KABARBURSA.COM – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap mendesak unit usaha syariah (UUS) untuk melakukan spin off atau pemisahan dari induk banknya, serta mempertimbangkan merger dengan sesama UUS untuk membentuk Bank Umum Syariah (BUS). Langkah ini dianggap perlu untuk meningkatkan persaingan dan memperbaiki struktur pasar perbankan secara berkelanjutan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa adanya spin off dan merger bertujuan untuk memperbaiki dinamika persaingan di pasar. “Tidak ideal jika bank besar seperti BSI berdiri sendiri tanpa adanya kompetitor. Kebijakan seperti ini kurang menguntungkan,” ungkap Dian dalam konferensi pers hasil rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK di Jakarta, Senin 5 Agustus 2024 lalu.
Dian menekankan bahwa merger bank dapat memberikan dampak signifikan terhadap kehadiran bank-bank besar, yang bukan hanya berfokus pada keuntungan semata. “Kita mempersiapkan Indonesia Emas, di mana bank berskala besar, termasuk yang bersifat syariah, sangat dibutuhkan secara domestik.”
Menurut Dian, spin off dan merger memerlukan persiapan bisnis yang matang dan model bisnis yang sesuai.
Aturan mengenai spin off UUS tercantum dalam POJK No. 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah. Berdasarkan regulasi ini, OJK mewajibkan bank untuk melakukan spin off UUS jika porsi aset UUS telah melebihi 50 persen atau aset UUS mencapai lebih dari Rp50 triliun.
Persaingan Bank Syariah
Regulator terus mendorong terciptanya persaingan sehat di sektor perbankan syariah Tanah Air. Tujuannya jelas: menciptakan pemain baru yang sepadan untuk menantang dominasi PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS).
Menurut Statistik Perbankan Syariah, total aset industri bank syariah di Indonesia mencapai Rp856,67 triliun per April 2024. Angka ini menunjukkan pertumbuhan tahunan sebesar 8,65 persen dan berkontribusi pada pangsa pasar sebesar 7,21 persen, meskipun mengalami penurunan dari bulan sebelumnya yang mencapai 7,33 persen.
Dalam perkembangan terbaru, merger antara BTN Syariah dan Bank Muamalat pernah menjadi topik hangat yang diprediksi akan memunculkan pesaing baru yang tangguh bagi BSI. Berdasarkan asumsi aset per Maret 2024, jika BTN mengakuisisi Bank Muamalat, asetnya dapat melonjak hingga Rp119,76 triliun, menjadikannya bank syariah kedua terbesar di Indonesia.
Namun, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), sebagai pemegang saham pengendali Bank Muamalat, melaporkan bahwa proses due diligence yang dilakukan BTN masih berlangsung. Sekretaris BPKH RI, Ahmad Zaky, menegaskan bahwa keputusan akhir dari hasil due diligence berada di tangan BTN, dengan semua data yang diperlukan telah diserahkan kepada mereka.
“Keputusan ada di tangan BTN. Proses masih berlanjut, dan kami belum memiliki hasilnya. Yang memegang hasil due diligence adalah BTN,” ungkap Zaky kepada Bisnis pada Kamis 27 Juni 2024.
Rencana aksi korporasi BTN sempat mengalami kendala, menyebabkan proses due diligence terlambat dari target yang ditetapkan pada April 2024. Selain itu, BTN juga terlibat dalam due diligence dengan PT Bank Victoria Syariah, yang memiliki total aset mencapai Rp3,17 triliun per kuartal I/2024. Jika akuisisi ini terjadi, total aset gabungan akan mencapai Rp58,01 triliun.
Direktur Utama BTN, Nixon L.P. Napitupulu, mengungkapkan bahwa pihaknya belum membuat keputusan terkait akuisisi ini. “Kami belum bisa memberikan jawaban karena belum ada keputusan final,” katanya kepada media di Jakarta, Jumat 21 Juni 2024 lalu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menyatakan bahwa mereka belum menerima laporan terbaru mengenai perkembangan akuisisi ini.
Di tengah spekulasi mengenai keputusan BTN, muncul kabar bahwa salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, berencana membangun bank syariah besar.
Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, mengungkapkan bahwa keinginan untuk memiliki bank syariah telah ada sejak lama, bahkan sebelum Muhammadiyah memindahkan dana simpanan dan pembiayaan dari BSI ke bank-bank syariah lainnya seperti PT Bank KB Bukopin Syariah, PT Bank Mega Syariah, dan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk.
Muhammadiyah sebelumnya memiliki Bank Persyarikatan Indonesia (BPI) pada 2002, namun bank tersebut kemudian diambil alih oleh Bank Bukopin dan kini dikenal sebagai KB Bank Syariah. Saat ini, Muhammadiyah terus berkontribusi pada pengembangan perbankan syariah di Indonesia melalui beberapa BPR yang telah dikonversi menjadi BPR Syariah.
Menurut Anwar, meskipun saat ini Muhammadiyah belum dapat melanjutkan pengembangan bank umum seperti BPI, ide tersebut tetap ada dan terus dikembangkan.
Direktur Sales and Distribution BSI, Anton Sukarna, menyatakan bahwa kehadiran sejumlah pemain baru di pasar keuangan syariah akan menjadi katalisator bagi pertumbuhan sektor ini serta memperbaiki tingkat persaingan industri. “Kami melihat dinamika yang terjadi di pasar syariah dengan penuh antusiasme. Dengan bertambahnya jumlah supplier, permintaan juga akan meningkat,” ujarnya kepada media di Jakarta pada Jumat 8 Maret 2024 lalu.
Menurut Anton, munculnya pemain baru di perbankan syariah akan meningkatkan citra keuangan syariah secara keseluruhan, serta memberikan dorongan pada penyedia layanan keuangan. “Semoga dengan adanya pemain baru, branding keuangan syariah juga ikut meningkat, dan tentu saja, pembeli pun akan bertambah. Ini adalah bagian dari logika umum,” tambahnya.
Di sisi lain, Chief Economist BSI, Banjaran Surya Indrastomo, menegaskan pentingnya kehadiran lebih banyak pemain dalam industri keuangan syariah untuk mendorong pertumbuhannya. Ia berpendapat bahwa kehadiran bank syariah lainnya akan berfungsi sebagai ‘mitra dagang’ bagi BSI. “Untuk mendorong pertumbuhan, diperlukan lebih banyak pemain besar. Dengan adanya institusi lain yang memiliki ukuran dan level yang sama, kita dapat berjuang bersama untuk memperluas inklusi keuangan syariah,” ungkapnya.
Banjaran menambahkan bahwa pendekatan utama dalam industri perbankan syariah saat ini adalah memastikan relevansi bisnis. Karena sebagian besar perputaran uang terjadi di sektor usaha, keterlibatan lembaga keuangan syariah dalam sektor ini akan memperbesar pangsa pasar dan memacu pertumbuhan hingga 8 persen pada 2024. (*)