KABARBURSA.COM – Stok baterai di seluruh dunia diperkirakan akan melimpah. Meskipun ada beberapa dampak negatif dari kelebihan stok baterai ini, Indonesia masih memiliki peluang untuk bertindak. Gelombang pembangunan pabrik baterai global diperkirakan akan menghasilkan jumlah sel yang melebihi kebutuhan ekonomi global.
Permintaan terhadap sel lithium-ion (baterai lithium) meningkat pesat karena produsen mobil beralih ke kendaraan listrik dan utilitas memasang baterai besar untuk menstabilkan jaringan listrik.
Namun, para produsen telah mengumumkan rencana pembangunan pabrik baru dalam skala besar, sehingga kapasitas produksi diperkirakan akan melebihi permintaan untuk sisa dekade ini, menurut laporan BloombergNEF (BNEF).
BNEF memproyeksikan bahwa pada akhir 2025, kapasitas industri baterai global akan mencapai lebih dari lima kali lipat dari jumlah sel yang dibutuhkan oleh pasar global pada tahun tersebut, berdasarkan proyeksi terbaru mengenai mobil listrik.
Ini merupakan berita baik bagi produsen mobil dan konsumen kendaraan listrik, tetapi menandakan tantangan bagi pendatang baru di industri baterai. Kelebihan pasokan akan sangat parah di China, di mana kapasitas produksi baterai diperkirakan akan melebihi permintaan tahunan setidaknya 400 persen selama sisa dekade ini.
Eramet SA, melalui Eramet Indonesia, mengungkapkan bahwa mereka tidak menganggap akan ada kelebihan kapasitas global dalam produksi sel baterai kendaraan listrik (EV) pada akhir 2025, meskipun beberapa lembaga riset memperkirakan sebaliknya.
Direktur Eramet Indonesia, Bruno Faour, berpendapat bahwa kapasitas baterai EV yang saat ini sedang dikembangkan sesuai dengan permintaan global yang diperkirakan untuk masa depan.
“Kami tidak melihat adanya kelebihan kapasitas untuk 2025. Kami ingin menegaskan bahwa kami sangat berhati-hati dalam memprediksi masa depan, karena hal tersebut selalu sulit. Ada banyak faktor tak terduga yang bisa mempengaruhi keseimbangan ini,” kata Faour.
Selain itu, Faour mencatat bahwa faktor-faktor di luar kendali dapat mempengaruhi pasokan. Dia memberikan contoh dari komoditas mangan, di mana proyeksi kapasitas pengolahan awalnya tampak berlebihan. Namun, kejadian tak terduga seperti bencana badai besar yang menghentikan operasional tambang mangan utama di Australia menunjukkan betapa rentannya situasi tersebut.
“Mereka tengah berhenti dan sekarang semua orang mencari mangan karena kekurangan. Jadi sangat sulit untuk mengetahuinya dalam jangka pendek karena semuanya bergerak dengan satu atau lain cara,” ujarnya.
Namun, secara umum, tren baterai EV dan nikel bakal terus berkembang. Dalam kaitan itu, Faour menilai Indonesia akan menjadi pemain kunci dalam industri tersebut dalam masa mendatang.
Menurut Faour, kelebihan kapasitas memang berpotensi terjadi pada periode waktu tertentu, tetapi tidak terjadi untuk jangka panjang.
“Pasokan tumbuh selangkah demi selangkah dengan kapasitas baru yang masuk. Jadi, mungkin akan ada periode kelebihan kapasitas. Itu selalu terjadi, tetapi itu bukan pandangan kami untuk jangka panjang,” ujarnya.
Strategi untuk Indonesia
Indonesia dinilai memiliki setidaknya dua peluang dari proyeksi bahwa ketersediaan sel baterai akan melampaui permintaan lima kali lipat pada akhir 2025.
Pertama, kesempatan untuk memanfaatkan investasi bersih dan transfer teknologi secara optimal dalam industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Menurut Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, Indonesia dapat menjadi pasar yang menarik dengan melakukan trade-off yang menguntungkan, yaitu mengadopsi teknologi EV yang lebih terjangkau untuk mempercepat pengurangan emisi sektor transportasi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar listrik.
Yayan mengakui bahwa permintaan global untuk EV dan pangsa pasar di Asia Tenggara masih relatif kecil dibandingkan dengan negara-negara seperti China, Eropa, Amerika Serikat (AS), Jepang, Kanada, dan Korea Selatan. Meskipun demikian, Indonesia memiliki potensi untuk secara bertahap menjadi pusat regional dengan meningkatkan pangsa pasar kendaraan listrik di dalam negeri, yang tentunya membutuhkan dukungan kebijakan industri domestik yang mendorong.
Peningkatan pangsa pasar global di sektor kendaraan listrik (EV) dengan meningkatkan pangsa di Indonesia diharapkan dapat membantu mengatasi kapasitas industri global yang berlebih dalam jangka menengah,” kata Yayan.
Ditambahkan pula, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melebihi 5 persen dan permintaan yang tinggi di sektor otomotif, produsen baterai global diperkirakan akan tetap tertarik untuk secara perlahan mengalihkan penjualan dari China atau Eropa dengan menawarkan kompensasi industri dalam negeri.
Yayan juga menyoroti aspek kedua, yaitu pentingnya memastikan bahwa komponen-komponen yang dijual di Indonesia memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) agar Indonesia dapat menggunakan litium-ion. “Ini membuka peluang untuk transfer teknologi, riset, dan pengembangan industri baterai litium-ion dari luar negeri ke dalam negeri, menciptakan solusi yang menguntungkan baik bagi pasar maupun teknologi,” katanya.
Menurut Yayan, hal ini penting karena Indonesia saat ini masih memiliki keterbatasan dalam riset dan pengembangan EV. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengembangkan proyek EV yang melibatkan baterai dan suku cadang untuk mencapai keuntungan ganda serta mendorong pengembangan industri EV di masa depan.
“Walaupun pangsa pasar Indonesia cukup besar, namun pengembangan teknologi EV masih terbatas hingga saat ini,” tambahnya. (*)