KABARBURSA.COM – Saham emiten rokok berpotensi terdampak dan mengalami pertumbuhan yang melambat setelah pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Kesehatan Nomor 28 Tahun 2024, yang mencakup poin penting terkait pengendalian produk tembakau.
Salah satu ketentuan utamanya adalah larangan penjualan rokok secara eceran atau per batang. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur lokasi penjualan rokok.
Aturan lainnya meliputi larangan penjualan dan promosi rokok melalui situs web, aplikasi, dan media sosial. Produsen rokok juga diwajibkan untuk menampilkan peringatan kesehatan bergambar yang mencakup 50 persen dari kemasan rokok, sementara saat ini peringatan tersebut hanya mencakup 40 persen.
Ketentuan ini juga berlaku untuk rokok elektrik, namun tidak untuk rokok klobot, klembak menyan, dan cerutu yang dikemas per batang.
Selain itu, pada tahun 2025, cukai hasil tembakau akan dinaikkan hingga 10 persen, menimbulkan pertanyaan tentang daya tarik saham emiten rokok. Namun, dampak kebijakan ini terhadap industri rokok akan tergantung pada implementasinya nanti.
Namun jika dilihat lantai bursa, harga saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM), dan PT H.M. Sampoerna Tbk (HMSP) terpantau bertumbangan dalam perdagangan sepekan terakhir dari 29 Juli 2024 sampai dengan 2 Agustus 2024. GGRM dan WIIM kompak anjlok masing-masing 6,04 persen (1.000 poin) dan 14,73 persen (165 poin), sedangkan HMSP bergerak mendatar dalam sepekan.
Larangan Rokok Eceran
Pengamat pasar modal, Wahyu Laksono mengatakan kebijakan larangan penjualan rokok eceran tersebut justru merupakan kabar baik bagi emiten di sektor rokok. “Tidak ada masalah (rokok dijual eceran) itu. Justru bisa jadi ini pro mereka (produsen rokok),” kata Wahyu kepada Kabar Bursa, Rabu, 31 Juli 2024.
Menurut dia, kebijakan itu juga membuat masyarakat bisa membeli rokok lebih banyak, seperti satu bungkus rokok. Dengan begitu, Wahyu menilai hal ini tidak akan mengganggu pendapatan emiten rokok.
“Artinya tidak mengganggu demand dan tidak mengganggu pendapatan emiten rokok,” ucap dia.
Wahyu menjelaskan, kinerja emiten rokok justru bisa terganggu jika ada kebijakan bea cukai. Jika ini terjadi, harga rokok akan berubah dan berdampak terhadap pembelian masyarakat.
“Beda kalau cukai, berdampak ke konsumen (harga naik) atau ke emiten (pendapatan turun),” kata dia.
Hal senada juga diungkapkan Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta. Ia mengatakan kinerja emiten rokok bakal terpengaruh ketika ada kebijakan bea cukai.
“Kalau rokok lebih dipengaruhi oleh cukai ya. Sebenarnya sudah tercermin ke hal tersebut jika dibandingkan dengan kebijakan larangan jual rokok eceran,” jelasnya.
Cukai Hasil Tembakau
Perbedaan antara kebijakan pembatasan penjualan dan kenaikan cukai terletak pada dampaknya. Kenaikan cukai memengaruhi daya beli masyarakat setelah harga rokok meningkat, sedangkan kebijakan pembatasan penjualan secara langsung menekan pendapatan produsen rokok.
Ada tiga fase utama dalam upaya pemerintah mengurangi konsumsi rokok sejak 2014. Pertama, pada Juni 2014, pemerintah mewajibkan adanya gambar peringatan kesehatan yang menutupi 40 persen dari kemasan rokok. Kebijakan ini tidak memberikan dampak langsung pada penjualan karena gambar tersebut tidak cukup menakuti perokok aktif.
Kedua, kenaikan cukai rokok secara agresif terjadi dari 2015 hingga 2024. Kenaikan tertinggi tercatat pada 2020, sebesar 23 persen, dengan rata-rata kenaikan cukai sekitar 10-11 persen per tahun. Selama pemerintahan Joko Widodo, hanya pada 2019 cukai rokok tidak dinaikkan.
Dampak dari kenaikan cukai ini memperlambat pertumbuhan penjualan rokok HMSP dan GGRM dalam periode 2015-2023. HMSP mencatat pertumbuhan penjualan rata-rata hanya 2,98 persen per tahun dibandingkan 12,82 persen per tahun pada periode 2008-2014. Sementara itu, GGRM mencatat perlambatan pertumbuhan penjualan tahunan menjadi 6,01 persen pada 2015-2023, dibandingkan 11,59 persen per tahun pada 2008-2014.
Selain perlambatan penjualan, dampak terbesar terlihat pada tren laba bersih HMSP dan GGRM. Sejak 2015-2023, laba bersih HMSP menurun rata-rata 3,46 persen per tahun, sementara GGRM mengalami penurunan laba bersih sebesar 2,08 persen per tahun.
Ketiga, fase yang sedang berlangsung adalah pembatasan penjualan dan promosi yang lebih ketat. Terlepas dari seberapa ketat kebijakan ini diterapkan, penjualan perusahaan rokok tetap akan terpengaruh secara langsung.
