KABARBURSA.COM – Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak, prihatin dengan kondisi ekonomi kelas menengah yang semakin memburuk di Indonesia. Ia meminta pemerintah untuk tetap mempertahankan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) demi meringankan beban kelas menengah yang kian rentan jatuh ke dalam jurang kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah di Indonesia telah mengalami penurunan tajam. Pada tahun 2019, jumlah kelas menengah mencapai 57,33 juta orang atau 21,45 persen dari total penduduk. Namun, angka ini terus menurun hingga hanya tersisa 47,85 juta orang atau 17,13 persen pada tahun 2024.
Selain itu, BPS juga melaporkan saat ini ada 67,69 juta orang yang termasuk dalam kelompok rentan miskin, bertambah 12,72 juta orang dibandingkan dengan tahun 2019. Jumlah ini setara dengan 24,23 persen dari populasi Indonesia. Kenaikan harga serta penghapusan subsidi BBM dan gas, tanpa diiringi peningkatan pendapatan, membuat kelompok ini berisiko besar jatuh ke dalam kategori miskin.
Amin mengatakan kebijakan pemerintah yang cenderung fokus pada masyarakat miskin dan kalangan atas telah mengabaikan kepentingan kelas menengah. Padahal, kelas menengah adalah penggerak utama konsumsi dalam negeri. “Saat ini, kelas menengah di Indonesia sudah terbebani berbagai jenis pungutan pajak, yang jika dijumlahkan bisa mendekati 20 persen dari pendapatan mereka,” ujar Amin dalam keterangan tertulis yang diterima Kabar Bursa, Jumat, 6 September 2024.
Penurunan jumlah kelas menengah ini berdampak pada daya beli masyarakat yang terus merosot sehingga mengurangi permintaan barang dan jasa. Kondisi ini dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi, membuat target pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen yang dicanangkan Presiden terpilih Prabowo sulit tercapai.
“Kelas menengah merupakan tulang punggung perekonomian kita. Jika mereka terus terpuruk, dampaknya akan sangat besar terhadap stabilitas ekonomi nasional,” tegas politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Amin juga memperingatkan penurunan kelas menengah bisa memperlebar kesenjangan antara kaya dan miskin. Ketimpangan yang semakin besar ini berpotensi menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik yang pada akhirnya bisa memengaruhi iklim investasi serta pertumbuhan ekonomi nasional.
Ia juga menekankan pentingnya mempertahankan subsidi BBM dan tarif KRL yang terjangkau sebagai langkah nyata untuk membantu kelas menengah. Menjaga subsidi BBM dan tarif transportasi publik akan meringankan pengeluaran harian kelas menengah sehingga mereka bisa mengalokasikan dana lebih banyak untuk kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, dan tabungan.
Amin menambahkan, pengeluaran yang lebih rendah untuk transportasi dan BBM akan meningkatkan daya beli merekayang pada gilirannya dapat mendorong konsumsi dalam negeri dan pertumbuhan ekonomi. “Dengan mempertahankan subsidi BBM dan tarif KRL yang terjangkau, kita bisa mengurangi beban pengeluaran harian mereka serta menjaga daya beli masyarakat,” katanya.
Amin menjelaskan, tarif transportasi publik yang terjangkau memudahkan mobilitas kelas menengah, yang sangat penting untuk akses ke pekerjaan, pendidikan, dan layanan lainnya. Ini pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas serta kualitas hidup mereka.
Sementara itu, subsidi BBM dan tarif transportasi publik yang terjangkau juga membantu mengurangi ketimpangan ekonomi dengan memberikan manfaat langsung bagi kalangan menengah dan bawah. Langkah ini penting untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi secara keseluruhan.
Amin berharap pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah ini. “Kami di DPR akan terus mengawal dan mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan kelas menengah. Kebijakan yang tepat dan berimbang sangat dibutuhkan agar kita bisa keluar dari krisis ini bersama-sama,” katanya.
Turun Jadi 47,85 Juta Jiwa
Penjabat Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, sebelumnya mengungkapkan sebuah fakta mengejutkan: jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan sejak pandemi Covid-19.
Berdasarkan data terbaru, jumlah masyarakat yang tergolong dalam kelas menengah menyusut menjadi 47,85 juta jiwa atau sekitar 17,13 persen dari total populasi pada tahun ini.
Penurunan tersebut disertai dengan bertambahnya jumlah penduduk yang termasuk dalam kategori kelas menengah yang sedang berkembang atau aspiring middle class, yaitu kelompok yang berada di antara kelas rentan miskin dan kelas menengah. Berdasarkan data BPS, pada 2024 tercatat 137,5 juta orang atau 49,22 persen dari total populasi berada dalam kategori ini. “Kelompok yang berjumlah 137,5 juta ini sebenarnya bisa di-upgrade dengan mudah menjadi kelas menengah,” ujar Amalia.
Amalia menjelaskan pada 2021, jumlah kelas menengah tercatat sebanyak 58,83 juta orang dengan proporsi 19,28 persen. Ini berarti, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, jumlah kelas menengah menyusut sekitar 5,98 juta orang.
Penurunan ini mencerminkan dampak jangka panjang dari pandemi, yang disebut juga sebagai scarring effect, terhadap stabilitas kelas menengah.
“Dalam periode tersebut, kami mengamati bahwa dampak pandemi sangat terasa, dengan pengurangan yang signifikan dalam jumlah kelas menengah. Pada tahun 2021, jumlah kelas menengah adalah 53,83 juta orang, atau 19,82 persen dari populasi,” ungkap Amalia dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung Nusantara, Jakarta, Rabu 28 Agustus 2024.
Melihat dari sektor pekerjaan, data menunjukkan bahwa 57 persen dari kelas menengah bekerja di sektor jasa, 22,98 persen di sektor industri, dan 19,97 persen di sektor pertanian. Perubahan ini mencerminkan pergeseran dalam struktur ekonomi yang mempengaruhi stabilitas pendapatan kelas menengah.(*)