KABARBURSA.COM – Perumahan pribadi dan publik di Singapura kini berada di bawah sorotan pemerintah, saat Perdana Menteri Lawrence Wong berupaya menahan laju kenaikan harga yang berpotensi menjadi api dalam pemilu mendatang.
Singapura memperkenalkan serangkaian pembatasan baru yang ditujukan untuk meredam lonjakan harga properti, yang mencakup pengetatan batas pinjaman untuk sektor perumahan umum. Kebijakan ini, menurut Kementerian Pembangunan Nasional dan Dewan Perumahan & Pembangunan, bertujuan menciptakan pasar properti yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Isu keterjangkauan perumahan telah menjadi momok bagi Partai Aksi Rakyat (PAP) yang memegang kendali sejak 1965. Popularitas partai ini perlahan menurun seiring melonjaknya harga rumah, sebuah masalah yang kerap menjadi topik hangat dalam perdebatan politik.
Hampir 80 persen penduduk Singapura tinggal di perumahan umum yang disubsidi oleh negara. Namun, harga flat bekas meroket, beberapa di antaranya mencapai SD1 juta (USD764.000). Penundaan konstruksi akibat pandemi, ditambah permintaan tinggi untuk flat di lokasi favorit, menjadi pendorong utama kenaikan ini. Pada tahun 2023, harga flat umum naik 4,9 persen, dan di paruh pertama 2024, naik lagi lebih dari 4 persen.
Rasio Pinjaman Terhadap Nilai
Pembatasan terbaru memotong rasio loan-to-value (LTV) untuk pinjaman perumahan umum dari 80 persen menjadi 75 persen. Batasan pinjaman dari bank tetap 75 persen. Perubahan ini efektif mulai 20 Agustus, mencakup pasar sekunder serta flat Build-To-Order yang akan dirilis pada Oktober. Dengan permintaan yang terus tinggi, langkah ini diharapkan dapat menenangkan pasar sekaligus mendorong kebijakan pinjaman yang lebih bijaksana.
Pemerintah juga memperbesar hibah perumahan hingga SD40.000 bagi pembeli rumah pertama dari kalangan berpenghasilan rendah hingga menengah, sebuah langkah untuk menjaga keterjangkauan properti di kota ini.
Pemangkasan rasio LTV menjadi 75 persen bisa memperlambat laju kenaikan harga di sektor perumahan umum, namun dampaknya terhadap perumahan pribadi mungkin hanya moderat. Pembeli flat mahal cenderung berasal dari kalangan berpenghasilan tinggi yang kurang terpengaruh oleh pembatasan pinjaman.
Alan Cheong, direktur eksekutif di Savills Plc, mengatakan bahwa langkah pemerintah ini muncul setelah melihat adanya lonjakan harga yang tidak biasa di pasar flat bekas. Namun, menurutnya, pembeli dari kalangan atas kemungkinan besar tetap mendominasi, dan pasar akan terus mencetak rekor.
Pembatasan ini merupakan kali ketiga dalam tiga tahun terakhir Singapura mengetatkan aturan pinjaman HDB, setelah sebelumnya membatasi rasio pinjaman dari 90 persen pada 2021 dan kembali menguranginya pada 2022.
Untuk menenangkan keresahan masyarakat, pemerintah berencana membangun 100.000 flat perumahan umum pada 2021-2025. Perdana Menteri Wong menegaskan komitmen ini dalam pidato kebijakan utamanya pada Mei lalu. Langkah serupa pernah diambil pendahulunya, Lee Hsien Loong, termasuk klasifikasi baru untuk unit di lokasi utama guna menekan spekulasi pasar.
Namun, pembatasan ini belum cukup meredakan lonjakan harga. Indeks harga perumahan umum terus naik selama 17 kuartal berturut-turut. Transaksi flat dengan harga SD1 juta atau lebih bahkan berlipat ganda hingga mencapai rekor 419 pada semester pertama 2024.
