Scroll untuk baca artikel

Saham Tiga Emiten Tambang BUMN, Mana Layak Koleksi?

×

Saham Tiga Emiten Tambang BUMN, Mana Layak Koleksi?

Sebarkan artikel ini
13441972714 f0244d26c0 h
TAMBANG - Seunit alat berat ekskavator di sebuah tambang (Foto: flickr)

KABARBURSA.COM – Tiga emiten tambang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi perusahaan negara ketiga terbesar yang memberikan dividen Rp11 triliun. Ada PT Timah Tbk (TINS), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), yang tergabung dalam holding BUMN tambang, yaitu MIND ID.

TINS menjadi emiten tambang BUMN yang mencatatkan pertumbuhan kinerja paling agresif hingga semester I 2024, jika dibandingkan dengan PTBA dan ANTM, yang masih membukukan laba bersih lebih rendah. Lalu, bagaimana kinerja ketiga emiten TINS, PTBA, dan ANTM tersebut.

ANTM

Dari sisi fundamental, ANTM mengalami penurunan laba bersih sebesar 17,95 persen menjadi Rp1,55 triliun. Meskipun begitu, ANTM berhasil mencatatkan peningkatan pendapatan sebesar 7,06 persen menjadi Rp23,18 triliun, yang didorong oleh kenaikan penjualan logam mulia dan pemurnian sebesar 41 persen menjadi Rp18,94 triliun.

Namun, secara keseluruhan, pendapatan nikel ANTM mengalami penurunan signifikan sebesar 52,8 persen menjadi Rp3,5 triliun. Padahal, nikel telah menjadi salah satu sumber utama laba bersih bagi ANTM karena menawarkan margin keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk emas.

Penurunan pendapatan nikel ini terkait dengan belum disetujuinya sebagian dari Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) ANTM oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Direktur Utama ANTM, Nicolas D. Kanter, menyebutkan bahwa Kementerian ESDM belum sepenuhnya menyetujui RKAB perseroan untuk periode 2024-2026, terutama terkait dua aset besar yang berperan penting dalam produksi nikel untuk ekosistem baterai kendaraan listrik (Electric Vehicle Battery Ecosystem).

Dua aset tersebut adalah PT Sumber Daya Arindo dan PT Nusa Karya Arindo, yang merupakan tambang nikel. Menurut riset BRI Danareksa Sekuritas, manajemen ANTM optimistis akan mendapatkan persetujuan RKAB untuk kedua aset tersebut pada Juli 2024. Jika persetujuan ini diberikan, ANTM dapat meningkatkan pendapatan dari sektor nikel dan mendorong kenaikan laba bersih.

Menurut konsensus analis terbaru dari Simply Wallstreet, laba bersih ANTM sepanjang 2024 diperkirakan turun 25,05 persen menjadi Rp2,3 triliun, meskipun pendapatannya diperkirakan masih meningkat 14,76 persen menjadi Rp47,1 triliun.

Proyeksi penurunan laba bersih ANTM ini sejalan dengan harga nikel yang sedang berada pada level rendah sekitar 16.000 dolar AS per ton. Penurunan harga ini disebabkan oleh peningkatan produksi di Indonesia dan penurunan permintaan dari China, meskipun ada potensi gangguan produksi di Kaledonia Baru yang bisa mempengaruhi pasokan nikel di jangka pendek.

Berikut proyeksi dividen ANTM untuk tahun 2024 berdasarkan beberapa asumsi. Pertama, dengan asumsi rasio pembayaran dividen rata-rata sebesar 50 persen, dividen ANTM diperkirakan sekitar Rp47,84 per saham. Dengan harga saham per 1 Agustus 2024, dividend yield-nya diperkirakan sekitar 3,55 persen.

Kedua, jika rasio pembayaran dividen mengikuti tahun 2023 yang sebesar 100 persen, maka dividen ANTM diperkirakan menjadi Rp95,71 per saham, dengan tingkat dividend yield sekitar 7,11 persen.

PTBA

Saham PTBA mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 5,65 persen menjadi Rp2,03 triliun, meskipun seperti ANTM, PTBA juga mengalami peningkatan pendapatan sebesar 4,16 persen menjadi Rp19,64 triliun, yang menimbulkan pertanyaan tentang penyebab penurunan laba tersebut.

Dalam kasus PTBA, penurunan laba bersih terjadi karena kenaikan beban pokok pendapatan yang lebih besar daripada kenaikan pendapatan. Hal ini tercermin dari penurunan gross profit margin yang signifikan menjadi 17,33 persen dibandingkan dengan 21,73 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Tiga komponen beban pokok pendapatan yang mengalami kenaikan paling signifikan antara lain, biaya kontraktor jasa pertambangan yang naik 13,79 persen menjadi Rp5 triliun, biaya jasa angkutan batu bara yang naik 7,86 persen menjadi Rp4,36 triliun, dan biaya bahan bakar serta pelumas yang naik 32,1 persen menjadi Rp818 miliar.

