Scroll untuk baca artikel
Makro

Bursa Asia Semakin Tertekan, Yen Jepang Terus Melemah

×

Bursa Asia Semakin Tertekan, Yen Jepang Terus Melemah

Sebarkan artikel ini
Bursa Asia
Ilustrasi Pasar Saham Asia (Foto: AFP/Philip Fong)

KABARBURSA.COM – Bursa Asia semakin tertekan pada awal pekan ini, 9 September 2024. Begitu pula dengan yen Jepang yang semakin melemah, menyusul penurunan tajam yang terjadi di bursa Wall Street dan Eropa pada akhir pekan lalu.

Bursa saham di kawasan ini langsung dibuka dengan penurunan, di mana indeks utama saham Australia (ASX) anjlok 0,9 persen, dipicu oleh pelemahan sektor perbankan dan energi. Tekanan lebih dalam dialami bursa Jepang, dengan Indeks Nikkei 225 yang jatuh 2,78 persen, diikuti Topix 500 turun 2,64 persen, dan Topix 100 yang juga melemah 2,78 persen. Sementara itu, di Seoul, indeks Kospi terpantau tergelincir 1,3 persen hanya dalam 15 menit pertama perdagangan.

Beralih ke Tiongkok, Indeks Shanghai Composite dibuka stabil tanpa perubahan berarti. Di sisi lain, bursa Hong Kong ditutup hari ini karena ancaman badai Yagi yang tengah menghantui wilayah otonom tersebut.

Harga ETF saham Indonesia, iShares MSCI Indonesia ETF (EIDO), yang diperdagangkan di New York Stock Exchange turut melemah 0,32 persen.

Meskipun sebagian besar pasar Asia dilanda penurunan, ada secercah harapan bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Secara teknikal, IHSG diperkirakan memiliki peluang untuk tetap berada di zona hijau. Sejumlah analis optimistis bahwa IHSG akan melanjutkan tren positifnya dengan pergerakan yang bervariasi, setelah pada akhir pekan lalu ditutup menguat 0,53 persen.

Optimisme ini juga didukung oleh Tim Riset Indo Premier, yang mencatat bahwa IHSG naik 0,7 persen secara mingguan (week-on-week), meskipun bursa global tertekan sepanjang pekan lalu.

Wall Street Tertekan

Pasar saham di Wall Street juga mengakhiri pekan dengan tekanan, terutama setelah laporan yang mengindikasikan perlambatan pertumbuhan lapangan kerja.

Pada Agustus, hanya 142.000 pekerjaan baru yang tercipta, jauh di bawah ekspektasi analis. Bahkan, pertumbuhan pekerjaan di Juli juga direvisi turun menjadi 89.000. Para analis memperingatkan, jika terjadi PHK dalam satu atau dua bulan ke depan, pasar bisa terperosok lebih dalam dan memaksa The Fed untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga sebesar 50 basis poin.

Indeks-indeks utama di Wall Street mencatat penurunan mingguan terbesar sejak awal tahun. Indeks S&P 500 dan Dow Jones membukukan penurunan mingguan terburuk sejak Maret 2023, sementara Nasdaq mengalami penurunan paling tajam sejak Januari 2022.

Sektor-sektor yang paling terpukul adalah layanan komunikasi, konsumsi diskresioner, dan teknologi. Raksasa teknologi seperti Nvidia, Tesla, dan Alphabet tak luput dari aksi jual besar-besaran. Saham-saham chip juga anjlok, dengan Broadcom merosot tajam 10,4 persen, sementara Marvell Technology dan Advanced Micro Devices masing-masing turun 5,3 persen dan 3,7 persen. Indeks Philadelphia SE Semiconductor jatuh 4,5 persen.

Berikut performa indeks di Wall Street:

  • Dow Jones Industrial Average turun 1,01 persen (-410,34 poin) ke 40.345,41.
  • S&P 500 anjlok 1,73 persen (-94,99 poin) ke posisi 5.408,42.
  • Nasdaq Composite terperosok 2,55 persen (-436,83 poin) ke level 16.690,83.

Sementara itu, bursa saham utama di Eropa juga mengalami nasib serupa, ditutup melemah pada akhir pekan. Pasar mencatat penurunan mingguan terburuk sejak awal Agustus. Laporan pekerjaan AS yang mengecewakan, meskipun tingkat pengangguran menurun, memunculkan spekulasi yang beragam terkait langkah kebijakan suku bunga The Fed.

Di sisi lain, data produksi industri Jerman mencatat penurunan 2,4 persen pada Juli, jauh lebih buruk dari prediksi yang hanya turun 0,3 persen. Data pertumbuhan PDB zona euro kuartal kedua juga direvisi menjadi 0,2 persen, di bawah estimasi awal sebesar 0,3 persen.

