Scroll untuk baca artikel
Makro

Senjakala Industri Tekstil RI, Airlangga Pasang Kuda-kuda

×

Senjakala Industri Tekstil RI, Airlangga Pasang Kuda-kuda

Sebarkan artikel ini
MGL3679 11zon scaled
Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. (Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa industri tekstil Indonesia belum memasuki fase sunset industry atau penurunan drastis. Pernyataan ini menyusul isu merebaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam sektor tekstil.

Airlangga menyangkal spekulasi tersebut dengan mengacu pada empat industri tekstil yang masih aktif di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal, Jawa Tengah. Ia menyebutkan bahwa salah satu dari industri tersebut adalah perusahaan Fortune 500, dan setiap pabrik mempekerjakan antara 4.000 hingga 7.000 karyawan.

“Keberadaan empat industri besar di KEK Kendal membuktikan bahwa sektor ini masih dinamis dan menjanjikan. KEK ini terus menarik minat, terutama dengan insentif yang ditawarkan,” kata Airlangga dalam pidatonya di KEK Kendal, seperti dilansir dari siaran YouTube Sekretariat Presiden, Rabu 7 Agustus 2024.

Menurut Investopedia, Fortune 500 adalah daftar tahunan yang diterbitkan oleh majalah Fortune, yang mencakup 500 perusahaan terbesar di Amerika Serikat berdasarkan pendapatan tahun fiskal sebelumnya. Daftar ini mencakup perusahaan publik dan swasta yang berbadan hukum serta mengajukan laporan keuangan kepada lembaga pemerintah. Daftar ini, baik dalam versi daring maupun cetak, dianggap sebagai prestisius dengan peringkat tertinggi diberikan kepada perusahaan dengan pendapatan terbesar.

Pada tahun 2024, Walmart menduduki posisi teratas dengan pendapatan sebesar USD648 miliar, diikuti oleh Amazon dan Apple. Perusahaan baru yang masuk dalam daftar 2024 termasuk DoorDash, First Citizens BancShares, dan Monster Beverage. Sementara itu, tiga perusahaan paling menguntungkan adalah Apple, Berkshire Hathaway, dan Alphabet.

Agar diketahui, sunset industry adalah istilah yang merujuk pada sektor industri yang mengalami penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi dan keuntungan, sering kali karena perubahan teknologi, perubahan pasar, atau penurunan permintaan. Industri yang memasuki fase ini biasanya menghadapi tantangan besar seperti berkurangnya inovasi, penurunan daya saing, dan adanya produk atau layanan yang sudah usang.

Dalam fase sunset industry, perusahaan-perusahaan dalam sektor tersebut sering kali mengalami penurunan minat atau kebutuhan dari konsumen terhadap produk atau layanan yang ditawarkan.

Teknologi yang digunakan menjadi ketinggalan zaman dan tidak lagi efisien dibandingkan dengan teknologi baru. Munculnya pesaing baru dengan inovasi yang lebih baik dan efisien. Profitabilitas menurun karena biaya produksi yang tinggi atau harga jual yang tidak dapat bersaing.

Istilah sunset industry menggambarkan fase penurunan dalam siklus hidup suatu industri, di mana kondisi pasar dan teknologi telah menyebabkan penurunan permintaan dan profitabilitas. Penggunaan istilah ini terinspirasi dari gambaran matahari yang terbenam, yang melambangkan akhir dari periode kejayaan dan kecerahan.

“Sunset” atau matahari terbenam memberikan gambaran visual yang kuat tentang akhir atau penurunan. Seperti matahari yang perlahan menghilang di cakrawala, industri dalam fase sunset juga mengalami penurunan secara bertahap.

Dampak Krisis Tekstil

Penurunan aktivitas di pabrik tekstil kini bukan lagi isu spekulatif. Realitas pahit ini dirasakan langsung oleh para pekerja pabrik yang akhirnya harus menghadapi pemutusan hubungan kerja.

Mesin-mesin tenun yang dulunya beroperasi dengan sibuk, kini hanya menjadi rongsokan karena ditinggal operatornya.

Di balik lonjakan impor barang jadi dari China ke pasar domestik, terdapat kebutuhan mendesak bagi industri lokal untuk mencontoh inovasi dari Negeri Tirai Bambu.

Industri daur ulang plastik ini menambah nilai tambah pada bahan baku yang diolah menjadi berbagai produk tekstil seperti bantal, selimut, dan karpet.

Investasi asing di sektor hulu tekstil telah menjadi contoh penting bagi penanaman modal asing (PMA) di sektor ini. PT Harvestindo International, yang dimiliki oleh tiga warga negara asing, memiliki saham yang cukup signifikan di industri ini.

Di samping Harvestindo, PT Grand Everest International juga terlibat dalam daur ulang kemasan plastik sejak 2017. Pabrik ini menerima berbagai jenis plastik bekas, termasuk botol Aqua, dan memproduksi bahan baku untuk berbagai produk.

Grand Everest International dimiliki oleh tiga warga negara China dengan saham yang terdiversifikasi. Pabrik ini memproduksi berbagai jenis barang plastik, dari bahan pengemasan hingga produk pakaian dan alas kaki.

Sektor Tekstil Nasional

Selama periode 2019-2023, investasi China di Indonesia mencapai USD28,4 miliar, dengan 54 persen di antaranya terbenam di sektor manufaktur. Khususnya untuk industri tekstil, nilai investasi asing pada triwulan I 2024 mencapai USD194,28 juta, meningkat 70 persen dibandingkan tahun lalu.

Sebaliknya, penanaman modal dalam negeri mengalami penurunan signifikan sebesar 41,85 persen menjadi Rp1,7 triliun pada triwulan I 2024.

Asosiasi Produsen Serat, Benang, Filament Indonesia (APSyFI) mendorong investasi di subsektor hulu, meskipun menyadari tantangan bersaing dengan produk impor dari China yang menawarkan harga lebih rendah.

“Kita perlu tambahan investasi, tetapi harus sesuai dengan struktur biaya kita. Meskipun menggunakan teknologi terbaru, sulit bersaing jika harga barang impor dari China lebih murah daripada harga bahan baku kita,” ungkap Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum APSyFI. (*)