KABARBURSA.COM – Indonesia saat ini diketahui memiliki simpanan nikel sebanyak 22 persen. Simpanan tersebut disebut-sebut bisa menjadi raja baterai dunia. Adapun kepemilikan cadangan ini dipegang oleh PT Trimegah Bangun Persana Tbk (NCKL) atau Harita Nickel.
Direktur Utama NCKL Roy Arman Arfandy, mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi negara pemain atau key player di industri nikel dunia. Sebab, cadangan tersebut jumlahnya sangat signifikan.
Permintaan global akan nikel diakui Roy saat ini sedang meningkat pesat. Salah satu penyebab utamanya adalah kebutuhan akan nikel Indonesia untuk pembuatan baterai kendaraan listrik dan industri stainless steel.
“Nikel itu tidak hanya digunakan untuk baterai mobil listrik, tetapi juga untuk industri lain seperti stainless steel. Stainless steel membutuhkan banyak bahan baku berbasis nikel, khususnya nickel pig iron atau fero nikel,” kata dia.
PT NCKL, salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia, memasok produk turunan nikel yang esensial untuk memproduksi baterai kendaraan listrik, seperti Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan nikel sulfat.
“Kami memproduksi feronikel dan menjualnya ke pabrik-pabrik stainless steel di luar negeri. Sedangkan produk MHP kami dijual kepada produsen baterai mobil listrik dunia,” ungkapnya.
Meski begitu, ia menilai bahwa Indonesia masih merupakan ‘pemain baru’ dalam industri nikel global. Oleh karena itu, ia menyarankan agar Indonesia melanjutkan program hilirisasi nikel yang sedang digenjot oleh pemerintah.
“Perkembangan industri nikel akan sangat tergantung pada dua industri pendukung ini. Indonesia sudah memiliki nikel, dan pemerintah telah melakukan langkah yang sangat baik dengan mendorong hilirisasi. Ini memberikan nilai tambah yang luar biasa pada produk nikel yang kita ekspor,” tandasnya.
Pesona Simbara Perkuat Nikel Nusantara
Pemerintah resmi menambahkan komoditas timah dan nikel ke dalam Sistem Informasi Mineral dan Batubara (Simbara), yang sebelumnya hanya mencakup komoditas batu bara, pada Senin, 22 Juli 2024.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marvel) Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa penambahan timah dan nikel ke dalam Simbara dapat meningkatkan potensi pendapatan royalti tambang negara sebesar Rp5 triliun hingga Rp10 triliun.
“Dengan hanya royalti, kita bisa memperoleh Rp5 triliun hingga Rp10 triliun, belum termasuk pajak. Bayangkan jika semuanya tertib, hasilnya bisa sangat besar,” ujar Luhut.
Selain memberikan manfaat bagi pendapatan negara, Luhut menambahkan bahwa Simbara juga akan berdampak positif pada sektor pertambangan dalam hal lingkungan dan tenaga kerja.
Perusahaan tambang yang tidak mematuhi peraturan di kedua aspek tersebut akan otomatis diblokir oleh sistem dan tidak dapat melakukan ekspor.
“Tidak peduli siapa pun itu, baik memakai baju kuning, merah, hitam, atau jika ada yang mendukung seperti tentara atau polisi, tidak akan bisa. Sistem ini akan mendisiplinkan bangsa,” jelas Luhut.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan Isa Rachmatawarta mengatakan sebelumnya Simbara telah memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan negara dari batu bara, yakni pencegahan atas modus pertambangan ilegal senilai Rp3,47 triliun; tambahan penerimaan negara yang bersumber dari data analytic dan risk profiling dari pelaku usaha sebesar Rp2,53 triliun; serta penyelesaian piutang dari hasil penerapan automatic blocking system –yang juga merupakan bagian dari Simbara– sebesar Rp1,1 triliun.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan pihaknya berkontribusi dalam penyediaan data badan usaha terdaftar, di mana perusahaan tambang yang membuat billing royalty pada aplikasi E-PNBP sudah terdaftar pada Minerba One Data Indonesia (MODI) dan telah memiliki persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB).
Dengan integrasi tersebut, maka dapat dipastikan hanya perusahaan tambang yang terdaftar dan memiliki RKAB yang dapat membuat billing professional, yang setelah dibayarkan akan mendapatkan nomor transaksi penerimaan negara (NTPN).
Menurut Arifin, implementasi sistem ini untuk komoditas batu bara telah mendeteksi beberapa modus berupa penggunaan NTPN yang tidak valid, penggunaan NTPN yang berkali-kali, jangka waktu penggunaan NTPN yang tidak wajar, dan penghindaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berupa NTPN lokal yang digunakan untuk ekspor.
Sekadar catatan, Simbara mulai go live sejak September 2023 dan saat ini mengintegrasikan pengelolaan komoditas batubara di dalam satu ekosistem. Pada 2024, diharapkan komoditas nikel dan timah juga dapat diintegrasikan dalam Simbara.(*)