Scroll untuk baca artikel

Pengamat Ungkap Risiko Kebakaran Mobil Hidrogen

×

Pengamat Ungkap Risiko Kebakaran Mobil Hidrogen

Sebarkan artikel ini
mobil berbahan bakar Hidrogen

KABARBURSA.COM – Selain mengembangkan ekosistem mobil listrik, dalam jangka panjang pemerintah juga melirik energi baru terbarukan lainnya seperti hidrogen. Meski demikian, mobil listrik dan kendaraan hidrogen sama-sama punya risiko yang besar.

Pengamat Otomotif Yannes Martinus Pasaribu mengatakan bahwa penggunaan hidrogen di kendaraan juga punya risiko tersendiri dan tidak berbeda dengan mobil listrik karena, hidrogen adalah gas yang mudah terbakar.

“Jika terjadi kebocoran. Hidrogen yang disimpan dalam tangki bertekanan tinggi di mobil, meskipun tangki ini dirancang untuk tahan terhadap tekanan ekstrem, rendahnya mutu, kerusakan atau penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan bocor, kebakaran hingga ledakan,” kata Yannes kepada Kabar Bursa, Selasa, 9 Juli 2024.

Kendati memiliki risiko, Yannes menyebut perkembangan teknologi otomotif terus berlanjut sehingga risiko yang ada pada mobil berbahan bakar hidrogen dapat diminimalisasi.

Menurutnya, saat ini produsen mobil terus berupaya meningkatkan keamanan dan keandalan teknologi mobil listrik dan hidrogen. Selain itu, ia juga mendorong agar publik juga mendapat edukasi serupa untuk mengetahui manfaat dan keamanan kendaraan hidrogen.

“Edukasi publik tentang manfaat dan keamanan kendaraan hidrogen serta pelatihan teknisi juga diperlukan. Terakhir, insentif fiskal dan non-fiskal, serta kerjasama antara pemerintah, industri, dan lembaga penelitian akan mempercepat pengembangan ekosistem hidrogen di Indonesia,” tuturnya.

Standar Pengawasan Ketat

Di luar negeri mobil berbahan bakar hidrogen telah banyak digunakan. Bahkan angkutan massal juga menggunakan bus berbahan bakar hidrogen. Jarak tempuh yang mampu dijanjikan mobil berbahan bakar hidrogen cukup tinggi. Selain itu, belum ditemukan masalah yang besar dengan penggunaan kendaraan berbahan bakar hidrogen.

Sedangkan di Indonesia kendaraan berbahan bakar hidrogen juga telah beroperasi. Bahkan pemerintah melalui PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) meresmikan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) hidrogen pertama di Indonesia atau hydrogen refuelling station.

SPBU yang berlokasi di Daan Mogot, Jakarta Barat, ini menyediakan tiga jenis bahan bakar yang terdiri dari minyak, gas dan hidrogen. SPBU hidrogen dengan konsep high-speed hydrogen refuelling station membuat waktu pengisian bahan bakar jadi sangat cepat, yakni 5 menit.

Regulasi dan pengawasan yang ketat mas terhadap standar keamanan tinggi, disukung oleh pengembangan teknologi canggih, infrastruktur pengisian yang terjamin aman, dan edukasi publik jadi kunci minimalisir risiko kendaraan hidrogen di luar negeri,” jelas Yannes.

Agar kendaraan berbahan bakar hidrogen dapat digunakan dengan aman baik untuk kendaraan pribadi atau transportasi darat, Yannes meminta pemerintah menyusun standar keamanan yang jelas di segala lini.

“Pemerintah perlu menyusun regulasi dan standar keamanan komprehensif untuk produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan penggunaan hidrogen, mencakup desain kendaraan, stasiun pengisian, dan penanganan darurat,” jelasnya.

Selain itu, ia juga menyarankan agar pemerintah aktif mendorong pengembangan industri lokal untuk memproduksi komponen kendaraan hidrogen. Menurutnya, hal ini penting untuk mengurangi ketergantungan impor sekaligus meningkatkan lapangan kerja.

Langkah penting lainnya, kata dia, adalah mendukung penelitian dan pengembangan teknologi hidrogen untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan metode produksi yang lebih murah juga krusial.

Produksi Hidrogen Mahal

Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan bahwa pemerintah harus menghadapi tantangan dalam mengatasi mahalnya produksi hidrogen, terutama untuk prosesnya yang membutuhkan energi listrik yang besar.

“Kalau dikomparasikan akan berat berkompetisi dengan BEV yang menggunakan baterai yang bisa langsung menyimpan listrik,” jelasnya.

Menurutnya, BEV lebih unggul dalam hal biaya dan infrastruktur. Konversi listrik ke hidrogen efisiensinya mencapai 60-70 persen, sedangkan efisiensi baterai mencapai 90-95 persen.

“Infrastruktur pengisian daya untuk bEV sudah lebih mapan dan terus berkembang, dengan stasiun pengisian daya yang semakin banyak tersedia. Sedangkan, infrastruktur pengisian hidrogen masih sangat terbatas dan memerlukan investasi besar untuk pembangunan stasiun pengisian hidrogen,” ujarnya.

Ia menambahkan, biaya produksi baterai juga telah menurun secara signifikan. Ditambah lagi dengan adanya peningkatan kapasitas penyimpanan energi.

Yannes menilai, Indonesia masih punya peluang dalam pemanfaatan bahan bakar hidrogen meski biaya produksinya mahal dan kurang efisien dibanding baterai kendaraan listrik.

“Ada potensi besar untuk pengembangan dan peningkatan teknologi di masa depan. Untuk jangka pendek, BEV mungkin lebih kompetitif dalam hal biaya dan infrastruktur,” kata Yannes.

Ia menilai, hidrogen masih punya peluang dalam dekarbonisasi sektor transportasi, terutama untuk aplikasi yang memerlukan jangkauan lebih panjang dan waktu pengisian cepat.