KABARBURSA.COM – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merilis Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Juli 2024 di level 52,4, melambat 0,1 poin dibandingkan Juni 2024. Meski demikian, capaian IKI Juli kemarin dianggap menunjukkan kondisi industri ekspansi di tengah kondisi ketidakstabilan perekonomian global dan penurunan permintaan atas produk manufaktur dalam negeri.
Lebih detail, perlambatan nilai IKI dipengaruhi oleh menurunnya nilai variabel pesanan baru dan masih terkontraksinya variabel produksi. Nilai IKI variabel pesanan baru menurun 1,86 poin menjadi 52,92, sedangkan variabel produksi meningkat 2,45 poin menjadi 49,44 atau masih kontraksi.
Sementara, nilai IKI variabel persediaan produk meningkat 0,48 poin menjadi 55,53. Kondisi ini menunjukkan bahwa saat ini pesanan/penjualan di industri pengolahan masih dipenuhi oleh persediaan produk. Selain itu, di beberapa industri yang pesanan barunya kontraksi, produksi dilakukan untuk menambah tingkat ketersediaan produknya. Mayoritas industri pengolahan di Indonesia juga masih sangat mengandalkan pasar domestik.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif mengungkap, pemerintah terus berupaya melahirkan kebijakan yang memiliki peranan penting dalam mendorong kinerja industri pengolahan.
Beberapa kebijakan di antaranya harga gas industri, pengamanan pasar dalam negeri, dan inflasi memberikan pengaruh signifikan pada kondisi manufaktur di Indonesia, di samping kondisi manufaktur mitra global seperti Tiongkok dan India.
Berdasarkan hasil analisis Tim IKI Kemenperin, kata Febri, industri pengolahan di negara-negara mitra dagang masih mendapatkan banyak dukungan subsidi. Sama halnya di Indonesia, dia menilai negara lain juga menyadari industri pengolahan merupakan penopang utama perekonomian yang memiliki multiplier effect yang tinggi.
“Mulai dari penyerapan tenaga kerja (formal), peningkatan daya beli masyarakat, dan berakhir pada pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Febri dalam Rilis IKI Juli 2024 di Jakarta, Rabu, 31 Juli 2024.
Sementara saat ini, ujar Febri, kondisi perekonomian global masih menunjukkan ketidakpastian, meskipun ekonomi Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan penguatan yang didukung oleh konsumsi yang kuat dan adanya stimulus fiskal di dua wilayah tersebut.
Di sisi lain, perekonomian RRT diperkirakan tidak akan tumbuh kuat pada tahun 2024, meskipun Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook terbaru telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi RRT pada 2024 menjadi 5 persen, naik dari prediksi 4,6 persen pada April 2024.
Adapun revisi dikaitkan dengan membaiknya konsumsi swasta dan kuatnya ekspor pada kuartal pertama 2024 berkaitan dengan mulai meningkatnya permintaan global. Kondisi inflasi global ditandai penurunan tren inflasi pada sejumlah negara, seperti Korea Selatan, Turki, dan Jerman.
Inflasi Amerika Serikat juga mengalami perlambatan pada Juni 2024, yaitu turun ke 3,0 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dari sebesar 3,3 persen pada bulan sebelumnya. Melandainya tingkat inflasi di Amerika Serikat disambut positif oleh pelaku pasar seiring dengan menguatnya prospek pemangkasan level suku bunga Bank Sentral AS, The Fed.
Penurunan Pesanan di Seluruh Subsektor Industri
Di pasar domestik, Febri juga menuturkan terjadi penurunan pesanan terjadi hampir di seluruh subsektor industri. Dari 23 subsektor, 15 subsektor industri mengalami penurunan pesanan baru.
Berdasarkan hasil riset IKI, kata Febri, hal itu terjadi akibat kondisi global yang belum stabil dan penurunan daya beli masyarakat di pasar domestik. Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan terjadinya penurunan jumlah tenaga kerja sektor industri atau peningkatan pekerja nonformal.
Sedangkan bila dilihat dari sisi proporsi pengeluaran terhadap pendapatan, terjadi peningkatan konsumsi dan penurunan tabungan, sehingga dapat disimpulkan kondisi masyarakat saat ini telah menggunakan tabungannya untuk konsumsi.
Dia menilai, kondisi tersebut berdampak pada pola pembelian barang yang berorientasi harga dan penurunan keberanian untuk berspekulasi mendapatkan kredit pembiayaan. Sedangkan, para produsen mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi produksi. Hal ini menjelaskan nilai IKI variabel produksi yang masih terkontraksi.
“Beberapa faktor lain yang menahan laju ekspansi IKI yaitu pelemahan nilai tukar dan pemberlakuan kebijakan relaksasi impor pasca dibukanya 26.000 kontainer impor yang tertahan di pelabuhan oleh Menko Bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan. Kondisi ini menunjukkan pentingnya peran kebijakan yang sinergis dalam pembangunan industri pengolahan,” ujar Febri.
