KABARBURSA.COM – Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa pemerintah berencana akan memberikan tarif khusus Bahan Bakar Minyak (BBM) kepada driver ojek online (ojol).
Menurut Budi Karya, rencana ini telah dibahas bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan.
“Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tadi bisik-bisik dengan Pak Deputi Menko Kemaritiman dan Investasi, bersama Pak Luhut menjanjikan hal-hal yang bermanfaat bagi driver ojek online. Semoga ini berjalan dengan baik nanti. Kalau itu terjadi maka ada yang menarik bagaimana kita akan memberikan harga secara khusus bahan bakar pada driver ojek online,” kata Budi Karya dalam acara Percaya Indonesia Merdeka dari Polusi yang diselenggarakan oleh salah salah satu aplikator ojek online di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2024.
Namun Budi Karya tidak memberitahu kapan rencana tersebut akan dilaksanakan. Kata dia, rencana ini adalah bentuk kepedulian pemerintah terhadap driver-driver ojol yang dianggap sebagai pahlawan transportasi.
“Saya berulang kali katakan, mereka itu pahlawan transportasi. Sekarang bukan kita (orang) saja yang dihantarkan, tapi juga pesan apa pun akan diantar ojol, Doakan saja ini berjalan dengan baik,” ujarnya.
Pada tahun 2022, para driver ojol pernah menagih janji pemerintah agar diberikan subsidi khusus di tengah kenaikan harga BBM. Subsidi ini sudah diumumkan oleh pemerintah, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Subsidi yang dimaksud adalah permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan 2 persen anggaran daerah untuk bantuan sosial.
“Kami asosiasi sedang menunggu sinyal dari pemerintah. Beberapa saat lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan bahwa pengemudi ojol akan mendapatkan subsidi BBM jenis Pertalite,” ujar Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono di Jakarta beberapa waktu lalu.
BBM Subsidi akan Dihapus?
Revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) masih menghadapi berbagai kendala dalam pelaksanaan subsidi yang lebih tepat sasaran. Hingga kini, proses revisi peraturan tersebut masih berlanjut.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, menegaskan bahwa kebijakan pengetatan subsidi BBM harus menunggu selesainya revisi Perpres 191/2014.
“Regulasi ini masih dalam tahap penyelesaian. Kami akan mengumumkan secara resmi kapan regulasi ini dapat diterapkan,” ujar Dadan dalam konferensi pers di Kementerian ESDM pada Jumat 23 Agustus 2024.
Dadan melanjutkan bahwa ketentuan detail mengenai kriteria kendaraan yang berhak mendapatkan BBM subsidi, seperti Pertalite dan Solar Subsidi, masih akan mengacu pada hasil rapat terakhir bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Menurut draf sebelumnya, mobil dengan kapasitas mesin di atas 1.400 cc tidak diperbolehkan menggunakan Pertalite, sementara motor dengan kapasitas mesin di atas 250 cc juga tidak akan mendapatkan subsidi.
Selain itu, terdapat kemungkinan penerapan kuota pembatasan bagi kendaraan roda empat untuk pembelian Pertalite, yaitu sebesar 120 liter per bulan. Dadan menambahkan bahwa Kementerian ESDM akan memastikan pemenuhan kuota BBM subsidi.
Fungsi pengawasan akan tetap dipegang oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), sementara PT Pertamina sebagai badan usaha penyalur akan memetakan kebutuhan setiap Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) berdasarkan kondisi di lapangan.
Berpotensi Timbulkan Masalah
Sementara, Muhammad Ishak Razak, peneliti senior dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menuturkan langkah ini lebih tepat dibanding penghapusan subsidi secara menyeluruh, karena berdampak lebih ringan mengonsumsiterhadap inflasi. Seperti dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat 16 Agustus 2024.
Ishak menjelaskan bahwa kendaraan penumpang pribadi sekitar 43,1 persen BBM bersubsidi, dan jika subsidi dibatasi untuk jenis kendaraan ini, inflasi yang dihasilkan hanya sekitar 0,37 persen.
