KABARBURSA.COM – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkap, target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sebesar 8 persen terancam gagal lantaran polusi udara di Indonesia masih sangat besar. Adapun polusi udara ini berdampak langsung pada perekonomian karena penyakit yang diderita publik.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengungkap, kerugian ekonomi akibat polusi udara dapat mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Mengutip laporan Bank Dunia, dampak polusi udara mengurangi PDB hingga USD220 milar.
“Kerugian yang ditimbulkan oleh polusi udara juga sangat besar. Berdasarkan laporan Bank Dunia, polusi udara di Indonesia dapat mengurangi PDB negara ini sekitar USD220 miliar atau sekitar 6,6 persen per tahunnya. Ini dari angka PDB tahun 2019,” ungkap Fabby dalam acara Diskusi Laporan: Analisis Dampak Kebijakan Pengetatan Standar Kualitas BBM pada Aspek Lingkungan, Kesehatan, dan Ekonomi, Selasa, 19 November 2024.
Ia menuturkan, dampak polusi yang ditanggung masyarakat mencakup biaya perawatan kesehatan, kerugian produktivitas, hingga rusaknya lingkungan yang berpengaruh terhadap sektor pariwisata dan pertanian. Karenanya, Fabby menilai polusi udara merugikan Indonesia, baik dari segi kualitas hidup maupun ekonomi.
“Tentunya kalau Presiden Pak Bowo ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen musuh utama kita adalah polusi udara. Tanpa mengurus polusi udara saya tidak yakin pertumbuhan 8 persen itu bisa terjadi,” tegasnya.
Di Indonesia sendiri, tutur Fabby, kematian akibat polusi udara sebesar 60 ribu jiwa setiap tahunnya menurut data World Health Organization (WHO). Ia menuturkan, 27 persen kematian yang terjadi akibat stroke dan penyakit kardiovaskular penyebab serangan jantung. Menurutnya, penyakit-penyakit tersebut bersumber dari tingginya polusi di Indonesia.
“Ini adalah angka yang sangat besar sehingga bisa kita pahami bahwa ini adalah persoalan yang sangat serius. Selain korban jiwa, polusi udara juga mengarah pada peningkatan biaya perawatan kesehatan yang sangat tinggi,” ujar Fabby.
“polusi udara juga menyebabkan hilangnya produktivitas tenaga kerja karena banyak orang yang sakit dan tidak dapat bekerja. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, di mana polusi udara sudah mencapai tingkat yang sangat berbahaya masyarakat terpaksa menghabiskan waktu lebih banyak di dalam rumah atau tinggal di rumah sakit,” tambahnya.
Langkah Urgen untuk Pemerintah
Salah satu langkah strategis untuk mengurangi polusi udara, tutur Fabby, pemerintah harus segera memperbaiki kualitas bahan bakar minyak yang digunakan oleh kendaraan berbasis bahan bakar minyak (BBM) dan industri. Sementara saat ini, kualitas BBM di indonesia sendiri masih jauh dari standar internasional yang ditetapkan negara maju.
“Bahan bakar diesel di Indonesia misalnya, mengandung sulfur hingga 3.500 ppm. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan standar Euro 4 yang hanya membatasi sulfur ada 50 ppm. Zat-zat berbahaya seperti sulfur, benzena, dan toluena yang terkandung dalam bahan bakar ini sangat berkontribusi pada polusi udara dan berdampak pada kesehatan manusia,” ungkapnya.
Untuk itu, kata Fabby, salah satu solusi yang paling efektif adalah dengan meningkatkan kualitas bahan bakar, khususnya menurunkan kandungan sulfur dalam diesel dan mengurangi bahan-bahan kimia berbahaya dalam bensin. Jika bercermin pada standar kualitas bahan bakar yang lebih baik, pemerintah perlu menggalakkan penerapan standar Euro 4 atau 5 sebagaimana negara maju.
“Maka kita dapat mengurangi emisi dari kendaraan bermotor, memperbaiki kualitas udara, dan mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat,” tegasnya.
Pendanaan Perlu Gandeng Swasta
Meski didorong untuk segera memperbaiki kualitas bahan bakar, Fabby tak menampik besarnya biaya yang diperlukan. Karenanya, ia menilai, pemerintah perlu menggandeng pihak swasta untuk berinvestasi pada teknologi pengolahan bahan bakar minyak.
Di sisi lain, investasi tersebut juga diperlukan untuk memperbarui infrastruktur kilang minyak di Indonesia. Langkah itu diperlukan untuk meningkatkan kualitas bahan bakar yang lebih tinggi. “Meskipun biaya awal untuk perbaikan kualitas bahan bakar ini sedikit lebih tinggi, tidak tinggi-tinggi amat, tapi sedikit lebih tinggi, manfaat jangka panjangnya jauh lebih besar, baik dari segi pengurangan biaya kesehatan, peningkatan produktivitas, maupun perlindungan terhadap lingkungan hidup,” ungkap Fabby.
Kendati demikian, Fabby juga menegaskan, publik harus menyadari bahwa butuh usaha yang keras untuk memperbaiki kualitas bahan bakar. Karenanya, upaya-upaya lain juga harus dilakukan secara efektif oleh pemerintah, yaitu meningkatkan penggunaan kendaraan umum untuk mengurangi kendaraan pribadi dan mengganti kendaran berkelanjutan.
“Upaya-upaya lain, misalkan untuk mendorong perbaikan efisiensi kendaraan seperti fuel economic standard, itu juga akan membantu untuk mengurangi dampak dari pembakaran bahan bakar di kendaraan bermotor,” tutupnya.(*)