Scroll untuk baca artikel
Makro

RAPBN 2025 Tersandera Belanja Pusat, Prioritas Pembangunan Kabur

×

RAPBN 2025 Tersandera Belanja Pusat, Prioritas Pembangunan Kabur

Sebarkan artikel ini
RAPBN 2025
Konferensi pers RAPBN 2025. Foto: Int

KABARBURSA.COM – Arah pembangunan dalam Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025 dinilai semakin kabur. Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamudin Daeng, menilai prioritas pembangunan dalam RAPBN 2025 masih belum jelas karena tersandera oleh belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah yang meningkat signifikan.

“Sebagian besar anggaran habis untuk belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah, dan belanja subsidi,” kata Salamudin saat dihubungi KabarBursa, Minggu, 8 September 2024.

Dalam RAPBN 2025, pemerintah mengalokasikan belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.693,2 triliun, meningkat dari Rp2.558,2 triliun pada tahun sebelumnya. Alokasi ini terdiri dari belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp976,8 triliun dan belanja non-K/L sebesar Rp1.716,4 triliun. Peningkatan anggaran ini diharapkan dapat mendukung berbagai program prioritas pemerintah, meskipun belanja untuk kementerian/lembaga justru mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp1.198,8 triliun.

Sementara itu, transfer ke daerah dalam RAPBN 2025 dipatok sebesar Rp919,9 triliun, naik dari Rp854 triliun pada 2024. Peningkatan ini mencakup beberapa komponen utama, seperti Dana Bagi Hasil yang meningkat signifikan dari Rp143,1 triliun menjadi Rp192,3 triliun. Begitu pula dengan Dana Alokasi Umum (DAU) yang naik dari Rp427,7 triliun menjadi Rp446,6 triliun. Namun, beberapa pos anggaran mengalami penurunan, seperti Dana Otonomi Khusus yang turun dari Rp18,3 triliun menjadi Rp 17,5 triliun, serta Dana Insentif Fiskal yang turun dari Rp7,8 triliun menjadi Rp6,0 triliun.

Kemudian peningkatan transfer ke daerah ini juga terlihat dari Dana Desa yang dipatok pada angka Rp71,0 triliun, sedikit meningkat dari Rp70,9 triliun di tahun sebelumnya. Meski demikian, efektivitas penggunaan dana ini masih menjadi sorotan, terutama terkait dengan kapasitas daerah dalam mengelola anggaran untuk program pembangunan yang produktif.

Secara keseluruhan, belanja negara dalam RAPBN 2025 diproyeksikan mencapai Rp3.613,1 triliun, naik dari Rp3.412,2 triliun pada 2024. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah adalah menekan defisit anggaran, yang diperkirakan mencapai Rp616,2 triliun atau sekitar 2,53 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Salamudin mengatakan besarnya anggaran untuk belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah ini menunjukkan prioritas pembangunan telah tersandera. Hal ini, kata dia, berbeda dengan era Orde Baru atau Orba ketika tujuan pembangunan sangat spesifik, seperti pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan stabilitas ekonomi-politik.

“Dulu, kita punya tujuan pembangunan yang jelas. Sekarang kita baca di APBN (2025), tidak ada lagi tujuan yang jelas seperti itu,” katanya.

Dalam buku Perekonomian Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya, Andi Ika Fahrika dan Zulkifli mencatat pembangunan ekonomi Indonesia pada era Orde Baru menunjukkan kemajuan signifikan. Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata tahunan yang tinggi. Pada masa ini, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan periode sebelumnya, yakni masa Orde Lama.

Pada awal Repelita I (1969), Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tercatat sebesar Rp2,7 triliun pada harga berlaku atau Rp4,8 triliun pada harga konstan. Pada 1990, angka ini melonjak menjadi Rp188,5 triliun pada harga berlaku atau Rp112,4 triliun pada harga konstan. Rata-rata pertumbuhan PDB per tahun selama periode 1969 hingga 1990 tercatat di atas 7 persen, menandakan pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Keberhasilan pembangunan ekonomi ini didukung oleh strategi pembangunan yang solid dan kebijakan ekonomi yang mengutamakan stabilitas. Faktor-faktor lain yang turut mendorong pertumbuhan adalah ekspor minyak yang besar pada periode oil boom, serta peran penting investasi asing langsung (PMA) sejak dekade 1980-an.

Sementara itu, dalam Nota Keuangan RAPBN 2025, sebenarnya juga menggarisbawahi beberapa prioritas pembangunan yang sejalan dengan upaya mencapai transformasi ekonomi. Salah satu prioritas utama adalah pembangunan infrastruktur. Pemerintah menargetkan peningkatan konektivitas, pembangunan infrastruktur energi, digitalisasi, dan dukungan terhadap ketahanan pangan.

“Pembangunan infrastruktur dasar akan meningkatkan daya saing nasional serta mengurangi kesenjangan antarwilayah,” tulis laporan pemerintah dalam Buku Nota Keuangan RAPBN 2025.

Meski begitu, Salamudin menekankan pentingnya memprioritaskan anggaran untuk program-program yang secara langsung dapat menggerakkan perekonomian, seperti industri, pertanian, dan sektor jasa. Jika prioritasnya adalah pemerataan pembangunan, anggaran harus lebih banyak dialokasikan kepada masyarakat, terutama yang berada di lapisan terbawah dan terjauh. “Masyarakat tidak memiliki potensi belanja besar (dalam RAPBN 2025) karena tidak mendapatkan aliran yang kuat dari sirkulasi anggaran APBN,” katanya.

Lagi pula, kata Salamudin, dalam APBN 2025, ruang fiskal untuk pembangunan sudah sangat kecil. “Hanya tersisa kurang dari 5 persen yang dapat dialokasikan secara terbuka untuk percepatan pembangunan,” ujarnya.

Bagi Salamudin, anggaran yang terbatas dan besarnya alokasi untuk belanja rutin membuat prioritas pembangunan seperti itu sulit tercapai. Dia juga mengatakan meski transfer ke daerah meningkat, efektivitas penggunaannya seringkali tidak optimal. Banyak dana yang dialokasikan justru habis untuk belanja rutin di tingkat daerah, bukan untuk program pembangunan yang bersifat produktif.(*)