Scroll untuk baca artikel
Makro

OJK: Gen Z dan Milenial Penyebab Kredit Macet Pinjol

×

OJK: Gen Z dan Milenial Penyebab Kredit Macet Pinjol

Sebarkan artikel ini
MGL1263 11zon
Sejumlah pengunjung bersantai sambil menggunakan Laptonya di Cafe Bundaran HI, Senin (15/7/2024). Hampir semua tempat-tempat nongkrong di jumpai kaula muda yang terus aktif dengan Laptop dan HP. foto: KabarBursa/abbas sandji

KABARBURSA.COM – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan peringatan khusus setelah Generasi Z (Gen Z) dan Milenial diketahui menjadi penyebab utama sepertiga dari kredit macet pada platform pinjaman online (pinjol).

Pinjaman online atau peer to peer (P2P) lending mencatatkan kredit macet lebih dari 90 hari atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) sebesar 2,53 persen year on year (yoy) per Juli 2024, menurut Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Lainnya (PMVL) OJK, Agusman.

“Mengenai porsi Gen Z dan Milenial dalam penyebab utama TWP90, dari data yang ada pada kami di Juli 2024, porsi TWP90 untuk Gen Z dan Milenial yang kami kategorikan di usia 19 tahun-34 tahun itu adalah 37,17 persen,” ungkapnya dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) Agustus 2024 yang disiarkan melalui Youtube OJK, Sabtu, 7 September 2024.

Meskipun demikian, Agusman menyebutkan bahwa kredit macet pada pinjaman online sudah mulai menunjukkan penurunan.

Ia membandingkan data terbaru dengan data pada Juli 2023, di mana tingkat kredit macet mencapai 3,47 persen secara tahunan, sehingga ada penurunan sekitar 0,94 persen.

“Terlihat bahwa kualitas pendanaannya semakin membaik,” tegas Agusman.

Agusman kemudian menjelaskan langkah-langkah yang diambil OJK untuk terus memitigasi risiko kredit macet pada pinjaman online.

Salah satu tindakan yang dilakukan adalah dengan memberikan peringatan khusus kepada calon peminjam melalui website atau aplikasi resmi pinjaman online tersebut.

OJK meminta para penyelenggara P2P lending atau pinjaman online untuk membuat peringatan khusus ini, yang ditujukan langsung kepada konsumen yang berniat melakukan pinjaman, termasuk Gen Z dan Milenial.

Sebelumnya, OJK tengah memberikan perhatian khusus terhadap kredit macet dalam pinjaman online atau fintech lending terus menjadi perhatian serius Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hingga Juni 2024, OJK mencatat masih tingginya tingkat kredit macet di beberapa penyelenggara layanan pendanaan berbasis teknologi, yang menjadi indikasi bahwa industri ini masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga kualitas pendanaan.

Fintech lending, atau yang lebih dikenal dengan istilah pinjaman online, merupakan layanan peminjaman uang yang bertujuan untuk meningkatkan modal melalui pendanaan dari pihak ketiga. Namun, meski menawarkan kemudahan akses, sektor ini juga tidak lepas dari risiko tinggi kredit macet.

Menurut data yang dirilis OJK, hingga Juni 2024, terdapat 19 Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) yang mencatatkan Tingkat Wan Prestasi dalam 90 hari (TWP90) di atas 5 persen.

Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya di OJK mengatakan banyaknya TWP90 yang mencatatkan tingginya angka kredit macet tetap menjadi perhatian serius OJK.

Untuk itu, pihak OJK telah mengeluarkan surat peringatan kepada penyelenggara LPBBTI yang memiliki TWP90 tinggi, meminta mereka untuk segera membuat rencana aksi guna memperbaiki kualitas pendanaan mereka.

“Terhadap Penyelenggara tersebut, OJK memberikan surat peringatan dan meminta Penyelenggara membuat action plan untuk memperbaiki kualitas pendanaannya,” terang dia dalam keterangan resmi dikutip Sabtu 10 Agustus 2024.

Selain itu, OJK juga terus memantau perkembangan kualitas pendanaan dan siap memberikan sanksi administratif jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku.

“OJK juga terus melakukan monitoring terhadap kualitas pendanaan LPBBTI dan akan melakukan tindakan pengawasan termasuk pemberian sanksi administratif dalam hal ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan,” kata Agusman.

TWP90 merupakan indikator penting yang mengukur rasio gagal bayar dalam periode 90 hari, dan tingginya angka ini menunjukkan bahwa banyak peminjam yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban mereka tepat waktu.