Nasib Saham Emiten Rokok
Banyak yang menganalisis bahwa saham rokok masih memiliki potensi untuk bangkit kembali, dengan dasar bahwa jumlah perokok tetap tinggi. Namun, kenaikan cukai telah menyebabkan pergeseran dari konsumsi rokok legal ke rokok ilegal. Ini berarti, meskipun jumlah perokok meningkat, penjualan rokok legal, terutama melalui emiten seperti HMSP dan GGRM, justru melambat.
Secara teori, penurunan laba bersih HMSP dan GGRM seharusnya bisa mencapai titik keseimbangan baru sebelum akhirnya kembali tumbuh. Hal ini dianggap sebagai peluang bagi saham rokok ke depannya, meskipun tanpa memperhitungkan risiko dari kebijakan pemerintah.
Nafan mengatakan bahwa penurunan kinerja HMSP terjadi akibat pengaruh tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada golongan sigaret kretek mesin (SKM) yang mencapai 11,5 persen.
“Karena ketika cukai mengalami penaikan secara gradual per tahun, akan mempengaruhi emiten-emiten rokok, kinerja penganggaran harga saham mengalami downtrend,” kata Nafan kepada Kabar Bursa, Jumat, 2 Agustus 2024.
Sementara itu, analis sekuritas Kiwoom, Abdul Azis Setyo Wibowo berpendapat penurunan kinerja Wismilak tersebut juga difaktori banyaknya peminat tren konsumsi rokok linting atau tingwe (linting dewe) alias melinting tembakau sendiri di masyarakat.
“Bahkan saat ini juga sedang ngetren adanya istilah tingwe (linting dewe) yang mana tren seperti ini juga dapat berdampak pada penurunan penjualan rokok,” ujar Azis.
Bisnis emiten rokok ini terdisrupsi oleh kebijakan pemerintah seperti kenaikan cukai, sehingga sulit bagi mereka untuk mencatatkan pertumbuhan atau mencapai titik keseimbangan baru yang memungkinkan pertumbuhan kembali.
Selain itu, emiten rokok di Indonesia belum melakukan diversifikasi bisnis ke sektor yang lebih menguntungkan. GGRM memang memasuki bisnis pembangunan bandara dan jalan tol di Kediri, namun proyek ini membutuhkan waktu lama untuk balik modal. Meskipun GGRM bisa mendapatkan dana segar jika menjual sebagian kepemilikan bandara dan jalan tol, itu hanya akan berdampak jangka pendek.
Di sisi lain, HMSP fokus pada produk rokok tanpa asap, namun sejauh ini strategi ini belum memberikan solusi efektif dalam menghadapi kebijakan pemerintah. Meskipun begitu, strategi HMSP lebih baik dibandingkan dengan GGRM, karena penjualan rokok tanpa asap, termasuk ekspor ke Jepang, telah membantu meningkatkan pendapatan, meskipun kontribusinya belum signifikan.
Salah satu perhatian untuk HMSP adalah lini bisnis SRC (Sampoerna Retail Community) yang cukup besar di daerah. GGRM dan Djarum juga memiliki bisnis serupa, namun belum ada angka nyata mengenai keuntungan dari jaringan toko kelontong tersebut.
Meskipun kinerja emiten rokok sedang menurun, mereka tetap memiliki kas besar, seperti HMSP dengan kas dan setara kas senilai Rp7 triliun pada semester I 2024, serta GGRM dengan kas sekitar Rp4 triliun.
Namun, meskipun memiliki kas yang besar, kedua emiten ini perlu berekspansi ke bisnis yang memberikan pengembalian hasil yang cepat untuk terus mengembangkan bisnis mereka.
Selama mereka belum masuk ke bisnis baru di luar rokok yang bisa menghasilkan kas dengan cepat, prospek emiten rokok masih tampak suram untuk investasi jangka panjang. Namun, untuk trading jangka pendek, saham ini bisa menarik jika ada momentum yang baik.
Dividen Saham Emiten Rokok
Salah satu alasan yang sering digunakan untuk tetap berinvestasi di saham rokok adalah karena mereka masih rutin membagikan dividen.
Jawabannya tetap sama, tingkat risikonya masih tinggi. Ada risiko penurunan laba bersih yang dapat menyebabkan nilai dividen yang dibagikan ikut turun. Jika harga saham juga turun seiring dengan kinerja laba bersihnya, maka jika kamu membeli saham di harga puncak, tingkat dividen yield yang didapatkan juga akan semakin rendah.
Angka dividend yield akan berbeda jika dihitung berdasarkan harga saham saat perdagangan cum-dividen. Misalnya, HMSP membagikan dividen sebesar Rp69 per saham pada 2024 dari tahun buku 2023. Jika kamu membeli sahamnya tahun lalu di harga sekitar Rp1.000 per saham, tingkat dividen yield yang didapatkan sekitar 6,9 persen. Namun, jika kamu membeli sahamnya jelang cum-dividen di harga Rp800-an per saham, tingkat dividend yield-nya menjadi sekitar 8 persen.
Hal ini juga bisa terjadi pada 2 Agustus 2024, ketika harga saham HMSP sudah berada di kisaran Rp600-an per saham. Tingkat dividend yield akan tetap terlihat besar jika dihitung dari harga saham jelang cum-dividen, karena penurunan harga saham sejalan dengan penurunan laba bersihnya. Oleh karena itu, investasi jangka panjang di saham rokok dinilai sudah tidak menarik lagi.