Selain itu, beban operasional PTBA juga mengalami kenaikan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan, yang terlihat dari penurunan net profit margin menjadi 10,35 persen dibandingkan dengan 11,43 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Dalam RKAB 2024-2026, PTBA menargetkan produksi batu bara sebesar 151,3 juta ton, dengan rincian target 41,3 juta ton pada tahun ini, 50 juta ton pada 2025, dan hampir 60 juta ton pada 2026. Target produksi batu bara PTBA pada 2024 ini cenderung konservatif, mengingat pencapaian produksi di 2023 mencapai 41,9 juta ton.

Berdasarkan proyeksi kinerja PTBA dari konsensus sekitar 6 analis, pendapatan perusahaan diperkirakan akan turun 2,38 persen menjadi Rp37,57 triliun pada 2024, sementara laba bersih diprediksi turun 14,85 persen menjadi Rp5,11 triliun.

Untuk proyeksi dividen PTBA, terdapat dua skenario. Pertama, dengan asumsi rasio pembayaran dividen sebesar 100 persen, dividen PTBA diperkirakan sekitar Rp443 per saham. Dengan asumsi ini, dividend yield pada 1 Agustus 2024 diperkirakan mencapai sekitar 16,56 persen. Kedua, dengan asumsi rasio pembayaran dividen sebesar 70 persen, dividen PTBA diperkirakan sekitar Rp310 per saham, yang menghasilkan dividend yield sekitar 11,59 persen berdasarkan harga saham per 1 Agustus 2024.

TINS

TINS menjadi emiten tambang BUMN yang paling menguntungkan setelah mencatat pertumbuhan laba bersih sebesar 2.570 persen, mencapai Rp434 miliar pada semester I/2024. Apa yang mendorong lonjakan kinerja ini?

Dari segi pendapatan, TINS mencatat peningkatan sebesar 14,07 persen menjadi Rp5,21 triliun. Kenaikan pendapatan ini wajar mengingat harga timah dunia mencapai level tinggi sekitar 33.000 dolar AS per ton pada akhir Juni 2024.

Harga timah global mengalami kenaikan karena produksi turun 6,7 persen menjadi 169.800 ton selama semester I/2024. Bahkan, pasokan timah di gudang LME turun 36 persen menjadi 4.770 ton sepanjang paruh pertama tahun ini.

Laba bersih TINS melonjak karena beban pokok pendapatan menurun 3,96 persen menjadi Rp3,99 triliun, sehingga laba kotor TINS meningkat 198 persen menjadi Rp1,21 triliun. Gross profit margin juga naik menjadi 23,29 persen dibandingkan 8,91 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Selain itu, kenaikan biaya operasional yang hanya sebesar 57,33 persen menjadi Rp573,68 miliar juga lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan laba kotor, yang turut mendorong kenaikan laba bersih TINS ribuan persen.

Kinerja keuangan TINS diproyeksikan pulih pada 2024, dengan pendapatan diperkirakan naik 28,2 persen menjadi Rp10,76 triliun, dan bottom line TINS diproyeksikan positif Rp882 miliar, dibandingkan dengan kerugian Rp449 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Dengan perkiraan laba bersih yang kembali positif, TINS diproyeksikan dapat membagikan dividen hingga 35 persen dari laba bersih 2024. Jika berdasarkan proyeksi ini, dividen TINS diperkirakan sebesar Rp77,25 per saham, dengan dividend yield mencapai 7,92 persen berdasarkan harga per 1 Agustus 2024.

Mana Layak Koleksi?

Berdasarkan harga per Jumat, 2 Agustus 2024, dan menggunakan metode price to earning (PE) justified yang dihitung dengan proyeksi kinerja 2024, ketiga saham tambang BUMN ini berada dalam kategori undervalued.

Harga wajar ANTM menurut metode PE justified diperkirakan sekitar Rp1.412 per saham, sementara harga wajar PTBA sekitar Rp2.793 per saham, dan harga wajar TINS sekitar Rp1.009 per saham.

Dalam kondisi ini, meskipun ketiganya dianggap undervalued, PTBA menjadi pilihan yang lebih menarik karena stabilitas kinerja keuangannya dibandingkan dengan TINS dan ANTM. Di sisi lain, saham TINS cenderung berfluktuasi dengan cepat, sehingga jika harga timah dunia turun ke level normal, risiko penurunan harga sahamnya cukup tinggi.

ANTM tetap menjadi pilihan yang menarik, karena meskipun diperkirakan akan mengalami penurunan kinerja pada 2024, hal ini bisa membuka peluang untuk pertumbuhan yang lebih cepat pada 2025. (*)