Scroll untuk baca artikel
Infacaft 2025 Kerjasama dengan KabarBursa.com
Makro

Indikator ini Gambarkan Ekonomi RI Tak Baik-baik Saja

×

Indikator ini Gambarkan Ekonomi RI Tak Baik-baik Saja

Sebarkan artikel ini
PHK
PHK - Ketua Umum Kadin Indonesia Anindya Bakrie meminta pengusaha untuk menghindari PHK terhadap karyawan menyusul kenaikan UMP sebesar 6,5 persen yang akan berlaku mulai 2025. (Foto: Int)

KABARBURSA.COM – Berita terbaru menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia menghadapi tantangan signifikan. Aktivitas manufaktur, untuk pertama kalinya, mengalami kontraksi akibat melemahnya permintaan baik dari pasar domestik maupun ekspor.

Ditambah dengan terjadinya deflasi selama tiga bulan berturut-turut, pertanyaan besar muncul: apakah Indonesia sedang memasuki periode kemunduran yang mirip dengan masa-masa suram pandemi Covid-19 pada tahun 2020-2021?

Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam taklimat media hari ini selaku Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), menyatakan bahwa meskipun perekonomian Indonesia menunjukkan ketahanan yang cukup baik pada kuartal pertama 2024 dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 5,11 persen, proyeksi untuk kuartal kedua menunjukkan perlambatan.

Diperkirakan pertumbuhan PDB akan melambat menjadi sekitar 5 persen, meskipun konsumsi rumah tangga tetap menjadi pendorong utama pertumbuhan, ditambah dengan mulai meningkatnya investasi.

Sri Mulyani menekankan pentingnya menjaga aktivitas perekonomian domestik melalui kebijakan fiskal, khususnya belanja pemerintah yang akan terus difokuskan untuk menjaga stabilitas harga. Program perlindungan sosial juga akan dipertahankan untuk menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat.

Pemerintah optimis bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan mencapai kisaran 5 persen-5,2 persen, lebih tinggi dibandingkan proyeksi para ekonom. Survei yang dilakukan pada 18-25 Juli menunjukkan bahwa 33 ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI tahun ini sebesar 5 persen, sedikit menurun dibandingkan capaian 2023 sebesar 5,04 persen.

Para ekonom, seperti Ahmad Mobeen dari S&P Global, berpendapat bahwa stimulus terkait Pemilu, insentif bansos untuk rumah tangga, serta investasi infrastruktur yang meningkat akan memberikan dorongan fiskal. Kebijakan moneter yang lebih longgar di akhir tahun diharapkan dapat mengimbangi tantangan eksternal dari kelesuan permintaan global dan normalisasi harga komoditas.

Fenomena ‘Vibecession’ Melonjak

Optimisme pertumbuhan ekonomi tampaknya tidak sejalan dengan persepsi masyarakat. Fenomena ‘vibecession’, istilah yang pertama kali muncul pada 2022, menunjukkan ketidakcocokan antara kondisi ekonomi yang dirasakan dengan persepsi masyarakat yang cenderung pesimistis.

Survei Konsumen terbaru menunjukkan bahwa Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini pada Juni turun ke level terendah sejak Februari. Penurunan ini terutama dirasakan oleh kelompok masyarakat ekonomi bawah yang mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Sementara itu, kelompok menengah mencatat penurunan tabungan dan perubahan dalam pola pengeluaran, dengan ekspektasi terhadap kondisi ekonomi ke depan yang semakin suram.

Penurunan ketersediaan lapangan kerja dan deflasi yang terus berlanjut menambah tekanan pada perekonomian, sementara penurunan penjualan ritel dan mobil menunjukkan lesunya daya beli masyarakat. Pemerintah dan pelaku ekonomi perlu merespons secara cepat untuk menstabilkan perekonomian dan mencegah dampak lebih lanjut dari ketidakpastian global dan domestik.

Fenomena ‘vibecession’ adalah istilah yang merujuk pada ketidakcocokan antara kondisi ekonomi yang sebenarnya dengan persepsi masyarakat tentang keadaan ekonomi. Konsep ini muncul untuk menggambarkan situasi di mana meskipun data ekonomi menunjukkan pertumbuhan atau stabilitas, persepsi masyarakat tetap pesimistis atau cenderung negatif.

Istilah ini pertama kali muncul pada 2022 untuk menggambarkan fenomena di mana meskipun data makroekonomi mungkin menunjukkan pemulihan atau pertumbuhan, persepsi masyarakat terhadap ekonomi tetap suram dan pesimistis.

Ciri-ciri utama dari ‘vibecession’ adalah:

  1. Ketidakselarasan Persepsi dan Data: Meskipun indikator ekonomi seperti PDB atau angka pertumbuhan menunjukkan tren positif, masyarakat mungkin merasa bahwa kondisi ekonomi buruk atau tidak membaik.
  2. Kesenjangan Sosial dan Ekonomi: Fenomena ini sering terjadi ketika ada ketidakmerataan dalam distribusi manfaat ekonomi, di mana kelompok tertentu merasakan dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan data agregat.
  3. Tingkat Keyakinan Masyarakat: Kepercayaan konsumen dan ekspektasi ekonomi sering kali terpengaruh oleh pengalaman langsung seperti pengangguran, penurunan pendapatan, atau ketidakstabilan harga, meskipun indikator makroekonomi mungkin menunjukkan kondisi yang lebih baik.
  4. Efek Jangka Panjang: ‘Vibecession’ dapat mempengaruhi pola pengeluaran dan investasi masyarakat, serta menyebabkan kesulitan dalam mengatasi krisis ekonomi atau mempercepat pemulihan ekonomi.

Indikator Terbaru Ekonomi RI: 

  1. Aktivitas Manufaktur Turun: Untuk pertama kalinya sejak pandemi, aktivitas manufaktur Indonesia mengalami kontraksi. PMI manufaktur pada Juli turun ke level 49,3, mencerminkan penurunan output dan pesanan baru.
  2. PHK Merajalela: Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan lonjakan angka PHK selama semester 1-2024 mencapai 32.064 orang, meningkat tajam sebesar 95,51 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan penjualan akibat kelesuan permintaan menjadi penyebab utama.
  3. Lapangan Kerja Sempit: Data Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan bahwa penambahan lapangan kerja formal dalam lima tahun terakhir hanya sebesar 2,77 juta, jauh di bawah penciptaan lapangan kerja pada periode sebelumnya.
  4. Deflasi Berlanjut: Deflasi pada Juli sebesar 0,18 persen menjadi yang terdalam sejak Agustus 2022, disebabkan oleh penurunan harga-harga barang dan jasa secara terus-menerus.
  5. Penjualan Ritel Lesu: Survei Penjualan Ritel menunjukkan penurunan signifikan pada Mei, dengan indeks penjualan riil naik hanya 2,1 persen year-on-year, dan penurunan bulanan sebesar 3,5 persen.
  6. Penjualan Mobil Menurun: Penjualan mobil ritel sepanjang semester 1-2024 turun 14 persen year-on-year, dengan penjualan mobil pada Juni anjlok 12,3 persen dibandingkan Juni 2023. (*)