Lebih lanjut, Febri menjelaskan terdapat 20 subsektor ekspansi dengan kontribusi terhadap PDB industri pengolahan non-migas Triwulan I tahun 2024 sebesar 93,6 persen. Ekspansi tertinggi dialami oleh industri peralatan listrik, diikuti oleh industri pakaian jadi, dan industri percetakan dan reproduksi media.
Sedangkan subsektor industri yang mengalami kontraksi adalah industri kertas dan barang dari kertas, industri mesin dan perlengkapan YTDL, dan industri tekstil. Kontraksi IKI pada industri mesin dan perlengkapan YTDL selaras dengan penurunan impor barang modal bulan Juni 2024. Hal tersebut merupakan kebijakan pengusaha untuk menahan investasinya di tengah ketidakpastian pasar luar negeri dan dalam negeri.
Apa Kabar Industri Tekstil?
Dalam rilis IKI, Febri juga menyebut nilai produk tekstil belum menunjukan perubahan yang lebih baik. Bahkan, kata dia industri tekstil cenderung turun, sehingga upaya pengamanan barang beredar terkait produk industri tekstil dirasa belum berdampak, juga karena satgas barang impor ilegal baru mulai bekerja pada akhir bulan Juli.
Saat ini, kata dia, masih banyak produk ilegal tekstil impor yang beredar sehingga kebijakan perbaikan sistem, pengendalian impor tekstil, dan pemindahan pelabuhan impor perlu segera dilakukan.
Diketahui, Kemenperin telah menyampaikan usul, yang kemudian disepakati oleh Menteri Perdagangan, terkait pemindahan pelabuhan masuk impor untuk tujuh komoditas yang terkena lartas, yaitu tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi, keramik, elektronik, alas kaki, kosmetik, dan barang tekstil sudah jadi ke beberapa pelabuhan di luar Jawa seperti di pelabuhan Bitung dan Sorong.
Pemindahan pelabuhan masuk barang impor tersebut terutama diprioritaskan untuk barang jadi pada tujuh komoditas dan bukan barang atau bahan baku dan bahan penolong industri. Rencana ini akan dibahas di tingkat Rapat Kabinet.
“Perubahan pelabuhan masuk ke kawasan Indonesia Timur juga diharapkan mampu meningkatkan perekonomian pada kawasan tersebut dan peningkatan bisnis logistik dan pelayaran dalam negeri,” jelas Febri.
Sedangkan di industri kertas, kontraksi terjadi karena ada pola seasonal pada industri ini. Tahun ajaran baru 2024/2025 telah meningkatkan permintaan atas kertas untuk kepentingan pendidikan di tanah air.
Produksi industri kertas meningkat sebelum bulan Juli dan kemudian mengalami penurunan pada bulan Juli. Selain itu, kontraksi juga disebabkan oleh adanya penurunan saing industri kertas dalam negeri akibat banyaknya masuk barang impor dari RRT pasca implementasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Pelemahan nilai tukar rupiah juga berpengaruh terhadap biaya produksi karena kenaikan harga bahan baku dan harga energi. Pengadaan barang dan jasa pemerintah yang mempersyaratkan TKDN dan SVLK juga belum diterapkan, sehingga menambah tekanan pada industri ini pada bulan Juli 2024.
Industri Tetap Optimis?
Survei IKI mencatat bahwa optimisme pelaku usaha enam bulan ke depan mengalami perubahan arah pada bulan ini, dari 73,5 persen di Juni 2024 menurun menjadi 71,9 persen. Selanjutnya, perubahan arah juga terjadi pada pesimisme pelaku usaha enam bulan ke depan yang meningkat dari 5,5 persen menjadi 6,0 persen.
Subsektor dengan pesimisme tinggi dan meningkat secara berurutan adalah industri tekstil, industri alat angkutan lainnya, industri mesin dan perlengkapan YTDL, dan industri barang galian bukan logam.
Sedangkan industri kayu, barang kayu dan gabus pesimismenya masih tinggi tapi menurun. Kondisi ini menjadi warning dan perlu diwaspadai untuk kondisi sektor industri ke depan.
Febri menambahkan, Kemenperin fokus pada beberapa kebijakan yang dapat meningkatkan optimisme pelaku usaha. Pertama, untuk industri alat angkutan lainnya serta industri mesin dan perlengkapan YTDL, perlu kebijakan untuk memperkuat nilai tukar Rupiah dan meningkatkan konsumsi maupun investasi.
Lebih lanjut, kelompok industri mesin dan perlengkapan YTDL sangat tergantung pada ekspansi industri penggunanya dan pengadaan barang dan jasa pemerintah, sehingga kebijakan relaksasi TKDN akan berdampak pada subsektor ini. Selanjutnya, untuk industri tekstil, diperlukan kebijakan pengendalian impor barang hilir.(*)