Meskipun secara umum dia mengatakan TWP90 sejak Mei 2024 tersebut masih berada di batas aman ketentuan OJK, yakni tidak melebihi 5 persen.

Dia merinci pada Juni 2024 sebesar 2,79 persen. Adapun TWP90 pada Juni 2024 tercatat menurun dari posisi Juni 2023 yang sebesar 3,29 persen. Capaian Juni 2024 juga terbilang menurun, jika dibandingkan dengan posisi Mei 2024 yang sebesar 2,91 persen

“Pada industri fintech P2P lending, outstanding pembiayaan di Juni 2024 terus meningkat menjadi 26,73 persen yoy (Mei 2024: 25,44 persen yoy), dengan nominal sebesar Rp66,79 triliun,” tandas dia.

Diketahui, dunia pinjaman online kini diguncang dengan kabar bahwa 28 platform pinjaman daring gagal memenuhi batas ekuitas minimum sebesar Rp7,5 miliar. Ironisnya, kegagalan ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi industri fintech dalam mempertahankan bisnis mereka, sebuah tanda bahwa mungkin ada sesuatu yang jauh lebih serius di balik layar.

Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) yang juga pengamat ekonomi digital, mengatakan kesulitan 28 platform tersebut untuk mencapai ekuitas yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bukan hanya soal ketidakmampuan finansial, tetapi bisa jadi mencerminkan kesalahan mendasar dalam model bisnis mereka.

“Niatan OJK baik dalam pengaturan bunga supaya tidak memberatkan nasabah. Tetapi, hal ini juga pasti bisa berdampak kepada keberlangsungan bisnis P2P sendiri,” ucap Nailul, Senin, 19 Agustus 2024.

Untuk diketahui, Regulasi baru yang dikeluarkan OJK di awal 2024 memang telah mengatur bunga pinjaman P2P, dengan tingkat bunga pendanaan untuk sektor produktif ditetapkan pada 0,1 persen per hari dan untuk sektor konsumtif 0,3 persen per hari.

Namun, apakah kebijakan ini benar-benar membantu atau justru menjepit industri fintech ke sudut yang lebih tajam?

“Saya menduga 28 platform tersebut mungkin mengalami kesulitan dalam mengumpulkan modal untuk memenuhi batas minimum tersebut. Angka Rp7,5 miliar harusnya tidak terlalu besar untuk platform di industri keuangan,” lanjut Nailul.

Lebih jauh, Nailul mengungkapkan bahwa model bisnis P2P lending sangat berbeda dari institusi keuangan lainnya. Dengan adanya lender individu dan institusi yang tertarik pada imbal hasil yang menarik, tekanan untuk tetap kompetitif dalam industri ini semakin kuat.

Namun, jika bunga pinjaman ditekan terlalu rendah, hal ini bisa berdampak buruk, bukan hanya bagi bisnis P2P itu sendiri tetapi juga bagi masyarakat luas.

“Bila bunga terlalu rendah, bisnis ini bisa tidak berkembang dan bisa berdampak buruk pada konsumen. Ini karena masyarakat yang sedang membutuhkan pinjaman dana bisa terjebak dengan platform pinjaman ilegal yang rentan dengan penipuan dan praktik penagihan yang menyengsarakan konsumen,” katanya.

Nailul Huda menilai pengaturan bunga konsumtif dan produktif di angka 0,3 persen dengan transparansi biaya bisa menjadi win-win solution bagi platform dan nasabah.

“Pinjaman online kan biasanya bersifat tenor pendek, tidak seperti pinjaman konvensional yang tenor panjang,” kata dia.

OJK, menurut Nailul, harus menyeimbangkan regulasi dengan kebutuhan industri. Aturan bunga konsumtif dan produktif di angka 0,3 persen, jika diterapkan dengan transparansi biaya, bisa menjadi solusi bagi semua pihak.

Penerapan bunga 0,3 persen bisa menjadi solusi supaya platform legal tetap tumbuh, OJK tetap bisa mengatur dan masyarakat terhindar dari pinjaman online ilegal,” ungkapnya.

Sebelumnya, OJK melalui POJK Nomor 10/2022 Pasal 50 mengatur penyelenggara P2Plending wajib memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Hingga satu tahun sejak aturan itu diundangkan, P2P lending diwajibkan memiliki paling sedikit modal Rp2,5 miliar.

Selanjutnya pada tahun kedua, naik menjadi Rp7,5 miliar. Sementara, ekuitas P2P lending paling sedikit Rp12,5 miliar berlaku tiga tahun sejak aturan itu diundangkan. (*)