KABARBURSA.COM – Ekonom makroekonomi dan pasar keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky menyoroti turunnya daya beli kelas menengah di Indonesia.
Menurut laporan yang disampaikan Teuku, proyeksi untuk angka produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal ketiga 2024 diperkirakan mencapai 4,99 persen, dengan rentang estimasi antara 4,97 persen hingga 5,01 persen. Sementara itu, untuk keseluruhan tahun 2024, pertumbuhan PDB diperkirakan berada pada kisaran 5,0 persen hingga 5,1 persen.
Adapun menurut Teuku, hal tersebut disebabkan faktor pendorong musiman dan tingginya ketidakpastian domestik dan global.
“Kombinasi dari berbagai faktor musiman mampu meningkatkan konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, dan investasi infrastruktur,” kata Teuku, Sabtu 3 Agustus 2024.
Meskipun perekonomian Indonesia menunjukkan akselerasi, sejumlah indikasi permasalahan struktural masih membayangi. Pertumbuhan ekonomi saat ini sebagian besar didorong oleh faktor musiman, dengan sekitar 45 persen dari aktivitas ekonomi nasional bergantung pada tiga sektor utama: pertanian, pengolahan, dan perdagangan.
Namun, ketiga sektor tersebut terus mengalami pertumbuhan yang di bawah rata-rata nasional. Terutama sektor pengolahan yang menunjukkan stagnansi berkelanjutan, mengindikasikan adanya potensi deindustrialisasi prematur.
“Stagnansi ini berpotensi membatasi kemampuan sektor industri untuk berkontribusi secara optimal terhadap pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja,” ujarnya.
Sektor perdagangan besar dan eceran juga mengalami pertumbuhan di bawah 5 persen, yang dapat menandakan adanya penurunan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah. Penurunan ini kemungkinan dipengaruhi oleh deindustrialisasi prematur yang menghambat peningkatan kesejahteraan tenaga kerja, akibat lemahnya pertumbuhan produktivitas dalam aktivitas produksi.
Sementara itu, sektor pertanian menghadapi tantangan serius. Produktivitas yang rendah, dipengaruhi oleh keterampilan tenaga kerja yang kurang, kualitas bahan baku yang buruk, dan kurangnya skema penjaminan bagi petani, diperparah oleh dampak musiman dari fenomena El-Nino.
Di sisi eksternal, defisit transaksi berjalan Indonesia meningkat pada Triwulan I 2024 menjadi USD2,2 miliar atau 0,6 persen dari PDB, dari sebelumnya USD1,1 miliar atau 0,3 persen dari PDB pada triwulan akhir 2023.
“Peningkatan defisit ini terutama disebabkan oleh kontraksi dalam neraca perdagangan barang, meski sedikit termoderasi oleh tingginya penerimaan dari sektor pariwisata,” jelas Teuku.
Namun, performa neraca perdagangan menunjukkan perbaikan pada Triwulan II 2024. Surplus perdagangan tercatat sebesar USD8,04 miliar, didorong oleh kenaikan permintaan global untuk beberapa komoditas dan harga komoditas lainnya. Ini merupakan peningkatan sebesar 2,82 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu dan 8,42 persen dibandingkan triwulan sebelumnya.
Di bidang investasi, Indonesia berhasil mencapai target dengan meningkatnya Penanaman Modal Asing (PMA) pada Triwulan II 2024. Namun, ketidakpastian global, termasuk perubahan kebijakan Federal Reserve AS dan ketidakpastian kebijakan domestik seiring masa transisi pemerintahan, menyebabkan arus modal keluar yang signifikan pada triwulan tersebut.
“Akibatnya, nilai Rupiah mengalami tekanan berat dan terdepresiasi hingga 6,33 persen (year to date/ytd) pada akhir Juni 2024. Perkembangan ini menunjukkan perlunya perhatian lebih,” jelasnya.
Tergerusnya Daya Beli Kelas Menengah
Pada tahun 2023, konsumsi dari kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah menyumbang 82,3 persen dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia, dengan kontribusi masing-masing sebesar 45,5 persen dan 36,8 persen.
“Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun 2014, di mana kelompok-kelompok tersebut masing-masing menyumbang 41,8 persen dan 34,7 persen dari total konsumsi rumah tangga,” ujarnya.
Namun, dalam lima tahun terakhir, terdapat perbedaan tren yang mencolok. Porsi konsumsi calon kelas menengah meningkat dari 42,4 persen pada tahun 2018, sementara porsi konsumsi kelas menengah justru menurun dari 41,9 persen pada periode yang sama. Penurunan ini menunjukkan adanya potensi penurunan daya beli di kalangan kelas menengah.
“Analisis porsi pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran lebih jelas mengenai tren ini,” tambahnya
Peningkatan porsi pengeluaran untuk makanan, atau penurunan konsumsi barang nonmakanan, dapat menjadi indikator yang mengkhawatirkan. Pengeluaran untuk barang nonmakanan seperti barang tahan lama, kesehatan, pendidikan, dan hiburan seringkali menunjukkan daya beli dan kesejahteraan ekonomi. Dengan meningkatnya porsi pengeluaran untuk makanan, menunjukkan adanya penurunan daya beli di kalangan kelas menengah.
“Erosi daya beli ini berpotensi berdampak negatif pada konsumsi agregat, yang merupakan pendorong penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah dan pemangku kepentingan diharapkan dapat mengatasi isu ini untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” imbuhnya.
Tunda Kenaikan PPN
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APBBI) berharap wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada 2025 ditunda karena hal ini bisa membuat daya beli masyarakat menurun. Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja mengatakan kenaikan PPN bisa berdampak ke harga jual. Alhasil, dalam hal ini yang paling terkenal efeknya adalah masyarakat menengah ke bawah.
“Kami berharap ini (Kenaikan PPN) ditunda karena kenaikan PPN ini pasti akan berdampak ke harga jual, kalau harga jual naik, yang paling berdampak adalah kelas menengah ke bawah,” ujar dia kepada media di gedung Kementerian Perdagangan, Selasa, 30 Juli 2024.
Dengan terdampaknya kalangan menengah ke bawah, Alphonzus berpandangan bahwa ini akan berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat. (*)