar. Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan dari sejumlah negara: seberapa besar upaya yang harus mereka lakukan jika negara penghasil gas rumah kaca terbesar kedua justru mundur?
“Negara-negara sangat berkomitmen pada Paris, saya kira itu tidak perlu diragukan,” kata David Waskow, kepala inisiatif iklim internasional di World Resources Institute, dikutip dari Politico, Senin 11 November 2024.
“Namun, yang menjadi pertaruhan adalah apakah dunia mampu menjalankan komitmennya di Paris,” imbuhnya.
Kampanye Trump sebelumnya telah menyatakan rencananya untuk keluar dari kesepakatan global ini, seperti yang dia lakukan pada 2017. Bahkan, akhir pekan lalu, Trump menyebut perubahan iklim sebagai “hoaks besar” dan mengklaim bahwa tidak ada masalah pemanasan global, meskipun data menunjukkan tahun 2024 bisa menjadi tahun terpanas dalam catatan.
Setelah Trump menjabat pada Januari nanti, ia bisa mengajukan permohonan ke PBB untuk keluar dari kesepakatan ini. Jika permohonan diterima, hal ini akan berlaku setahun kemudian. Kali ini, prosesnya akan lebih cepat dibandingkan sebelumnya yang memakan waktu tiga tahun.
Selama periode itu, pemerintahan Trump bisa saja mengabaikan komitmen iklim AS yang ditetapkan oleh Presiden Joe Biden dan menolak menyusun rencana baru untuk mengurangi emisi karbon. Beberapa kelompok konservatif bahkan mendorong Trump untuk melakukan langkah lebih jauh dengan menarik AS dari perjanjian PBB tahun 1992 yang menjadi dasar negosiasi iklim global.
Jika AS benar-benar mundur, mereka bisa tersingkir dari diskusi internasional mengenai energi bersih, lantas membiarkan Tiongkok melangkah lebih jauh dalam teknologi ramah lingkungan seperti panel surya dan kendaraan listrik. “Tiongkok adalah mitra dagang utama bagi hampir seluruh negara. Pengaruh mereka tidak akan berkurang, malah semakin kuat jika AS keluar,” kata Jonathan Pershing, mantan utusan iklim era Obama.
AS adalah salah satu penggagas Kesepakatan Paris yang mengharuskan 195 negara untuk menyusun rencana nasional pengurangan emisi dan melaporkan perkembangannya. Kesepakatan ini juga mengharuskan negara kaya mendanai proyek iklim, meski tanpa sanksi bagi yang tidak memenuhi komitmen.
Sejak perjanjian ini dibuat sembilan tahun lalu, emisi global terus meningkat, meskipun lebih lambat dibandingkan tanpa adanya kesepakatan. Bencana terkait iklim, dari Nepal hingga Carolina Utara, semakin parah. Hal ini meningkatkan kebutuhan akan pendanaan iklim hingga triliunan dolar per tahun.
Mundur untuk Kedua Kalinya
Saat Trump pertama kali menarik AS dari Kesepakatan Paris pada 2017, hal itu mengejutkan dunia dan menimbulkan kekhawatiran negara lain akan mengikuti langkah AS. Namun, Todd Stern, yang ikut merancang Kesepakatan Paris, meyakini situasi sekarang berbeda dan tidak banyak negara yang akan keluar.
Setelah kembali bergabung pada 2021, Biden mengumumkan AS akan memangkas emisinya hingga setengahnya pada 2030 dari level 2005. Namun, meski polusi karbon AS menurun, upaya ini belum cukup untuk mencapai target Biden. Aksi dari pemerintah daerah di AS serta perusahaan hanya bisa mencapai sebagian dari target tanpa dukungan yang lebih kuat di tingkat federal.
Penandatanganan Kesepakatan Paris dijadwalkan untuk menyusun rencana baru pada pertengahan Februari 2025. Jika ekonomi terbesar dunia tidak berkontribusi, hal ini bisa mengirim sinyal kepada negara-negara besar lain seperti Tiongkok, India, dan Eropa untuk mengurangi ambisi mereka.
Senior associate di lembaga pemikir iklim E3G, Alden Meyer, mengatakan dalam setiap negara, ada pihak yang ingin tetap bergantung pada bahan bakar fosil dan menolak aksi iklim ambisius.
COP29 akan menjadi ujian bagi komitmen negara-negara lain terhadap Kesepakatan Paris. Mereka diharapkan menetapkan target baru untuk bantuan iklim global yang bisa mencapai hingga USD1 triliun per tahun. Namun, dengan bayang-bayang kembalinya Trump, negara lain mungkin ragu untuk meningkatkan kontribusi.
Energi Bersih Disebut Bikin AS Mundur
Langkah Trump untuk menarik Amerika Serikat dari Kesepakatan Paris bukan satu-satunya kebijakan yang menandai sikap skeptisnya terhadap upaya global menangani krisis iklim. September lalu, Trump juga mengkritik kebijakan pro-iklim lainnya yang dinilai membebani ekonomi, yakni Green New Deal (GND). Menurut Trump, pendekatan tersebut justru menghambat pemulihan ekonomi dan memperparah inflasi di dalam negeri.
Trump berujar untuk mengatasi inflasi, ia akan menghapus GND. Ia menilai kebijakan pro-iklim ini justru membebani ekonomi. Berbicara di hadapan audiens di Economic Club of New York, Kamis, 5 September 2024, lalu, Trump menyebut kebijakan ini sebagai “penipuan terbesar dalam sejarah.”
GND selama ini dikenal sebagai paket kebijakan yang bertujuan mengatasi perubahan iklim dengan mendorong penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi kesenjangan. Sejumlah anggota parlemen dari Partai Demokrat bahkan mengusulkan agar seluruh kebutuhan energi AS beralih ke sumber energi tanpa emisi.
Namun, Trump berpandangan sebaliknya. “Green New Deal membuat kita mundur, bukan maju. Semua dana yang tidak terpakai dialihkan ke Undang-Undang Pengurangan Inflasi yang justru keliru,” ujar Trump, dikutip dari Sputnik.
Trump sebelumnya telah berjanji akan mengakhiri subsidi pajak bernilai ratusan miliar dolar yang dialokasikan dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi 2022, kebijakan yang dicanangkan Presiden Joe Biden. Trump juga berjanji akan menghapus apa yang disebut Partai Republik sebagai “penipuan baru ramah lingkungan” dan menggunakan dana tersebut untuk memperbaiki infrastruktur jalan dan jembatan.(*)