KABARBURSA.COM – Rupiah masih dalam tren positif selama pekan ini. Penguatan mata uang ini diprediksi akan berlanjut pada pekan depan.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyebutkan bahwa pergerakan rupiah pekan depan akan dipengaruhi oleh rilis data tenaga kerja AS, yang akan diumumkan malam ini, serta data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada Senin 5 Agustus 2024 mendatang.
“Maka saya proyeksi, rupiah berpotensi menguat pada pekan depan, dan bergerak di kisaran Rp 16.100 – Rp 16.250 per dolar AS,” ungkap Josua, dikutip Minggu 4 Agustus 2024.
Sementara itu, Analis Pasar Mata Uang, Lukman Leong, memprediksi rupiah pada perdagangan Senin (5/8) akan sangat bergantung pada hasil rilis data tenaga kerja AS Non-Farm Payrolls (NFP). Menurutnya, jika data tersebut sesuai dengan perkiraan atau lebih rendah dari 175.000 penambahan pekerjaan, rupiah berpotensi kembali menguat.
Namun, adanya kekhawatiran terhadap ekonomi global bisa membatasi penguatan rupiah dan bahkan berpotensi membalikkan tren menjadi melemah.
Dari sentimen domestik, Lukman menjelaskan, investor sedang menantikan data pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2024, yang diperkirakan akan tumbuh solid sebesar 3,71 persen. Namun, secara tahunan atau year on year (YoY), diperkirakan hanya tumbuh 5 persen, lebih rendah dari sebelumnya 5,11 persen.
Lukman pun memproyeksi, rupiah akan bergerak di kisaran Rp 16.150 – Rp 16.250 per dolar AS pada perdagangan Senin 5 Agustus 2024.
Pada Jumat 8 Agustus 2024, rupiah spot pekan ini ditutup pada level Rp 16.200 per dolar AS. Ini membuat rupiah naik 0,23 persen dibanding penutupan hari sebelumnya di Rp 16.237 per dolar AS. Dalam sepekan, rupiah spot menguat sekitar 0,62 persen.
Selaras dengan pergerakan di pasar spot, rupiah Jisdor Bank Indonesia (BI) juga ikut menguat. Pada Jumat (2/8), rupiah Jisdor ditutup pada posisi Rp 16.234 per dolar AS, menguat sekitar 0,41 persen secara mingguan dan 0,05 persen secara harian.
Josua mengungkapkan, rupiah menguat pada Jumat (2/8) berkat ekspektasi investor terkait potensi sinyal pelemahan data tenaga kerja AS.
“Angka konsensus menunjukkan perkiraan adanya penurunan angka data NFP, meskipun angka tingkat pengangguran diperkirakan cenderung stabil,” kata Josua.
Menurutnya, pelemahan data tenaga kerja AS lebih lanjut, berpotensi menguatkan kemungkinan The Fed untuk memotong suku bunga lebih dari satu kali pada tahun ini. Josua menjelaskan, pada pekan ini, rupiah cenderung menguat terhadap dolar AS sejalan dengan sinyal dovish dari The Fed.
Lukman juga menyebutkan, rupiah dalam sepekan ini menguat terhadap dolar AS, didukung oleh data-data ekonomi AS yang lebih lemah serta pernyataan dovish dari kepala The Fed, Powell, yang memberi sinyal pemangkasan suku bunga pada pertemuan FOMC di bulan September mendatang.
Namun, kekhawatiran terhadap kemerosotan ekonomi dunia serta eskalasi tensi di Timur Tengah membatasi penguatan rupiah lebih lanjut, menurut Lukman.
Proyeksi Data Tenaga Kerja AS
Pada tahun 2024, data tenaga kerja Amerika Serikat menjadi salah satu indikator ekonomi yang sangat diawasi oleh para pelaku pasar. Sentimen terhadap data ini tidak hanya mempengaruhi perekonomian AS, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap mata uang negara lain, termasuk rupiah.
Data tenaga kerja AS, terutama Non-Farm Payrolls (NFP), menjadi tolok ukur utama yang mencerminkan kondisi kesehatan pasar tenaga kerja di negara tersebut. Pada tahun ini, berbagai proyeksi menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan kerja mungkin melambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti peningkatan suku bunga oleh The Fed, ketidakpastian ekonomi global, dan tantangan dalam sektor tertentu seperti manufaktur dan teknologi.
Sentimen terhadap data tenaga kerja Amerika Serikat pada tahun 2024 memiliki pengaruh yang luas, tidak hanya terhadap perekonomian AS tetapi juga terhadap pasar global, termasuk Indonesia. Pergerakan rupiah akan sangat dipengaruhi oleh hasil rilis data ini, dengan potensi penguatan jika data menunjukkan pelemahan ekonomi AS. Namun, berbagai faktor global dan domestik tetap harus diperhatikan untuk memahami dinamika penuh yang mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Selain suku bunga, The Fed juga memantau berbagai indikator ekonomi lainnya, seperti inflasi dan pertumbuhan PDB. Proyeksi menunjukkan bahwa inflasi di AS mungkin tetap berada di bawah target The Fed sebesar 2 persen, yang bisa menjadi alasan tambahan bagi bank sentral untuk melonggarkan kebijakan moneternya.
Dalam jangka menengah, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan melambat. Ini terutama disebabkan oleh dampak dari kenaikan suku bunga sebelumnya dan tantangan dalam sektor-sektor kunci seperti teknologi dan manufaktur. (*)