Sebaliknya, penghapusan subsidi sepenuhnya akan menyebabkan lonjakan inflasi sebesar 5,3 persen. Saat ini, populasi kendaraan penumpang pribadi di Indonesia mencapai 29,7 juta unit, sementara sepeda motor dan kendaraan umum yang jumlahnya 113,8 juta unit mengkonsumsi 53,9 persen BBM bersubsidi.
Dari sudut pandang ekonomi, penyesuaian subsidi ini dapat memberikan ruang fiskal tambahan bagi pemerintah untuk realokasi anggaran ke sektor lain, seperti infrastruktur dan pelayanan publik.
Selain itu, Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, menambahkan bahwa subsidi seharusnya hanya dinikmati oleh kelompok yang layak, sehingga masyarakat menengah-atas yang tidak berhak harus siap menerima harga BBM yang lebih mahal.
Langkah ini juga terkait dengan peningkatan kualitas bahan bakar rendah sulfur, sejalan dengan standar EURO IV yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 20 Tahun 2017.
Penyesuaian ini bertujuan menekan emisi dari sektor transportasi, didukung dengan strategi seperti peningkatan teknologi kendaraan, pembenahan transportasi publik, serta penegakan regulasi yang lebih ketat.
Kebijakan pengaturan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang dijalankan melalui pembatasan pembelian dinilai tidak akan pernah mencapai hasil yang optimal dan bahkan berpotensi menimbulkan berbagai masalah turunan dalam pelaksanaannya.
“Biaya yang ditimbulkan dari kebijakan pembatasan subsidi BBM berisiko jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang bisa diraih. Jika tidak dikelola dengan baik, biaya ekonomi dan sosial dari kebijakan ini bisa saja tidak terkendali,” ungkap Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro di Jakarta, Rabu 14 Agustus 2024.
Komaidi menegaskan bahwa potensi biaya sosial dari kebijakan pembatasan BBM subsidi pada tahun 2024 dapat meningkat, terutama karena akan bertepatan dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia. Keterbatasan akses BBM di tengah pesta demokrasi tersebut bisa memicu masalah baik di tingkat vertikal maupun horisontal.
Komaidi juga menyatakan bahwa kebijakan pembatasan BBM subsidi sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sejak era pemerintahan Presiden SBY, kebijakan semacam ini telah diinisiasi dan diimplementasikan, namun terbukti tidak efektif.
ReforMiner, sebagai lembaga riset ekonomi energi, mencatat bahwa pada kebijakan pembatasan BBM sebelumnya, telah dilakukan pemasangan Radio Frequency Identification (RFID) agar subsidi BBM bisa lebih tepat sasaran.
RFID tersebut berfungsi untuk membaca jumlah BBM yang dikonsumsi oleh kendaraan dan dipasang di SPBU, sementara di kendaraan dipasang alat yang disinkronkan dengan RFID.
Berdasarkan data, dilaporkan bahwa ratusan ribu kendaraan telah dipasang RFID, namun pemerintah akhirnya membatalkan kebijakan tersebut, papar Komaidi.
Ia berpendapat bahwa pengelolaan subsidi BBM akan lebih optimal jika subsidi diberikan melalui mekanisme subsidi langsung, yaitu subsidi langsung kepada individu penerima manfaat, bukan melalui subsidi harga seperti yang diberlakukan saat ini.
Dari aspek regulasi, lanjut Komaidi, kebijakan pembatasan BBM subsidi sulit dilaksanakan jika revisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 191/2014 belum diselesaikan oleh pemerintah. Badan usaha pelaksana penugasan (Pertamina) tidak memiliki rujukan dan payung hukum untuk melaksanakan kebijakan ini jika revisi Perpres belum diselesaikan.
Di sisi lain, potensi penghematan anggaran subsidi BBM dari kebijakan pembatasan ini sebenarnya belum dapat diukur, terutama jika objek atau kelompok target pembatasan belum ditetapkan secara tegas oleh pemerintah.
“Melihat kuota BBM subsidi dan BBM JBT (jenis tertentu) pada tahun 2024 dan 2025 yang tercatat lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, secara fiskal, dapat dikatakan bahwa pemerintah tampaknya tidak berencana untuk melakukan pembatasan BBM,” ujar Komaidi. (*)