Scroll untuk baca artikel
Makro

Konsumen Fintech Perlu Tingkatkan Pemahaman Legalitas

×

Konsumen Fintech Perlu Tingkatkan Pemahaman Legalitas

Sebarkan artikel ini
Fintech P2P
Ilustrasi Fintech P2P (Foto:Int)

KABARBURSA.COM – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan, berdasarkan Survei CELIOS 2024, mayoritas konsumen fintech masih memeriksa legalitas perusahaan fintech melalui situs web regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Survei tersebut menunjukkan bahwa 40 persen responden mencari daftar platform berizin di situs web regulator, 22,1 persen memeriksa nama perusahaan di cekfintech.id, dan 20,4 persen memeriksa lewat berita.

“Masih ada 17 persen yang memeriksa melalui mesin pencari,” kata Bhima dalam Seminar Nasional ‘Pengembangan dan Penguatan Ekosistem Keuangan Digital Indonesia’ di Jakarta, Senin 22 Juli 2024.

Bhima mengingatkan bahwa pemeriksaan legalitas melalui mesin pencari (search engine) harus diwaspadai. Seringkali, hasil pencarian teratas mengenai fintech yang bermasalah karena didorong oleh optimasi mesin pencari (SEO).

“Top search engine sering kali menampilkan berita negatif tentang fintech. Oleh karena itu, Asosiasi Fintech (AFTECH) perlu memperbanyak berita positif tentang fintech yang produktif. Engangement dengan media massa harus lebih baik,” tegasnya.

Bhima juga menyoroti hasil survei yang menunjukkan bahwa konsumen hanya memiliki waktu kurang dari 2 jam untuk memutuskan melakukan transaksi keuangan melalui fintech, mencerminkan rendahnya literasi keuangan digital.

Sebanyak 31 persen responden membutuhkan waktu analisis 2-4 jam, 12 persen responden lebih dari 9 jam, dan 9 persen responden membutuhkan waktu 4-9 jam untuk memutuskan bertransaksi lewat layanan fintech.

“Bagaimana bisa memahami ketentuan dan mempelajari legalitas jika rata-rata waktu yang digunakan di bawah 2 jam? Promosi menarik seperti tawaran fintech P2P lending dengan bunga rendah sering kali menarik perhatian. Namun, konsumen perlu memahami denda keterlambatan yang mahal atau legalitas yang perlu dipelajari lebih detail. Ini menjadi salah satu tantangan literasi keuangan digital kita,” ungkapnya.

Kredit yang diberikan hanya dalam bentuk pinjaman (loans), dan tidak termasuk instrumen keuangan seperti surat berharga (debt securities), tagihan akseptasi (banker’s acceptances), dan tagihan repo.

Selain itu, kredit yang diberikan tidak termasuk kredit oleh kantor bank umum yang berkedudukan di luar negeri serta kredit yang disalurkan kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk.

Alami Penurunan

Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau fintech peer to peer (P2P) lending mencatat kerugian Rp27,3 miliar pada Maret 2024. Catatan kerugian ini terus mengalami penurunan sejak Januari.

Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan kerugian pada Januari (Rp135,57 miliar) dan Februari (Rp97,53 miliar). Ia berharap industri fintech P2P lending dapat kembali mencetak laba pada triwulan II 2024.

Untuk mengatasi hal tersebut, ia menyatakan bahwa para pelaku usaha LPBBTI perlu melakukan evaluasi secara berkala agar dapat menerapkan efisiensi serta menekan biaya operasional dan layanan pinjaman. Pihaknya sedang menyempurnakan Peraturan OJK (POJK) Nomor 18/POJK.03/2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) agar dapat mewajibkan penyelenggara LPBBTI untuk menjadi pelapor SLIK.

Agusman mengatakan OJK akan terus melakukan monitoring terhadap implementasi beberapa kebijakan yang mulai berlaku sejak awal 2024. Melalui kewajiban tersebut, ia berharap, terdapat peningkatan kualitas penilaian skor pendanaan (credit scoring) sehingga dapat memperbaiki kualitas pendanaan LPBBTI.

Terkait penyaluran pembiayaan fintech lending kepada UMKM yang belum mencapai target 70 persen, pihaknya terus berupaya mendukung pembiayaan sektor produktif sesuai dengan Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan LPBBTI 2023-2028. Salah satu upayanya adalah mendukung relaksasi batas maksimum pembiayaan, memperluas jalur distribusi pembiayaan kepada sektor produktif dan UMKM, memperkuat dukungan asuransi/penjaminan kredit, serta mengoptimalkan program sinergi untuk mendorong pembiayaan di wilayah luar Jawa.

Pihaknya juga berusaha membuka moratorium LPBBTI khusus untuk sektor produktif dan UMKM dengan memperhatikan kesiapan infrastruktur data dan pengawasan yang saat ini diterapkan oleh OJK. “Saat ini, OJK terus memperkuat infrastruktur melalui peningkatan pusat data fintech lending (Pusdafil) untuk mendukung penguatan dan pengembangan industri LPBBTI, termasuk dalam mendukung pengembangan sektor produktif,” kata Agusman.

POJK tentang Fintech

Sebelumnya, Agusman, menyebut bahwa RPOJK tentang LPBBTI memang merupakan amanat dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), sehingga perlu ada perubahan. “Yang mungkin mengalami perubahan dalam RPOJK salah satunya substansi pengaturan batas atas pendanaan produktif yang saat ini dapat dilakukan sampai dengan Rp2 miliar,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 3 April 2024.

Agusman menambahkan bahwa, perubahan terkait kenaikan batas atas tersebut sedang dilakukan kajian agar dimungkinkan untuk LPBBTI atau fintech lending. “Kriterianya yang memiliki TWP90 atau tingkat risiko kredit macet secara agregat maksimal lima persen dalam kurun waktu enam bulan terakhir,” tutur dia.

Selain itu, Agusman menekankan, fintech lending tersebut harus memiliki kriteria tidak sedang dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha dari OJK.