Scroll untuk baca artikel
Otomotif

Masalah Motor Listrik Dinilai tak hanya soal Subsidi

×

Masalah Motor Listrik Dinilai tak hanya soal Subsidi

Sebarkan artikel ini
MGL9858 11zon
Pengunjung memperhatikan Motor Vespa Clasic Inggeris yang terpajang di Mal Kota Casablanka (Kocas),Rabu (14/8/2024). Vespa di jual dari harga 80 Jutaan sampai 135 Jutaan.foto: Kabar Bursa/abbas sandji

KABARBURSA.COM – Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menyarankan pemerintah agar tidak sekadar mendorong peningkatan populasi motor listrik di Indonesia dengan subsidi, tapi juga dengan menetapkan standar untuk meningkatkan kualitas motor listrik.

Terkait dengan standar yang harus diupayakan mencakup mutu, dimensi, voltase dan soket baterai. Beberapa hal tersebut merupakan sesuatu yang urgen untuk dijaga kualitasnya melalui standar. Standar tersebut, kata dia, perlu dukungan regulasi.

“Semua perlu segera diimplementasi sebagai sebuah standar Indonesia agar produksi battery pack Indonesia dapat berkembang pesat seiring dengan perkembangan sepeda motor listrik tersebut,” kata Yannes kepada KabarBursa, Senin, 9 September 2024.

Selain itu, hal lain yang perlu ditindaklanjuti pemerintah adalah edukasi publik berkelanjutan terkait dengan pentingnya kesadaran mengenai isu lingkungan hidup.

“Kesadaran mengenai isu lingkungan hidup perlu digenjot dari usia SMP melalui pendidikan di semua sekolah yang membuat generasi mud akita kelak semakin menyadari dan memahami pentingnya menciptakan lingkungan hidup yang lebih bersih,” ujarnya.

Agar pertumbuhan motor listrik di Indonesia tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, Yannes meminta pemerintah mempercepat pertumbuhan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) tidak hanya di kota besar tapi juga ke pelosok atau daerah terpencil.

“Meski pabrikan memberi alternatif untuk mengisi daya motor listrik di rumah, sepertinya masyarakat masih enggan, karena proses pasang home charging di rumah harus menambah daya,” tuturnya.

Di sisi lain, kebanyakan kapasitas daya listrik di rumah hanya 900 watt ke bawah sehingga untuk menghadirkan motor listrik perlu menambah daya. Sementara untuk menambah daya perlu ongkos lebih.

Ia juga meminta pemerintah selaku pihak yang berupaya keras mengupayakan peralihan dari motor konvensional ke listrik harus tahu segmentasi usia terbesar pembeli motor listrik.

“Pembeli sepeda motor listrik diprakirakan berada di rentang 20-40 tahun, terutama dari kelompok sosial menengah ke atas yang menggunakannya untuk mobilitas perkotaan saja,” jelasnya.

Jumlah dari kelompok usia dan kelas sosial tersebut masih lebih kecil ketimbang masyarakat kelas menengah ke bawah. Menurutnya, mentalitas budaya konsumen di Indonesia, terutama pembeli pertama low class cenderung memilih kendaraan murah dan memiliki likuiditas tinggi saat akan dijual kembali.

Kelompok ini juga mempertimbangkan biaya operasional jangka panjang. Mereka takut mengeluarkan uang besar tanpa mendapat kepastian terkait dengan daya tahan dan besaran biaya operasional, termasuk servis dan perawatan.

Motor Listrik Masih Mahal

Akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengungkapkan bahwa target awal subsidi sebanyak 600.000 unit pada tahun 2024 dipangkas menjadi 50.000 unit dan kini ditambah lagi menjadi 60.000 unit. Angka ini masih jauh dari target awal.

Menurutnya, penambahan kuota subsidi motor listrik sebanyak 10.000 unit menunjukkan adanya gap yang signifikan antara rencana dan implementasi. Penambahan kuota subsidi sebesar Rp7 juta per unit dianggap sebagai indikasi motor listrik belum mendapat tempat di hati masyarakat.

Karena, menurutnya, tujuan utama dari subsidi motor listrik adalah agar harga motor listrik menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat. Harapannya, subsidi ini dapat mempercepat transisi dari kendaraan konvensional ke listrik. Selain itu, kebijakan tersebut juga diharapkan bisa mendorong pertumbuhan industri kendaraan listrik di dalam negeri.

Alasan mengapa motor listrik belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat adalah karena harganya yang masih relatif tinggi meskipun sudah mendapat subsidi sebesar Rp7 juta.

Harga motor listrik termurah, seperti merek Greentech Unity, mulai dari Rp5 jutaan. Sementara motor listrik termahal, United TX3000, dibanderol sekitar Rp42 jutaan. Masyarakat menilai harga tersebut tidak sebanding dengan performa yang ditawarkan.

Selain itu, ketersediaan infrastruktur pendukung seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Indonesia masih terbatas, terutama di wilayah pedesaan. Masyarakat merasa lebih nyaman menggunakan motor konvensional, karena ketika kehabisan bahan bakar, mereka dapat dengan mudah menemukan SPBU terdekat yang tersebar luas.

Pertimbangan lainnya, menurut Yannes, adalah jarak tempuh motor listrik yang belum bisa menyaingi motor konvensional. Meskipun motor listrik lebih efisien, motor berbahan bakar konvensional masih menjadi pilihan utama masyarakat.

“Masyarakat juga tampak masih ragu mengenai daya tahan baterai dan daya jangkaunya, kecepatan charging, performa, dan keamanan motor listrik. Kemudian banyak masyarakat yang belum memahami manfaat dan keunggulan sepeda motor listrik dibandingkan motor ICE (konvensional),” kata Yannes.

Selain masalah infrastruktur pendukung, pengguna motor di Indonesia disebut sangat memperhitungkan harga jual kembali sebuah kendaraan. Selain harga jualnya rendah karena masih dianggap baru dan belum teruji kualitasnya, menjual motor listrik bekas relatif lebih sulit ketimbang motor konvensional.(*)