KABARBURSA.COM – Pasar saham Indonesia diprediksi bakal menyambut positif jika Sri Mulyani kembali ditunjuk sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) dalam kabinet pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.
Chief Economist & Head of Research Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, mengakui peran Sri Mulyani sebagai Menkeu selama ini terbilang cukup baik.
“Kredibilitasnya cukup baik. Terlebih beliau orang yang jujur bersih dan transparan,” ujar dia kepada media di Jakarta, Kamis, 17 Oktober 2024.
Hal tersebut diungkapkan Rully berkaca dari agenda APBN Kita yang rute digelar oleh Kementerian Keuangan selama ini. Dia bilang, hal tersebut menunjukkan jika Sri Mulyani merupakan menteri yang transparan.
“Ini menunjukkan dikelola dengan sangat transparan dengan menyebutkan pendapatan dari mana dan untuk apa aja,” tutur dia.
Rully yakij jika hal yang diterapkan Sri Mulyani tersebut bisa menarik minat para investor, terutama investasi obligasi. Menurut dia, para investor selalu melihat sosok bendahara negara terlebih dahulu sebelum membeli Surat Berharga Negara atau SBN.
“Hal ini sangat positif terutama bagi investor di obligasi. Investor asing kalau mau beli SBN tentu saja melihat sosok dari bendahara negara,” pungkasnya.
Sri Mulyani memang digadang-gadang akan kembali ditunjuk menjadi Menkeu di pemerintahan baru. Hal ini setelah menteri 62 tahun itu hadir saat Prabowo memanggi sejumlah tokoh atau calon menteri beberapa waktu lalu.
Catatan untuk Sri Mulyani
Sejumlah pakar ekonomi sebelumnya memberi catatan kepada Sri Mulyani yang ditunjuk kembali menjadi Menteri Keuangan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto. Catatan ini diberikan setelah mengevaluasi kinerja Sri Mulyani sejak 2016 hingga kini.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M Rizal Taufikurahman menyoroti kebijakan anggaran yang selalu mengalami defisit di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, meskipun angkanya tetap di bawah 3 persen.
Ia menekankan pemerintah seringkali harus berutang untuk menutup defisit tersebut, yang bisa menjadi beban bagi APBN di masa depan jika tidak dikelola dengan baik.
Rizal juga mengungkapkan kekhawatirannya soal rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terus meningkat atau stagnan setiap tahunnya, bukannya menurun.
“Jika utang semakin besar, maka bukan membayar utang, melainkan menambah utang,” ujar Rizal dalam diskusi publik Universitas Paramadina yang digelar secara daring pada Rabu, 16 Oktober 2024.
Meskipun ia tidak menolak bahwa pemerintah perlu menarik utang kembali, tapi Rizal menegaskan utang harus digunakan untuk mendorong pembangunan, sehingga dapat memunculkan sumber-sumber baru bagi pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, nilai tambah hanya akan tercapai apabila utang dialokasikan untuk sektor riil seperti industri dan manufaktur. “Utang seharusnya dibayar dari hasil ekonomi yang dihasilkan, bukan untuk belanja pegawai,” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Paramadina Public Policy Institute Septa Dinata lebih menyoroti perbedaan antara Sri Mulyani dan Prabowo dalam hal orientasi geopolitik.
Menurut dia, latar belakang Sri Mulyani yang lama berkarier dan menempuh pendidikan di Amerika Serikat membuatnya lebih dekat dengan negara-negara Barat.
Bagi dia, hal ini sangat menarik untuk dilihat, terutama karena orientasi geopolitik Prabowo sepertinya berbeda. Setelah terpilih, Prabowo cenderung menjalin hubungan dengan negara-negara seperti China, Rusia, Jepang, dan Malaysia, yang menandakan aliansinya tidak condong ke Barat.
“Di sisi lain Pak Prabowo juga menunjukkan adanya kecenderungan orientasi aliansinya tidak ke situ (Barat). Aliansinya kalau kita lihat pasca dia terpilih, kepala negara yang dikunjunginya adalah Rusia, ke Jepang, ke Malaysia,” ungkap Septa.
Program Pelunasan Utang
Prabowo Subianto disarankan untuk memerintahkan kepada Sri Mulyani untuk membuat program khusus terkait dengan utang Indonesia.
Awalnya, Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan INDEF M Rizal Taufikurahman mengaku dirinya salah memprediksikan formasi kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
Kata Rizal, sebelumnya ia mengira kabinet Prabowo-Gibran akan lebih ramping untuk mempermudah pengawasan serta meningkatkan efisiensi anggaran.
“Ternyata prediksi saya salah. Saya mengira formasi kabinet Prabowo-Gibran akan lebih ramping sehingga bisa efisien dan memudahkan pengawasan. Ternyata kebalikannya, super gemuk karena mengakomodir koalisi gemuk,” kata Rizal dalam diskusi bertema ‘Koalisi Gemuk dan Antisipasi Kebocoran Anggaran’ yang diselenggarakan secara daring, Rabu, 16 September 2024.
Rizal menilai dengan susunan kabinet yang gemuk ini maka kebutuhan anggaran juga akan meningkat. Ia mengingatkan kondisi ini berpotensi menambah beban utang baru, terlebih lagi mengingat perekonomian nasional yang sedang tidak stabil.
“Risikonya, anggaran yang diperlukan juga gemuk. Di tengah perekonomian nasional yang sedang tidak baik-baik saja,” ucapnya.
Dengan semakin banyaknya menteri dan wakil menteri, serta badan dan lembaga baru, alokasi fiskal untuk Kementerian dan Lembaga (K/L) menjadi semakin berat.
Kondisi ini menempatkan pemerintah dalam dilema, di mana alokasi anggaran yang minim untuk kementerian bisa mengakibatkan kinerja yang kurang optimal.
“Kementerian yang protes keras karena anggarannya dipangkas, sementara target kinerjanya justru dinaikkan. Menterinya sampai mengancam kinerjanya bakal jauh tak mencapai target. Tarik-menarik anggaran ini cukup terasa di kabinet,” kata Rizal.(*)