Scroll untuk baca artikel
HeadlineKesehatan

Manusia tak Butuh Susu Sapi, ini Jawaban Kepala Bapanas

×

Manusia tak Butuh Susu Sapi, ini Jawaban Kepala Bapanas

Sebarkan artikel ini
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo (Foto: Kabar Bursa/Syahrianto)

KABARBURSA.COM – Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi bercerita soal program susu sapi di India dan Malaysia. Ia pun menilai tingkat kesuksesan dan efektivitas program tersebut.

“Di beberapa negara, susu itu malah diprogramkan. Kalau susu itu senegatif yang disampaikan, enggak mungkin ada school made programme di India, di Malaysia. Di luar negeri school made programme itu sangat efektif,” kata Arief kepada awak media di Margonda Depok, Selasa, 27 Februari 2024.

Ia menjelaskan mengapa progam tersebut sukses. Alasannya, susu mengandung zat gizi mikro atau mikronutrien sehingga manfaatnya cukup besar.

“Mikronutrien yang terbesar di susu itu, itu adanya di fresh milk (susu sapi segar). Setelah fresh milk urutannya itu ada pasteurize, pasteurisasi susu. Yang berikutnya baru susu-susu yang lain,” ungkap Arief.

Manfaat optimal susu dapat diperoleh melalui teknologi yang tepat. Kini terdapat dua jenis teknologi yang marak digunakan industri susu dalam pengemasan.

“Maka sebenarnya nanti kita juga harus mengetahui teknologi apa yang akan dipakai. Misalnya UHT, terus Tetrapak,” lanjutnya.

Namun demikian, susu memiliki efek samping antara lain terhadap orang yang intoleransi laktosa. Kepala National Food Agency (NFA) itu menyamakan intoleransi laktosa dengan alergi. Artinya, setiap orang akan merasakan efek samping berbeda atas konsumsi susu.

“Jadi bisa membuat statewide dari susu itu baik. Tapi memang yang namanya laktosa itu tidak semua orang juga tahan sama yang namanya susu. Jadi jangan digeneralisasi karena sama seperti orang alergi, ada satu-dua tubuh yang salah satu harus diperhatikan,” paparnya.

Oleh sebab itu, susu masuk dalam kategori protein hewani. Artinya, susu memiliki gizi tinggi tetapi memang dapat tergantikan dengan protein hewani lainnya, menurut Kementerian Kesehatan.

“Tapi susu itu kenapa dia beragam, bergizi, tidak masuk di piring karena susu itu sebenarnya sudah masuk di protein hewani. Itu ada di situ sebenarnya,” tambahnya.

Program susu yang sukses di India dan Malaysia ternyata juga telah dijalankan di Jakarta. Melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, setiap warga Ibu Kota dapat mengonsumsi satu kemasan susu dalam sehari.

“Jadi seandainya program itu berjalan dan itu sudah dijalankan di Jakarta. Saya cerita Jakarta ya, Jakarta punya KJP Plus, itu salah satunya adalah susu,” tuturnya.

“Satu (dus) susu itu isinya 20 pack, 24 pack. 24 pack itu one day one pack. Orang yang tadinya enggak minum susu, hari ini di Jakarta yang KJP Plus itu minum susu,” tambah Arief.

Sebab itulah dalam pengalamannya sebagai Direktur Utama (Dirut) Food Station, Arief mengaku optimis program susu berlaku di seluruh Indonesia.

“Sampai ke Pulau Sebira, Pulau Tidung besar, tidung kecil, Lundung, Jawa. Itu juga dulu dikerjakan di Jakarta. Saya kebetulan mantan Dirut di Food Station, mengerjakan itu. Bukan tidak mungkin apabila nanti memang ada kegiatan yang sama untuk nasional, itu juga bisa dikerjakan,” pungkas Arief.

Risiko Intoleransi Laktosa 

Program calon presiden dan wakil presiden yang bersaing dalam Pemilu 2024 menawarkan program gizi seimbang dan gerakan emas (emak-emak dan anak-anak minum susu) untuk mencegah tengkes (stunting) di Indonesia. Langkah ini merupakan bagian dari upaya para calon tersebut untuk memperkuat sistem kesehatan nasional.

Meskipun, bagi sebagian orang, susu masih dianggap sebagai bahan makanan pokok karena didorong oleh industri. Pada era Orde Baru, Indonesia mengusung slogan makanan bergizi yang tetap populer hingga kini, yaitu “4 Sehat 5 Sempurna”, yang menekankan bahwa makanan bergizi harus disertai dengan segelas susu untuk mencapai kesempurnaan.

Menurut Christian L Storhaug dan rekannya di The Lancet Gastroenterology & Hepatology pada 6 Juli 2017, sekitar 68 persen populasi manusia mengalami intoleransi laktosa. Fenomena ini lebih umum terjadi di Asia dan Afrika, wilayah yang kurang mengonsumsi susu dalam pola makan mereka.

Di sisi lain, prevalensi intoleransi laktosa lebih rendah di Eropa. Hal ini tidak hanya karena konsumsi susu sapi yang tinggi, tetapi juga karena mutasi genetik yang membuat tubuh mereka tetap mampu mencerna laktosa meskipun sudah dewasa. Proses adaptasi nenek moyang mereka terhadap susu sapi membuat orang Eropa memiliki toleransi yang lebih baik terhadap susu sapi.

Selain itu, susu murni biasanya mengandung tingkat lemak jenuh yang tinggi, yang dapat meningkatkan kadar kolesterol dan meningkatkan risiko penyakit jantung. (Ari/Dev)