Scroll untuk baca artikel

Cara BUMN Sehat: Singkirkan Politisi dari Kursi Komisaris

×

Cara BUMN Sehat: Singkirkan Politisi dari Kursi Komisaris

Sebarkan artikel ini
MGL3051 11zon
Warga melintas depan Kantor Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Jalan Medan Merdeka Selatan (Foto: KabarBursa/abbas sandji)

KABARBURSA.COM – Pengamat BUMN dari Datanesia Institute, Herry Gunawan, menekankan pentingnya perbaikan tata kelola BUMN agar tidak hanya berhenti pada pembubaran perusahaan. Salah satu poin krusialnya adalah soal pemilihan komisaris.

Herry mengkritik praktik penunjukan pejabat publik sebagai komisaris BUMN, yang berpotensi memicu konflik kepentingan dan persaingan tidak sehat dengan swasta. Ia melihat, peran ganda ini dapat memengaruhi objektivitas pejabat dalam menjalankan tugasnya sebagai operator.

Dia mengusulkan agar tradisi pemberian jabatan komisaris BUMN sebagai hadiah atau tempat penampungan politikus dihapuskan. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah mencabut kewenangan Kementerian BUMN dalam menunjuk komisaris.

Herry juga menyoroti banyak birokrat, bahkan hingga Eselon II di kementerian, menjadi komisaris di BUMN. Dia menyebut hal ini mencerminkan contoh buruk dalam tata kelola perusahaan negara.

“Jangan juga jadikan BUMN tempat para birokrat mencari tambahan penghasilan dengan menjadi komisaris,” ujar Herry kepada KabarBursa, Jumat, 28 Juni 2024.

Langkah kedua yang diusulkan Herry adalah mencabut kewenangan kementerian teknis dalam mengelola BUMN. Saat ini, berbagai kementerian seperti Kementerian Keuangan memiliki BUMN sendiri. Kontrol yang terpisah-pisah ini dianggap kurang efisien.

Herry mengatakan kewenangan Kementerian BUMN dalam menunjuk komisaris seharusnya dicabut. Kementerian BUMN cukup menjadi regulator dan pengawas, sementara penunjukan pengurus BUMN dilakukan oleh lembaga independen di bawah presiden yang diisi oleh orang dari beragam latar belakang. Hal ini diharapkan membuat proses penunjukan lebih objektif.

“Kalau perlu, presiden jadi Chairman BUMN seperti yang terjadi pada Khazanah, dengan Anwar Ibrahim sebagai Chairman di situ,” jelas Herry.

Khazanah Nasional merupakan perusahaan investasi milik pemerintah Malaysia yang berada di bawah kepemimpinan perdana menteri. Khazanah bertujuan untuk mengelola aset strategis negara dan memacu pertumbuhan ekonomi melalui investasi di berbagai sektor.

Antara Aturan dan Realitas

Fenomena politisi menduduki kursi komisaris di BUMN kerap menjadi sorotan. Di era Jokowi, beberapa nama politisi dan relawannya menempati posisi strategis di perusahaan plat merah ini.

Pada awal periode pemerintahan pertamanya, beberapa politisi dan mantan relawan Jokowi masuk dalam jajaran BUMN. Laman Sekretariat Negara mencatat nama-nama seperti Refly Harun di Jasa Marga dan Diaz Hendroprijono di PT Telkomsel.

Selain itu, penunjukan Abdi Negara Nurdin, gitaris grup musik Slank, sebagai komisaris PT Telkom Indonesia pada Mei 2021 juga menarik perhatian publik. Penunjukan Abdi dinilai erat kaitannya dengan peran Slank sebagai sukarelawan pendukung Jokowi dalam dua pemilu, yaitu tahun 2014 dan 2019.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN mensyaratkan komisaris BUMN harus nonpartisan. Salah satu persyaratan materiil untuk menjadi komisaris di perusahaan milik negara tersebut adalah bukan pengurus partai politik dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif.

Undang-undang ini menjelaskan bahwa calon anggota legislatif atau anggota legislatif terdiri dari calon/anggota DPR, DPD, DPRD tingkat I, dan DPRD tingkat II; bukan calon kepala/wakil kepala daerah dan/atau kepala/wakil kepala daerah.

Berdasarkan salah satu persyaratan materiil tersebut, politisi yang diangkat sebagai komisaris di BUMN wajib meninggalkan aktivitas mereka dalam partai politik. Salah satu contohnya adalah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) pada November 2019. Ahok saat itu harus mengundurkan diri dari PDI-P meskipun setelahnya kembali aktif dalam kegiatan partai.

Kajian Transparansi Internasional Indonesia

Kajian Transparansi Internasional Indonesia menunjukkan bahwa porsi politisi yang menduduki kursi komisaris BUMN relatif besar, yaitu 14,7 persen. Hasil penelitian TI mengenai latar belakang komisaris BUMN.

Namun, proses penunjukan mereka lebih didominasi pertimbangan politis (82,37 persen) dibandingkan pertimbangan profesional (17,63 persen).

Dari 482 komisaris BUMN yang diteliti pada 2021, sebanyak 51,66 persen berasal dari birokrasi, 14,73 persen dari kalangan politisi, 6,02 persen dari aparat militer, 5,81 persen dari aparat penegak hukum, dan 4,15 persen menduduki jabatan strategis.

Kajian Transparansi Internasional Indonesia menguatkan anggapan publik bahwa penunjukan sukarelawan atau pendukung politik sebagai komisaris BUMN didasari konsesi politik.

Menurut Herry, pengelolaan BUMN selama ini sering kali mendapat campur tangan politik dan penunjukan pejabat yang tidak berdasarkan kompetensi menjadi sorotan utama. Menteri BUMN, kata Herry, selama ini hanya membagikan posisi strategis kepada individu-individu tanpa mempertimbangkan kredibilitas mereka.

“Menteri BUMN seperti jadi Sinterklas yang bisa menempatkan orang sebagai pejabat di BUMN, terlepas kredibel atau tidak. Ini harus diakhiri,” katanya. (Alp/*)