KABARBURSA.COM – Pinjaman online (pinjol) tetap menjadi pilihan utama bagi banyak orang. Hal ini terlihat dari jumlah dana yang disalurkan.
Hingga akhir Juli 2024, nilai outstanding pinjaman dari layanan financial technology peer-to-peer lending (fintech P2P lending) atau pinjaman online terus meningkat.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai outstanding pinjaman yang disalurkan oleh pinjol mencapai Rp69,39 triliun pada akhir Juli 2024.
Pertumbuhan nilai pinjaman ini meningkat sebesar 23,97 persen secara tahunan (year on year/yoy), meskipun pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan pertumbuhan pada Juni 2024 yang mencapai 26,73 persen yoy.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, mengungkapkan bahwa pada industri fintech peer-to-peer lending, outstanding pembiayaan di bulan Juli mencapai nominal Rp63,39 triliun.
Selain pinjol, OJK juga melaporkan pertumbuhan pesat dalam pembiayaan melalui layanan beli sekarang bayar nanti atau buy now pay later (BNPL) hingga Juli 2024. Agusman mencatat bahwa nilai pembiayaan melalui BNPL oleh perusahaan pembiayaan telah mencapai Rp7,81 triliun, meningkat sebesar 73,55 persen secara tahunan pada Juli 2024, yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 47,81 persen.
Agusman juga menyebutkan bahwa pertumbuhan dalam pembiayaan-pembiayaan ini diikuti dengan perbaikan kualitas pembiayaan, terlihat dari penurunan tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) dan rasio pembiayaan macet (NPF).
OJK mencatat tingkat TWP90 pinjol turun menjadi 2,53 persen dari 2,79 persen pada bulan Juni, sementara tingkat NPF gross BNPL turun menjadi 2,82 persen dari 3,07 persen pada Juni.
“Ini menunjukkan bahwa kondisi kualitas pendanaannya semakin membaik,” kata Agusman.
Dalam hal demografi, generasi milenial dan generasi Z (usia 19-34 tahun) menyumbang 37,17 persen dari total TWP90.
Untuk mengurangi risiko pembiayaan macet, Agusman mengatakan bahwa OJK baru-baru ini meminta penyelenggara P2P lending untuk menambahkan pernyataan peringatan di laman utama website atau aplikasi mereka.
Peringatan tersebut berbunyi: “Peringatan hati-hati, transaksi ini berisiko tinggi. Anda bisa mengalami kerugian atau kehilangan uang jika tidak mampu membayar. Pertimbangkan secara bijak sebelum bertransaksi.”
Agusman berharap pendekatan ini akan membantu generasi Z, milenial, dan semua pengguna P2P Lending untuk lebih sadar akan risiko yang mungkin mereka hadapi.
Pinjol dan Kripto Setor Pajak Rp26,75 Triliun
Sementara itu, pemerintah Indonesia mencatatkan penerimaan dari sektor ekonomi digital mencapai Rp26,75 triliun hingga 31 Juli 2024.
Angka ini mencakup pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), pajak kripto, pajak fintech (P2P lending), serta pajak yang dipungut oleh pihak ketiga atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP).
“PPN PMSE mencapai Rp21,47 triliun, pajak kripto sebesar Rp838,56 miliar, pajak fintech mencapai Rp2,27 triliun, dan pajak SIPP sebesar Rp2,18 triliun,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti, Kamis, 8 Agustus 2024.
Hingga Juli 2024, pemerintah telah menunjuk 174 pelaku usaha PMSE sebagai pemungut PPN khusus untuk sektor ini. Angka tersebut mencakup dua penunjukan baru dan empat pembetulan atau perubahan data pemungut PPN PMSE.
Penunjukan pada Juli 2024 yaitu PT Final Impian Niaga dan Niantic International Ltd. Sementara pembetulan kepada Elsevier B.V, Lexisnexis Risk Solutions FL Inc., EZVIZ International Limited, dan DeepL SE.
Dari keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk, 163 PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE sebesar Rp21,47 triliun. Jumlah tersebut berasal dari Rp731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp3,90 triliun setoran di 2021, Rp5,51 triliun setoran di 2022, Rp6,76 triliun setoran di 2023 dan Rp4,57 triliun setoran 2024.
“Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia,” ujar Dwi.
Sementara itu, penerimaan pajak kripto yang terkumpul Rp838,56 miliar sampai Juli 2024 berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan 2022, Rp220,83 miliar penerimaan 2023 dan Rp371,28 miliar penerimaan 2024.
Penerimaan tersebut terdiri dari Rp394,19 miliar penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp444,37 miliar penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger.
Pajak fintech yang telah menyumbang penerimaan pajak Rp2,27 triliun sampai Juli 2024 berasal dari Rp446,39 miliar penerimaan tahun 2022, Rp1,11 triliun penerimaan tahun 2023 dan Rp712,53 miliar penerimaan tahun 2024.
Pajak fintech tersebut terdiri atas PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT sebesar Rp747,93 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WPLN sebesar Rp281,28 miliar dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp1,24 triliun.
Penerimaan pajak atas usaha ekonomi digital lainnya berasal dari penerimaan pajak SIPP. Hingga Juli 2024, penerimaan dari pajak SIPP sebesar Rp2,18 triliun yang berasal dari Rp402,38 miliar penerimaan tahun 2022, Rp1,12 triliun penerimaan tahun 2023 dan Rp656,37 miliar penerimaan tahun 2024. Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh Rp149,7 miliar dan PPN sebesar Rp2,03 triliun.
“Pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah,” ucapnya. (*)