KABARBURSA.COM – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada awal tahun 2025 telah menjadi topik wacana yang menarik perhatian dari berbagai pihak, terutama di pasar keuangan. Langkah ini menimbulkan ekspektasi dan respons yang beragam terhadap prospek ekonomi Indonesia, khususnya di pasar saham.
Wacana kenaikan PPN telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), atau yang biasa dikenal sebagai “omnibus law perpajakan”.
Sebelumnya, pada April 2022, terjadi kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%. Rencana kenaikan tarif menjadi 12% ini dijadwalkan akan diberlakukan paling lambat pada bulan Januari 2025.
Keputusan mengenai kenaikan tarif PPN ini akan dibahas dalam tahap awal penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang saat ini sedang dalam pembahasan oleh pemerintah dan dijadwalkan untuk disahkan pada Oktober 2024 mendatang.
Ekonom dari Bank Permata Josua Pardede, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia, terutama golongan menengah bawah yang tidak mendapatkan bantuan sosial, akan menghadapi tantangan baru akibat kenaikan harga pangan dan suku bunga yang relatif tinggi untuk pinjaman.
“Kenaikan pendapatan juga terbatas, terutama karena harga komoditas yang cenderung normalisasi, mengingat perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada sektor komoditas. Hal ini kemungkinan akan berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat,” ujarnya dikutip Jumat 29 Maret 2024.
Kenaikan tarif PPN dapat memicu penurunan konsumsi yang berpotensi merugikan pertumbuhan ekonomi.” Konsumsi sendiri memiliki kontribusi yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), menyumbang lebih dari 50% dari total,” jelas Josua.
Untuk mengurangi dampak negatifnya, kata Josua, pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara peningkatan tarif PPN dan kondisi aktual ekonomi serta daya beli masyarakat. “Diperlukan pembaruan dan penyesuaian kebijakan yang tepat, sehingga kebijakan tersebut tidak merugikan konsumsi masyarakat dan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ungkapnya.
Dalam analisisnya, Josua juga menyoroti dampak kenaikan PPN terutama pada kelompok menengah bawah, yang lebih banyak mengonsumsi barang-barang yang dikenakan PPN. “Meskipun begitu, barang-barang primer seperti bahan makanan dan pendidikan negeri tidak dikenakan PPN, sehingga dampak langsung pada golongan bawah dan miskin mungkin akan lebih terbatas,” papar dia,
Senior Vice President Head of Retail, Product Research & Distribution Division PT. Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi Riawan menyatakan bahwa penundaan penerapan tarif PPN baru dan tetapnya tarif PPN pada 11% dapat mempengaruhi sentimen pasar, terutama bagi investor dan pengusaha.
“Sektor-sektor yang berpotensi terkena dampak adalah sektor konsumsi domestik seperti ritel dan properti. Penundaan tersebut juga dapat mempengaruhi kinerja perusahaan dan permintaan konsumen, tergantung pada sektor dan strategi bisnis masing-masing perusahaan,” jelasnya
Dalam mengevaluasi dampak dan strategi investasi terkait dengan kebijakan pajak ini, diperlukan analisis mendalam terhadap masing-masing emiten dan sektor, mengingat faktor-faktor ekonomi dan kebijakan yang berlaku.