KABARBURSA.COM – Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menilai profesi agen asuransi adalah salah satu profesi yang menjanjikan keuntungan besar, terlebih lagi ketika profesi ini dijalankan dengan komitmen, kesungguhan dan mindset yang tepat.
Salah seorang agen asuransi jiwa, Yuliana Sungkono mengungkapkan bahwa menjadi agen asuransi adalah profesi yang menjanjikan terutama bagi Gen Z dan milenial. Yuliana meminta generasi muda tidak takut untuk menjadi agen asuransi karena peluang di bisnis ini cukup besar.
“Baru 5 persen penduduk Indonesia yang punya asuransi dan 95 persen belum. Selama mulut kamu bisa ngomong terus kepada siapa pun, kamu pasti bisa dapat klien,” ungkap Yuliana dikutip dari Channel YouTube Cuan Gen dalam talkshow Big Idea bertajuk Asuransi Si Penolong Kebebasan Finansial, Minggu, 21 Juli 2024.
Salah satu penyebab nasabah tidak tertarik, kata Yuliana, adalah karena agen asuransi tersebut tidak memiliki pengetahuan yang mendalam terkait dengan produk yang ditawarkan. Kemudian masalah terbesar lainnya adalah tidak dapat meyakinkan calon nasabah.
Yuliana mengungkapkan, menjadi agen asuransi semakin mudah dijalani karena kecanggihan teknologi. Hal ini berbeda dengan cara agen asuransi zaman dulu yang menawarkan produknya door to door.
Asuransi juga menjadi semakin mudah ditawarkan ke konsumen pada masa pandemi Covid-19. Jika sebelumnya agen asuransi harus mencari nasabah, sekarang berbalik nasabah yang mencari agen asuransi.
“Saya merasa setelah covid-19, saya dikejar banyak orang dan saya merasa dibutuhkan sekali. Kalau dulu saya mencari orang, kalau sekarang orang mencari saya. Karena, orang itu setelah mereka terancam hidupnya, baru mereka merasa perlu mencari asuransi,” jelasnya.
Tantangan Menjadi Agen Asuransi
Yuliana tidak menampik jika saat ini banyak keluhan nasabah asuransi yang disampaikan di medsos. Keluhan yang diungkap pun beragam, termasuk klaim tidak dibayar dan kenaikan premi asuransi atau sejumlah uang yang harus dikeluarkan nasabah yang terdaftar di perusahaan asuransi.
Ada beberapa alasan mengapa klaim asuransi ditolak, yakni polis tidak aktif, klaim tidak masuk daftar pengecualian, terlambat pengajuan klaim, masalah kelengkapan dokumen, mengajukan klaim dalam waktu tunggu, klaim masuk pre-existing condition, pelanggaran hukum (menipu perusahaan asuransi) dan klaim tidak masuk ke dalam klausul perlindungan.
Menurutnya, perusahaan asuransi memiliki alasan yang kuat mengapa tidak memenuhi klaim nasabah. Ibu dua anak ini mengungkapkan, salah satu penyebab perusahaan asuransi tidak membayar klaim adalah karena menemukan bukti ketidak jujuran nasabah dalam mengisi data awal, tapi mengeluh di media sosial ketika klaimnya tidak dibayar perusahaan asuransi.
“Banyak juga klien saya yang sudah dibayar klaimnya ratusan juta sampai miliaran dan koar-koar di asuransi menyampaikan terima kasih kepada saya. Kalau ada klaim tidak dibayar, mereka bilangnya perusahaan asuransi klaimnya bohong,” keluhnya.
Terkait dengan keluhan kenaikan premi asuransi, lanjut dia, terjadi karena kondisi ekonomi di Indonesia. Menurutnya, kenaikan biaya kesehatan atau rumah sakit cukup signifikan sehingga membuat perusahaan asuransi terpaksa menaikkan premi karena harus mengeluarkan uang cukup besar untuk membayar rumah sakit.
Yuliana menilai, keluhan nasabah inilah yang kerap dihadapi oleh agen asuransi. Ketika terjadi penolakan klaim dan kenaikan premi, pihak yang menjadi sasaran nasabah adalah agen asuransi.
Ketika ada nasabah yang mengajukan komplain, agen asuransi harus berusaha menjelaskan masalah kenaikan premi atau klaim ditolak dengan baik agar nasabah mengerti.
“Sebagai agen, itu sedihnya adalah ketika perusahaan yang berbuat (menaikkan premi), tapi saya (agen) yang harus bertanggung jawab. Masalah kenaikan, agen mana tahu perusahaan mau menaikkan berapa tagihannya,” ungkapnya.
Ia meminta agar masyarakat harus lebih belajar memahami posisi agen asuransi. Karena, menurut dia, kebijakan menaikkan premi asuransi bukan berasal dari agen, tapi perusahaan asuransi.
Untuk menghadapi tantangan ini, Yuliana mengimbau agar menjadi agen yang memiliki knowledge dan mampu menghandle nasabah dengan baik. Selain itu, ia menyarankan agar sebagai sesama agen harus menghimpun diri di dalam wadah yang bernama asosiasi.
Menurutnya, wadah diperlukan agar keluhan agen dapat lebih di dengar oleh pihak pemerintah, perusahaan yang mempekerjakan dan nasabah. Karena, keputusan menjadi agen asuransi bukan hanya soal memiliki peluang sukses yang besar tapi juga masalah dan tantangan tersendiri.
“Agen itu jadi seperti sandwich karena ditekan dari atas dan dari bawah. Satu sisi ditekan perusahaan dan di sisi lain harus bela kepentingan nasabah. Tapi balik lagi, untuk perusahaan saya minta agar harus lebih menghargai agen. Karena kalau sampai orang trauma jadi agen, yang rugi juga kalian (perusahaan),” tuturnya. (cit/*)