Scroll untuk baca artikel

Pemerintah Bantah Tiket Konser Bakal Kena Cukai

×

Pemerintah Bantah Tiket Konser Bakal Kena Cukai

Sebarkan artikel ini
Bea Cukai
Bea Cukai (Foto: int)

KABARBURSA.COM – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) akhirnya memberikan klarifikasi terkait kabar yang menyebutkan bahwa tiket konser akan menjadi salah satu barang yang dikenai cukai.

Melalui akun Instagram resminya, DJBC menegaskan bahwa isu tersebut masih sebatas pembahasan dalam lingkup akademik dan belum masuk dalam kajian resmi.

“Faktanya, isu kebijakan ekstensifikasi cukai tersebut belum masuk kajian. Isu tersebut merupakan bahasan dalam kuliah umum di ruang lingkup akademik,” ujar unggahan DJBC yang dikutip pada Sabtu, 27 Juli 2024.

Nirwala Dwi Heriyanto, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, menjelaskan lebih lanjut bahwa pembahasan mengenai penambahan barang kena cukai tersebut muncul dalam acara kuliah umum di PKN STAN. Nirwala menekankan bahwa sifat kebijakan ekstensifikasi itu baru merupakan usulan dari sejumlah pihak dan belum masuk dalam tahap kajian resmi.

“Belum masuk kajian, dan juga dalam rangka untuk mendapatkan masukan dari kalangan akademisi,” tutur Nirwala.

Nirwala menjelaskan bahwa barang yang dikenakan cukai umumnya adalah barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, dan pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Saat ini, hanya ada tiga jenis barang yang dikenakan cukai, yaitu etil alkohol atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau.

Ia juga menegaskan bahwa proses penetapan suatu barang menjadi barang kena cukai memerlukan waktu yang lama. DJBC memastikan bahwa proses tersebut tidak akan dilakukan secara tiba-tiba dan akan mendengarkan aspirasi masyarakat terlebih dahulu.

“Prosesnya dimulai dari penyampaian rencana ekstensifikasi cukai ke DPR, penentuan target penerimaan dalam RAPBN bersama DPR, dan penyusunan peraturan pemerintah sebagai payung hukum pengaturan ekstensifikasi tersebut,” tambah Nirwala.

Wacana Penambahan Objek Cukai

Untuk diketahui sebelumnya, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) disebut tengah mengkaji sejumlah produk untuk menjadi objek cukai, mulai dari rumah, tissue, detergen, MSG, hingga tiket konser agar masuk ke dalam objek cukai.

Direktur Teknis dan Fasilitas DJBC Kemenkeu, Iyan Rubianto, menyampaikan bahwa saat ini, objek cukai yang berada dalam kajian, di antaranya plastik, bahan bakar minyak, dan produk pangan olahan bernatrium dalam kemasan, dan minuman bergula dalam kemasan. Selain itu, DJBC juga mengkaji penggantian pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor jadi cukai.

“PPnBM kita shifting. Kalau dikenakan cukai, hasil dari cukai itu bisa untuk bikin transportasi umum,” katanya dalam Kuliah Umum Menggali Potensi Cukai beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Iyan juga menyampaikan sejumlah barang yang masih dalam pra-kajian DJBC untuk dijadikan sebagai objek cukai. Beberapa di antaranya adalah rumah, tiket pertunjukan hiburan seperti konser musik, makanan cepat saji (fast food), hingga tissue.

“Rumah pernah kita ajukan, tapi isunya kalau rumah, rumah yang mana? Rumah yang mewah-mewah, rumah yang sering di-flexing, rumah [harga di atas] Rp2 miliar. Kemarin isu Tompi, itu ribut juga,” tuturnya.

Dimensi Pengenaan Cukai

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menjelaskan bahwa pengenaan pajak berupa cukai memiliki dua dimensi utama.

“Pengenaan pajak berupa cukai itu punya dua dimensi utama,” terang Prianto kepada Kabar Bursa, Sabtu 27 Juli 2024.

Dimensi pertama adalah untuk menambah penerimaan negara (fungsi budgetair). Dimensi kedua adalah untuk pengaturan (fungsi regulerend).

Fungsi budgetair dapat berupa pengenaan cukai untuk penjualan batubara, mengingat belakangan ini terjadi kenaikan harga yang signifikan. Sistem Pajak Penghasilan (PPh) tidak optimal diterapkan karena dasar pengenaan pajaknya mengacu pada net income, bukan gross income. Selain itu, sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga kurang efektif diterapkan ketika penjualannya adalah ekspor.

“Bahkan, pengusaha ekspor batubara bisa meminta restitusi PPN atas masukan mereka,” katanya.

Di sisi lain, fungsi pengaturan bisa berupa pengendalian dampak negatif dari objek cukai tersebut. Contohnya adalah cukai rokok, plastik, dan minuman berpemanis. Ketika pengenaan cukai difokuskan pada fungsi pengendalian, target utamanya bukanlah peningkatan penerimaan, melainkan pengendalian dampak negatif (eksternalitas negatif).

Prianto menambahkan bahwa hasil penerimaan cukai sesuai fungsi pengendalian akan dimanfaatkan untuk membantu mengatasi dampak negatif tersebut.

“Cara demikian sering disebut earmarking,” kata dia. 

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Ditjen Bea Cukai Kemenkeu) mengungkapkan dua kategori minuman berpemanis yang akan dikenakan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK).

Dua kategori tersebut mencakup produk minuman siap saji dan produk minuman konsentrat yang dikemas dalam bentuk penjualan eceran. Sementara itu, minuman tradisional yang dijual di warung atau toko kelontong dikecualikan dari pengenaan cukai MBDK.

“Kalau di warung-warung itu minuman teh segala macam itu biasanya gulanya tidak sedikit. Nah, ini kami tidak ke arah sana tapi kami ke industrinya,” ujar Direktur Teknis dan Fasilitas Ditjen Bea Cukai Iyan Rubiyanto dalam Kuliah Umum PKN Stan yang disiarkan secara virtual, dikutip Rabu 24 Juli 2024. (*)