KABARBURSA.COM – Senior Consultant Supply Chain Indonesia (SCI) Sugi Purnoto menilai kenaikan suku bunga akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membawa dampak serius bagi industri angkutan barang di Indonesia.
Sugi mengungkapkan bahwa saat ini pengusaha angkutan sudah banyak menanggung beban setelah harga truk semakin mahal akibat kenaikan suku bunga. Menurutnya dampak ini semakin terasa jika pengusaha tersebut membeli truknya dengan leasing.
“Semakin mahal harga truk semakin mahal pula bunga dan cicilan. Transporter tidak akan sanggup jika terlalu mahal biaya cicilannya,” kata Sugi saat dihubungi Kabar Bursa, Kamis, 15 Agustus 2024.
Oleh karena itu, pihaknya bersama rekan-rekan asosiasinya memutuskan untuk menahan diri tidak menambah armada baru. Menurutnya, pengusaha angkutan tidak dapat menggantungkan usahanya 100 persen dengan truk baru.
Oleh karena itu, pengusaha angkutan wajib memiliki hitungan tersendiri terkait komposisi truk yang dimiliki agar tidak bangkrut.
“Pengusaha angkutan barang yang masih bisa bertahan saat ini harus punya strategi, 30 persen truk yang dimiliki itu baru dan dibeli menggunakan leasing. Sedangkan 50 persen truk lainnya adalah yang sudah lunas dan usianya di bawah 10 tahun. Sedangkan 20 persen sisanya adalah truk yang berusia di atas 10 tahun.
Agar dapat bertahan dan melanjutkan usaha, truk yang didapat dari truk yang sudah lunas digunakan untuk membiayai 30 persen truk yang belum lunas. Menurutnya, jika pengusaha angkutan memiliki 100 persen truk baru untuk membuka usaha angkutan barang sudah dapat dipastikan rugi karena tidak sanggup bayar cicilan.
“Kadang orang di luar tidak tahu, mereka pikir pengusaha truk kaya-kaya. Kalau yang tidak melakukan ini pasti gulung tikar dan ditarik leasing. Ini sudah banyak yang mau ditarik leasing,” keluhnya.
Yang hidup satu-satunya strateginya adalah 30 persen leasing, 50 persen sudah lunas tapi usia truk di bawah 10 tahun dan 20 persen adalah di atas 10 persen. kalau 100 persen tutup. Tidak akan kuat bayar.
Mantan Wakil Ketua II Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aprtrindo) ini mengungkapkan bahwa sejak harga truk naik banyak pengusaha angkutan barang yang gulung tikar akibat tidak dapat membayar cicilan.
Sementara untuk anggota Aptrindo, kata dia, masih tetap eksis karena banyak yang menahan beli truk baru. Jika ada yang membeli truk baru, tidak semasif periode sebelumnya.
“Karena harga sudah semakin naik. Kalau rata-rata yang investasi baru itu hanya ambil dua truk tapi sudah melunasi 5 truk. Rata-rata begitu. Tidak lunas 5 ambil 10, bisa bangkrut. Ini adalah strategi untuk tetap bisa bertahan di industri angkutan barang saat ini,” ungkapnya.
Minta Pemerintah Beri Insentif Bunga Kompetitif
Di tengah kondisi sulit ini, Sugi meminta pemerintah ikut ambil bagian membantu para pemain di bisnis logistik, khususnya angkutan barang. Bantuan yang dimaksud adalah pemberian bunga rendah yang tidak mengikuti bunga pasaran agar pengusaha angkutan dapat survive.
“Harusnya pemerintah dapat mengupayakan agar leasing atau bank pembeli pinjaman untuk kredit investasi memberikan bantuan modal madani. Bantuan bunga rendah ini dapat digunakan untuk membeli electric truck (ET) atau truk konvensional,” ujarnya.
Menurutnya, bunga yang ditetapkan saat ini ada di kisaran 12-14 persen per tahun memberatkan pengusaha. Ia berharap di pemerintahan Prabowo-Gibran dapat merealisasikan hal ini agar harga barang di end user atau masyarakat tidak semakin tinggi akibat peningkatan biaya angkutan.
Selain membantu dari sisi bunga, ia juga berharap pemerintah mengupayakan agar tarif tol tidak terlalu tinggi agar dapat digunakan transporter.
Karena, menurutnya infrastruktur jalan tol yang ada saat ini tidak dapat digunakan karena ongkosnya terlalu tinggi sehingga penggunanya adalah kendaraan pribadi dan bus. Akibatnya, pengusaha angkutan tetap menggunakan jalur pantura agar tetap dapat keuntungan.
Truk Listrik Tidak Membantu
Sugi menilai penggunaan truk listrik tidak banyak membantu untuk mengurangi biaya angkutan barang. Karena, penghematan yang diberikan tidak cukup signifikan. Di sisi lain, infrastruktur pendukung untuk penggunaan truk listrik belum merata.
Menurutnya, penggunaan truk listrik hanya cocok untuk pengiriman barang jarak dekat atau di dalam kota karena keuntungan menggunakan truk listrik adalah dari segi biaya bahan bakar.
“Kalau sehari jalan 200 km PP dibagi 6, itu sehari menghabiskan 33 liter kali Rp6.800. Jadi total biaya uang jalan adalah Rp200.000 sampai dengan Rp250.000,” imbuhnya.
Sedangkan untuk biaya tol dan sopir tetap sama antara truk konvensional dan truk listrik. Ongkos sopir, kata dia, adalah Rp250.000 dikalikan 25 hari. Ongkos sopir tersebut sudah sesuai dengan UMR.
“Jadi ongkos yang bisa disimpan adalah dari biaya solar. Biaya sekali isi daya truk listrik adalah Rp10.000 sampai Rp20.000. Sedangkan ongkos truk konvensional Rp250.000. Jadi transporter dapat menyimpan pendapatan hingga Rp180.000,” jelasnya. (*)