KABARBURSA.COM – Harga minyak terjun bebas hampir 5 persen pada Selasa, 3 September 2024, merosot ke level terendah dalam sembilan bulan terakhir. Penurunan tajam ini dipicu oleh tanda-tanda positif dari Libya, yang mendekati kesepakatan untuk mengakhiri konflik yang telah menghentikan produksi dan ekspor minyak mentah negara tersebut.
Minyak Brent anjlok USD3,77 atau 4,9 persen, menutup perdagangan di angka USD73,75 per barel, level terendah sejak 12 Desember 2023. West Texas Intermediate (WTI) juga terjun USD3,21 atau 4,4 persen, menyentuh USD70,34 per barel, posisi terendah sejak Desember tahun lalu.
Libya, yang hampir mencapai solusi konflik, telah sepakat untuk menunjuk gubernur bank sentral baru dalam 30 hari ke depan melalui perundingan yang dimediasi oleh PBB. Kesepakatan ini memberikan sinyal kepada pasar bahwa produksi minyak Libya mungkin segera pulih.
Di sisi lain, National Oil Corp (NOC) Libya mengumumkan force majeure di ladang minyak El Feel sejak 2 September. Produksi minyak nasional anjlok dari hampir 959.000 barel per hari pada 26 Agustus menjadi 591.000 barel per hari pada 28 Agustus. Padahal, pada 20 Juli lalu, produksi mencapai sekitar 1,28 juta barel per hari.
Spekulasi tentang kembalinya pasokan dari Libya menambah tekanan pada harga minyak, yang sebelumnya sudah tertekan oleh perlambatan ekonomi di Tiongkok, importir minyak mentah terbesar dunia. Data PMI manufaktur Tiongkok yang lebih rendah dari ekspektasi semakin menambah kekhawatiran pasar.
Selain itu, harapan bahwa musim berkendara di AS akan mendorong harga minyak ke puncak baru tahun ini pupus. Bensin berjangka AS bahkan jatuh hampir 6 persen, menyentuh level terendah sejak Desember 2021, ditambah dengan berakhirnya musim panas yang mengurangi permintaan bahan bakar.
Krisis politik yang semakin memanas di Libya memaksa penghentian ekspor minyak dari sejumlah pelabuhan utama pada Senin, 2 September 2024. Produksi minyak di seluruh negeri pun turut dibatasi akibat konflik kekuasaan antara faksi-faksi yang berseteru untuk mengontrol bank sentral dan pendapatan minyak, seperti yang diungkapkan oleh enam teknisi kepada Reuters. National Oil Corp (NOC) Libya bahkan mengumumkan force majeure di ladang minyak El Feel sejak tanggal tersebut.
Bjarne Schieldrop, Kepala Analis Komoditas SEB, menyatakan, “Gangguan produksi minyak di Libya mungkin memberi peluang bagi OPEC+ untuk menambah pasokan. Namun, fluktuasi semacam ini sudah menjadi norma dalam beberapa tahun terakhir, sehingga penghentian produksi mungkin hanya sementara; laporan awal sudah mengindikasikan kemungkinan dimulainya kembali produksi.”
Sementara itu, Arabian Gulf Oil Company, salah satu perusahaan minyak Libya, berhasil melanjutkan produksi sekitar 120.000 barel per hari pada Minggu untuk memasok pembangkit listrik di pelabuhan Hariga.
Di tengah situasi ini, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, diprediksi tetap melanjutkan rencana peningkatan output minyak mulai Oktober. Enam sumber dari kelompok produsen tersebut mengungkapkan kepada Reuters bahwa delapan anggota OPEC+ akan meningkatkan produksi sebesar 180.000 barel per hari pada Oktober, sebagai bagian dari rencana mengakhiri pemotongan pasokan sebesar 2,2 juta barel per hari, sembari mempertahankan pemotongan lainnya hingga akhir 2025.
Phil Flynn, analis dari Price Futures Group, menuturkan, “Berita peningkatan produksi memang sempat menekan harga minyak pekan lalu, tetapi skala penurunan itu tampaknya terlalu berlebihan. Pasar bereaksi berlebihan terhadap peningkatan pasokan, dan kini tampaknya mereka menempatkan laporan tersebut dalam konteks yang lebih tepat.”
Namun, baik Brent maupun WTI mencatat penurunan selama dua bulan berturut-turut akibat kekhawatiran akan permintaan dari Amerika dan Tiongkok, yang melebihi dampak gangguan pasokan di Libya serta risiko konflik di Timur Tengah.
Pesimisme mengenai pertumbuhan permintaan dari Tiongkok makin mencuat setelah survei resmi pada Sabtu menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur negara tersebut merosot ke titik terendah dalam enam bulan pada Agustus. Hal ini dipicu oleh penurunan harga di tingkat pabrik serta kesulitan pelaku usaha dalam mendapatkan pesanan baru.
Sebelumnya, harga minyak melemah pada Jumat, 30 Agustus 2024, tertekan oleh kekhawatiran investor terkait potensi peningkatan pasokan dari OPEC+ mulai Oktober.
Selain itu, harapan akan pemangkasan suku bunga yang signifikan oleh Amerika Serikat (AS) pada bulan depan juga makin memudar setelah data ekonomi menunjukkan peningkatan kuat dalam belanja konsumen.
Menurut laporan Reuters, harga minyak mentah Brent untuk pengiriman Oktober, yang berakhir pada Jumat, turun sebesar USD1,14 atau 1,43 persen, ditutup di level USD78,8 per barel. Secara mingguan, Brent mengalami penurunan 0,3 persen dan mencatat penurunan bulanan sebesar 2,4 persen.
Sementara itu, kontrak berjangka minyak West Texas Intermediate (WTI) AS ditutup merosot USD2,36 atau 3,11 persen, berada di angka USD73,55 per barel, dengan penurunan mingguan 1,7 persen dan penurunan bulanan sebesar 3,6 persen pada Agustus.
OPEC+ berencana melanjutkan peningkatan produksi minyak mulai Oktober, meskipun gangguan pasokan dari Libya dan penurunan produksi yang dijanjikan oleh beberapa anggotanya untuk menyeimbangkan kelebihan pasokan. Informasi ini disampaikan oleh enam sumber dari kelompok produsen kepada media. (*)