Wong mengakui bahwa tren ini menjadi “kekhawatiran serius bagi para pembeli rumah”. Di tengah situasi ini, dia bersiap memimpin partai ke pemilu berikutnya, yang dijadwalkan paling lambat November 2025. Pemilu kali ini menjadi tantangan tersendiri, mengingat PAP mengalami kinerja terburuknya di parlemen pada 2020 meskipun tetap mendominasi dengan 89 persen kursi.
Wong berjanji akan terus menjaga keterjangkauan perumahan, termasuk meningkatkan hibah bagi pasangan muda berpenghasilan rendah. Pemerintah juga akan mengkaji lebih lanjut solusi untuk meredakan kekhawatiran, terutama di kalangan pembeli lajang.
Pada April 2023, pemerintah berupaya mendinginkan lonjakan harga properti pribadi dengan menggandakan bea materai bagi pembeli asing menjadi 60 persen dan menaikkan pungutan bagi pembeli rumah kedua.
Otoritas Moneter Singapura, dalam pernyataan bulan lalu, menilai tidak ada kebutuhan untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam mendinginkan pasar properti pribadi.
Sejarah Pembangunan Perumahan Umum di Singapura
Upaya pengembangan perumahan umum di bawah pemerintahan kolonial Inggris sudah dimulai sejak tahun 1920-an, namun perubahan signifikan baru terjadi ketika People’s Action Party (PAP) naik ke tampuk kekuasaan pada 1959, ungkap Han Ming Guang dari Singapore Heritage Society.
Ketika itu, ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan sejumlah wilayah strategis di Singapura dan merelokasi penduduk dari kawasan kota. Pemimpin PAP berambisi membawa Singapura menuju modernitas, jelas Han. Keinginan untuk mempercepat transformasi ini semakin kuat usai kebakaran besar di kampung pada 1961 yang membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal, memperdalam kekhawatiran pemerintah akan kondisi hunian yang kumuh dan padat.
Pada tahun 1960, Dewan Pengembangan Perumahan (HDB) didirikan, dan dalam tempo tiga tahun, lebih dari 31.000 flat berhasil dibangun. Dengan slogan tegas, ‘sedikit bicara, banyak kerja’, pemerintah memindahkan ratusan ribu orang dari kampung-kampung ke flat HDB. Tentu saja, langkah ini menimbulkan reaksi beragam.
Undang-undang Akuisisi Lahan yang disahkan setahun setelah kemerdekaan Singapura pada 1965 memaksa warga menyerahkan tanah mereka.
Meski kontroversial, Perdana Menteri Lee Kuan Yew dengan tegas membela kebijakan tersebut. UU tersebut memungkinkan pemerintah membeli lahan dengan harga murah untuk proyek perumahan dan merelokasi penduduk dari pusat kota. Pemikiran di balik undang-undang itu adalah kita harus berkorban demi negara.
Awalnya, flat-flat HDB disewakan kepada penduduk. Namun, dorongan untuk kepemilikan rumah kemudian menjadi prioritas nasional. Lee Kuan Yew percaya bahwa kepemilikan rumah bisa menciptakan stabilitas nasional.
Setelah puluhan tahun pembangunan besar-besaran, Singapura kini memiliki lebih dari satu juta flat HDB yang tersebar di 23 kawasan kota. Pada tahun 1960, hanya 9 persen penduduk Singapura yang tinggal di perumahan umum. Kini, angka itu melonjak menjadi 80 persen, dengan lebih dari 90 persen warganya memiliki rumah.
Flat HDB untuk pembangunan baru dijual dengan harga yang jauh di bawah harga pasar, meski waktu tunggu untuk bisa menempati rumah bisa mencapai 3 hingga 4 tahun. Selain itu, perumahan sewaan untuk keluarga berpenghasilan rendah juga sangat disubsidi oleh negara. Data terbaru menunjukkan bahwa flat HDB mencakup 73 persen dari total stok perumahan di Singapura. (*)