Scroll untuk baca artikel
Headline

OJK: Perbankan Tak Terancam saat Rupiah Anjlok

×

OJK: Perbankan Tak Terancam saat Rupiah Anjlok

Sebarkan artikel ini
MGL0835 11zon scaled
Nasabah menarik tunai di salah satu ATM. (Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM – Mata uang rupiah berada dalam kebuntuan menghadapi penguatan dolar AS. Bahkan, rupiah telah merosot ke level Rp 16.260 per dolar AS pada Jumat lalu 19 April 2024.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai ancaman yang dihadapi oleh industri perbankan nasional akibat penguatan dolar Amerika Serikat belakangan ini masih bisa diatasi dengan baik.

Berdasarkan hasil tes ketahanan (stress test) yang dilakukan oleh OJK, penurunan nilai tukar rupiah pada saat ini relatif tidak signifikan dalam pengaruhnya terhadap modal bank. Karena posisi devisa neto (PDN) perbankan Indonesia masih jauh di bawah ambang batas dan secara umum berada dalam posisi PDN “long” (aset valas lebih besar dari kewajiban valas).

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa cadangan modal perbankan yang cukup besar (CAR yang tinggi) diyakini mampu menanggulangi fluktuasi nilai tukar rupiah maupun suku bunga yang masih relatif tinggi.

“Andil Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam bentuk valuta asing saat ini mencapai sekitar 15% dari total DPK Perbankan. Hingga akhir Maret 2024, pertumbuhan DPK valas masih cukup baik baik secara tahunan (yoy) maupun dibandingkan dengan awal tahun 2024 (ytd),” katanya dalam pernyataan resmi, dikutip Minggu 21 April 2024.

“Penurunan nilai tukar rupiah yang sedang terjadi saat ini juga dapat memberikan dampak positif terhadap ekspor komoditas dan produk turunannya yang diharapkan bisa menyeimbangkan penarikan dana non-residen dan mendorong industri dalam negeri untuk meningkatkan penggunaan komponen dalam negeri dalam proses produksinya,” ungkap Dian.

OJK secara rutin melakukan tes ketahanan (stress test) terhadap sektor perbankan dengan memperhitungkan beberapa variabel skenario makroekonomi dan mempertimbangkan faktor risiko utama, yaitu risiko kredit dan risiko pasar.

OJK juga terus melakukan pengawasan secara optimal untuk memastikan bahwa berbagai risiko akibat penurunan nilai tukar maupun suku bunga yang relatif tinggi terhadap masing-masing bank dapat ditangani dengan baik.

Dian menegaskan bahwa OJK meminta bank-bank untuk selalu memantau potensi dampak transmisi dari perkembangan ekonomi global dan domestik terhadap kondisi bank dan mengambil langkah-langkah mitigasi yang diperlukan. Koordinasi dengan Anggota KSSK juga terus dilakukan dengan komitmen untuk terus menerbitkan kebijakan yang diperlukan dengan tepat dan tepat waktu.

Dian juga mengajak masyarakat untuk tetap tenang menghadapi dampak guncangan geopolitik global yang sedang terjadi.

“Ketenangan dan rasionalitas dari masyarakat, serta koordinasi antar-otoritas terkait, merupakan faktor kunci dalam menghadapi dinamika ekonomi global yang sedang berlangsung,” kata Dian.

Menurutnya, hingga saat ini, penguatan dolar AS terjadi terhadap seluruh mata uang global, seperti yang tercermin dari Dollar Index yang mencatatkan tren kenaikan sejak akhir Maret 2024.

Beberapa faktor yang memengaruhi penguatan dolar AS antara lain adalah kebijakan suku bunga yang tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama yang masih berlangsung di tengah penguatan ekonomi AS, namun seiring dengan tingginya inflasi AS yang masih jauh dari target 2%.

Hal ini diperkuat oleh pernyataan The Fed yang menyatakan bahwa mereka belum akan terburu-buru menurunkan suku bunga dan akan terus memantau perkembangan data ekonomi ke depan.

Sementara itu, meningkatnya tensi geopolitik di Timur Tengah setelah konflik langsung antara Iran dan Israel telah menimbulkan kekhawatiran akan perang yang semakin meluas dan dapat membebani ekonomi global. Terutama dari kenaikan harga komoditas energi dan mineral utama serta kenaikan biaya logistik seiring dengan terganggunya jalur perdagangan utama akibat konflik di Timur Tengah dan Rusia-Ukraina.

Peningkatan tensi geopolitik dan ketidakpastian global ini telah menyebabkan dolar AS, yang merupakan salah satu safe haven asset, terus dicari oleh para pelaku pasar dan mendorong penguatannya lebih lanjut.

Di sisi lain, ekonomi domestik juga terpengaruh oleh situasi geopolitik eksternal seperti yang terlihat dari data inflasi Indonesia pada Maret 2024 yang mencapai 0,52% (mtm) atau 3,05% (yoy), meningkat dibandingkan dengan 2,75% (yoy) pada Februari 2024, meskipun masih tetap dalam rentang target yang ditetapkan.