KABARBURSA.COM – Bank-bank masih terus menaikkan bunga simpanan berjangka alias deposito, meskipun bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) mulai melandai pada lelang terakhir, mencapai level terendah dalam sebulan.
Dalam lelang SRBI Jumat pekan lalu, bunga diskonto untuk SRBI 12 bulan turun tajam ke 7,36 persen, terendah sejak pertengahan Juni. Sementara bunga SRBI 6 bulan dan 9 bulan masing-masing turun lebih sedikit, ke 7,22 persen dan 7,31 persen.
Penurunan bunga SRBI tersebut dipengaruhi oleh prospek penurunan bunga acuan Federal Reserve (The Fed), yang berpotensi menarik modal asing lebih banyak ke pasar domestik.
Sentimen pasar yang membaik telah menarik investor asing kembali masuk ke pasar. Investor nonresiden tercatat membeli obligasi negara (SBN) sebesar USD1,25 juta atau sekitar Rp20,26 miliar pada 19 Juli. Sementara di pasar saham, asing membukukan net buy tiga hari berturut-turut sejak 18 Juli.
Jika bunga SRBI terus stabil, dampaknya kemungkinan baru akan terasa pada bunga simpanan bank beberapa bulan mendatang. Namun, sejauh ini, dampak kenaikan bunga SRBI pada bulan-bulan sebelumnya masih terasa, mengangkat tingkat bunga deposito di bank.
Menurut publikasi Bank Indonesia, tingkat bunga deposito perbankan untuk tenor 1 bulan, 3 bulan, dan 24 bulan meningkat masing-masing menjadi 4,68 persen, 5,34 persen, dan 4,2 persen.
Kenaikan bunga deposito 1 bulan terus berlangsung sejak Maret atau empat bulan terakhir. Sedangkan bunga deposito 3 bulan mencatat kenaikan berturut-turut sejak April, dan tenor 24 bulan telah meningkat sejak Februari.
Langkah perbankan untuk terus menaikkan bunga simpanan tidak lepas dari perebutan likuiditas di pasar akibat lonjakan bunga SRBI yang memuncak sampai awal Juli, meskipun hal ini telah dibantah oleh Bank Indonesia.
Bankir memutar otak untuk menarik dana masyarakat agar target penyaluran kredit bisa terjaga. Beberapa bank besar menawarkan iming-iming hadiah atau reward bagi nasabah yang menyimpan dana mereka di bank.
Salah satu bank terbesar di Indonesia, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), misalnya, sejak Mei hingga akhir Juli, menawarkan cashback hingga 1 persen atau maksimal Rp1 juta untuk penempatan dana simpanan di deposito mulai Rp10 juta dengan jangka waktu 3 bulan.
Bank BNI, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), juga aktif menawarkan cashback untuk penempatan dana di produk tabungan maupun simpanan berjangka. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), bank swasta terbesar, juga menebar reward seperti voucher wisata bagi penabung baru dan penyetor simpanan.
Margin Bank Tertekan
Kenaikan bunga SRBI yang berlangsung beberapa waktu telah mendongkrak pergerakan bunga di pasar uang antarbank. Pada Juni, suku bunga IndONIA bergerak rata-rata di 6,07 persen dengan level tertinggi di 6,15 persen pada 14 Juni. Level itu lebih landai dibanding Mei, ketika tingkat IndONIA sempat menyentuh 6,39 persen pada 8 Mei dan rata-rata di 6,12 persen. Namun, memasuki Juli, tingkat bunga referensi pasar uang itu kembali melejit, sempat menyentuh 6,27 persen pada 12 Juli dan rata-rata 6,17 persen month-to-date.
Bunga SRBI yang tinggi berimbas pada tren kenaikan bunga simpanan bank, memicu kenaikan biaya dana bank (cost of fund) atau Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK). Menariknya, meski biaya dana naik, bankir tidak serta merta menaikkan bunga kredit karena khawatir memicu lonjakan kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) yang sudah meningkat sepanjang tahun ini. Pada Mei, NPL di bank tercatat 2,34 persen gross dan 0,79 persen nett, naik dibanding akhir 2023 dengan NPL perbankan di 2,19 persen gross dan 0,71 persen nett.
Selain itu, bank tidak menaikkan bunga kredit saat cost of fund mahal juga untuk menjaga daya saing. Bunga kredit yang tinggi bisa menyurutkan minat calon debitur mengajukan pinjaman. Namun, hal ini menyebabkan tingkat keuntungan atau margin perbankan terkikis.
Berdasarkan asesmen terakhir BI yang dirilis pekan lalu, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) turun terbatas ke 8,81 persen pada Mei, kembali ke posisi Maret. Penurunan SBDK terjadi relatif merata di semua kelompok bank, terbesar pada bank daerah dan bank asing.
Penurunan SBDK menunjukkan upaya perbankan menjaga daya saing suku bunga di pasar kredit, di tengah kenaikan biaya dana. “Selisih antara suku bunga kebijakan (BI-Rate) dengan SBDK yang makin menipis menunjukkan perbaikan efisiensi pricing perbankan,” kata BI.
Sementara itu, cost of fund yang ditanggung perbankan terus meningkat. Kenaikan itu sejalan dengan kenaikan suku bunga deposito 1 bulan pada periode yang sama, kata BI.
Kenaikan HPDK terjadi di hampir semua kelompok bank kecuali KCBA. Bank BUMN dan swasta nasional mencatat kenaikan cost of fund terbesar hingga 4 bps pada Mei.
Divergensi arah perubahan HPDK mencerminkan perbedaan timing transmisi suku bunga sebagai respons bank terhadap kenaikan suku bunga kebijakan BI Rate dan variasi kondisi likuiditas antar kelompok bank, jelas BI.
Biaya operasional dan HPDK serta tingkat margin bank adalah tiga komponen penyusun SBDK. SBDK menjadi acuan pemberian tingkat bunga kredit pada debitur bank, ditambah premi risiko nasabah yang merupakan hasil asesmen bank terhadap profil calon debitur.
BI menggarisbawahi, kenaikan HPDK di tengah penurunan SBDK berdampak pada penurunan margin keuntungan perbankan, yang secara keseluruhan menurun sebesar 7 bps, terutama pada kelompok bank BUMN dan bank asing.
Penurunan margin pada BUMN mencerminkan upaya bank menjaga daya saing suku bunga kredit di tengah kenaikan biaya dana dan biaya overhead. “Sementara itu, beberapa bank asing berupaya mempertahankan SBDK di level yang sama sejak awal tahun 2024 di tengah kenaikan biaya overhead, yang ditengarai untuk menjaga kualitas kreditnya yang sedikit menurun. Upaya ini menyebabkan tertekannya margin keuntungan pada beberapa bank KCBA,” jelas BI. (*)