KABARBURSA.COM – Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, menilai bahwa memasukkan skema power wheeling ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dapat menjadi beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa mendatang. Ia mengusulkan agar pemerintah dan DPR RI tidak memasukkan skema tersebut dalam RUU EBET.
Menurut Abra, skema power wheeling memungkinkan pembangkit listrik swasta menjual listrik energi terbarukan langsung kepada masyarakat dengan menyewa jaringan transmisi dan distribusi milik negara. Seperti keterangannya di Jakarta, Selasa 10 September 2024.
Hal ini berpotensi meningkatkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik karena karakteristik energi terbarukan yang bersifat intermiten, sehingga memerlukan cadangan putar (spinning reserve) untuk menjaga keandalan sistem kelistrikan.
Abra memperkirakan bahwa setiap masuknya 1 gigawatt (GW) pembangkit melalui skema power wheeling dapat mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 triliun, yang mencakup biaya take or pay dan backup cost. Tambahan beban ini akan membebani keuangan negara dan berdampak pada APBN di periode mendatang.
Ia juga menekankan bahwa pemerintah sebenarnya telah memberikan peluang bagi swasta untuk berpartisipasi dalam pengembangan energi baru dan terbarukan melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, di mana porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW dari target tambahan pembangkit EBT sebesar 20,9 GW.
Abra mengingatkan pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, untuk waspada terhadap risiko finansial yang ditimbulkan oleh implementasi skema power wheeling. Ia menyarankan agar fokus pengembangan EBT tetap melalui mekanisme yang telah ada tanpa perlu menambahkan skema yang berpotensi membebani keuangan negara.
Ia menegaskan bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam pembahasan RUU EBET yang memuat pasal tentang power wheeling, karena risiko terbesarnya adalah membebani keuangan negara yang dapat berdampak langsung pada pembangunan dan masyarakat berpenghasilan rendah.
MK Sudah Tolak Klausul
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bachtiar, menyatakan bahwa skema power wheeling tidak layak dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Bisman mengungkapkan bahwa ada sejumlah hal dalam RUU EBET yang berpotensi memberikan dampak negatif bagi negara dan masyarakat, terutama karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
“Pasal 33 menegaskan bahwa sektor ketenagalistrikan masih dianggap sebagai salah satu cabang produksi yang dikuasai negara. Mahkamah Konstitusi (MK) pun sudah menolak klausul power wheeling yang pernah masuk dalam UU No. 20/2002 karena bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Bisman.
UU No. 20/2002 dianggap telah mereduksi makna ‘dikuasai oleh negara’ dalam cabang-cabang produksi penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945. Oleh karena itu, Bisman menegaskan bahwa usaha ketenagalistrikan harus dikuasai negara, mulai dari pengelolaan, pengaturan, pengambilan kebijakan, pengurusan hingga pengawasan.
Lebih lanjut, Bisman menekankan bahwa Pemerintah dan DPR harus menjamin bahwa prinsip-prinsip bernegara menjadi pegangan utama dalam pembahasan RUU EBET. “DPR dan pemerintah harus menjamin asas-asas transparansi keterbukaan, demokrasi, partisipasi publik, serta berjalannya proses pembentukan UU EBET,” kata Bisman.
Ia juga mengkritisi proses penyusunan yang dinilai tidak transparan, menyatakan bahwa paparan ke publik, penerimaan masukan hingga pembahasan harus dilakukan secara terbuka. “Bukan di hotel-hotel secara tertutup,” tambahnya.
Bisman memperingatkan bahwa kurangnya transparansi dalam penyusunan RUU EBET membuka jalan bagi skema power wheeling untuk menyusup, yang berpotensi membawa kembali sistem pengusahaan unbundling. Sistem ini mengarah pada privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi ketenagalistrikan.
“Power wheeling tidak bisa diterapkan dalam RUU EBET. Pengaturan power wheeling dalam RUU ini merupakan pintu masuk untuk kembali ke sistem pengusahaan unbundling yang akan mengarah pada privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi ketenagalistrikan,” tegas Bisman.
Adopsi Energi Terbarukan
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pengaturan skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) akan mempercepat pengembangan dan adopsi energi terbarukan di Indonesia.
“Hal ini pada akhirnya berkontribusi terhadap tercapainya target bauran energi terbarukan dan net zero emission (NZE) atau netral karbon pada 2060 atau lebih awal,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis 11 Juli 2024.
IESR memandang aturan power wheeling untuk energi terbarukan dalam RUU EBET perlu didukung oleh para pembuat kebijakan. Aturan ini dapat meningkatkan keandalan pasokan listrik, efisiensi biaya operasional, serta mendorong perluasan jaringan listrik.
Selain itu, aturan ini memungkinkan kerja sama antara wilayah usaha, dan aplikasi teknologi energi terbarukan yang lebih luas untuk mendukung dekarbonisasi sektor industri dan transportasi. Aturan ini juga mengurangi beban PLN dalam membeli listrik dari pengembang.
Fabby menjelaskan bahwa skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik bukan hal baru. Skema ini sudah diatur sebelumnya dalam UU Ketenagalistrikan namun belum dijalankan.
Fabby juga mengatakan bahwa power wheeling merupakan keniscayaan dengan struktur pasar kelistrikan Indonesia saat ini, yaitu regulated vertical integrated atau dioperasikan oleh perusahaan tunggal dan di bawah pengawasan pemerintah.(*)