Para analis memprediksi volatilitas pasar akan berlanjut dalam beberapa pekan ke depan, mengingat ketidakpastian langkah The Fed. Indeks STOXX 600 melemah 1,07 persen ke level 506,56, dengan sektor teknologi, bahan dasar, dan energi yang tertekan lebih dari 2 persen.

Saham-saham chip di Eropa ikut terpuruk akibat kejatuhan Broadcom di AS. Harga minyak dan logam yang terus melemah juga menekan saham komoditas. Meski begitu, sektor real estat di Eropa justru mencatat kenaikan 0,6 persen, mencapai level tertinggi sejak Agustus 2022. Saham Volvo Cars terpuruk hingga 5,7 persen.

Berikut performa indeks di bursa Eropa:

  • DAX 40 Jerman turun 1,48 persen (-274,6 poin) ke 18.301,9.
  • CAC 40 Prancis merosot 1,07 persen (-79,66 poin) ke 7.352,3.
  • FTSE 100 Inggris melorot 0,73 persen (-60,24 poin) menjadi 8.181,47.

Pasar global tampaknya masih akan diwarnai ketidakpastian dan fluktuasi, menunggu kejelasan arah kebijakan dari bank sentral utama.

Harga Komoditas Anjlok

Harga minyak mentah dunia mengalami penurunan signifikan pada akhir pekan lalu, baik untuk West Texas Intermediate (WTI) maupun Brent North Sea, dengan penurunan sekitar 2 persen. Sentimen negatif ini didorong oleh data pekerjaan AS yang lebih rendah dari ekspektasi, meskipun OPEC+ menunda rencana untuk menambah pasokan minyak.

Brent jatuh ke level terendahnya sejak Desember 2021, merosot 10 persen dalam sepekan. Sementara itu, WTI mencapai titik terendah sejak Juni 2023, mencatat penurunan sebesar 8 persen dibandingkan dengan pekan sebelumnya.

Pertumbuhan lapangan kerja yang lebih lambat dari ekspektasi, namun disertai dengan penurunan tingkat pengangguran menjadi 4,2 persen, memberikan sinyal bahwa perlambatan pasar tenaga kerja belum cukup untuk memaksa The Fed melakukan pemotongan suku bunga besar-besaran.

Bank of America bahkan menurunkan proyeksi harga Brent untuk paruh kedua 2024 dari USD90 menjadi USD75 per barel, dengan alasan peningkatan persediaan global, lemahnya pertumbuhan permintaan, serta kapasitas produksi cadangan OPEC+ yang lebih besar.

Harga komoditas minyak mentah pada akhir pekan:

  • Harga Brent berjangka terperosok USD1,63 (-2,24 persen) menjadi USD71,06 per barel.
  • Harga WTI berjangka turun USD1,48 (-2,14 persen) menjadi USD67,67 per barel.

Emas, komoditas berharga lainnya, juga mencatat penurunan di bursa berjangka COMEX New York Mercantile Exchange pada akhir pekan lalu. Penurunan ini terjadi akibat ketidakpastian pasar setelah rilis data pekerjaan AS yang beragam, menambah spekulasi terkait skala pemotongan suku bunga The Fed.

Data non-farm payrolls AS hanya naik sebesar 142.000 pada Agustus, lebih rendah dari prediksi 160.000. Angka Juli juga direvisi turun menjadi 89.000. Meski demikian, tingkat pengangguran turun menjadi 4,2 persen, sesuai dengan ekspektasi pasar.

Para pejabat The Fed, seperti John Williams, Presiden The Fed New York, dan Christopher Waller, Gubernur The Fed, menyebut bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mulai mempertimbangkan penurunan suku bunga guna menyeimbangkan pasar tenaga kerja. Namun, ketidakpastian masih membayangi keputusan mereka.

Harga emas dan logam mulia lainnya pada akhir pekan:

  • Harga emas di pasar spot merosot 0,8 persen menjadi USD2.495,86 per ounce.
  • Harga emas berjangka AS turun 0,7 persen menjadi USD2.524,60 per ounce.
  • Perak spot turun 3,1 persen menjadi USD27,92 per ounce.
  • Platinum turun tipis 0,4 perse menjadi USD920,55 per ounce.
  • Paladium anjlok 3,1 persen ke level USD913,00 per ounce.

Penurunan harga komoditas ini menunjukkan adanya kekhawatiran di pasar global, di mana pelemahan data ekonomi AS turut memengaruhi proyeksi pertumbuhan dan permintaan komoditas ke depannya.(*)