Scroll untuk baca artikel
Makro

Kenaikan Upah Minimum 2025 Diperkirakan di Bawah 5 Persen

×

Kenaikan Upah Minimum 2025 Diperkirakan di Bawah 5 Persen

Sebarkan artikel ini
Rupiah
UMP - Kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen disebut-sebut akan menjadi beban besar bagi dunia usaha, terutama sektor industri padat karya. (Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa)

KABARBURSA.COM – Hingga kini, pembahasan soal upah minimum untuk tahun 2025 masih berlangsung. Pengusaha dan serikat buruh belum mencapai kesepakatan terkait besaran kenaikan upah, terutama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap UU Cipta Kerja, yang mencakup ketentuan tentang pengupahan.

Pihak buruh menuntut agar kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 tidak lagi mengacu pada rumusan yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023 tentang Pengupahan.

PP yang diberlakukan sejak 10 November 2023 tersebut dianggap tidak relevan setelah putusan MK yang menyatakan bahwa sejumlah ketentuan dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Di sisi lain, kalangan pengusaha berpendapat bahwa penentuan UMP 2025 seharusnya tetap mengikuti ketentuan dalam PP No. 51/2023. Mereka juga menilai bahwa kenaikan upah yang terlalu tinggi, seperti yang diusulkan oleh buruh (8-10 persen), bisa membebani industri, yang masih menghadapi tantangan ekonomi dan melemahnya daya beli masyarakat.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengatakan bahwa pengusaha tidak menolak kenaikan upah. Namun, ia menegaskan, penetapan UMP harus mempertimbangkan kondisi ekonomi dan kinerja industri.

“Kami berharap penetapan UMP 2025 tetap mengacu pada PP No. 51/2023 karena dianggap lebih adil dalam menentukan upah minimum,” kata Azam, Minggu, 17 November 2024.

Bob mengungkapkan bahwa dengan mengikuti rumusan PP No. 51/2023, kenaikan UMP 2025 diperkirakan mencapai 3,5 persen, berdasarkan proyeksi inflasi sebesar 1,71 persen dan pertumbuhan ekonomi 4,95 persen pada kuartal III 2024.

Meski kenaikan hanya 3,5 persen, pengusaha harus menanggung beban biaya upah yang lebih besar, sekitar 6 persen hingga 7 persen.

“Tidak hanya pekerja dengan upah minimum yang terdampak, tetapi pekerja dengan gaji lebih tinggi juga akan mengalami penyesuaian,” ujarnya.

Apindo juga menyanggah anggapan bahwa kenaikan upah yang tinggi akan meningkatkan daya beli dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Bob berpendapat bahwa inflasi rendah lebih dipengaruhi oleh barang impor yang murah, sementara industri domestik justru mengalami kesulitan karena banjir produk impor.

“Kenaikan upah di satu sisi untuk mendorong daya beli, tetapi di sisi lain industri dalam negeri terpuruk karena produk impor,” keluhnya.

Oleh karena itu, Apindo meminta agar kenaikan UMP disertai dengan pemangkasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh), guna memberikan stimulus kepada industri untuk mempertahankan kinerja mereka.

Di sisi buruh, penolakan terhadap formula PP No. 51/2023 tegas disuarakan. Buruh menilai bahwa adanya indeks koefisien dalam rumusan tersebut, yang berada dalam rentang 0,10 hingga 0,30, akan mempertahankan rezim upah yang rendah.