KABARBURSA.COM – Harga minyak kelapa sawit (CPO) berjangka Malaysia melemah pada Selasa, 10 September 2024, setelah laporan menunjukkan lonjakan stok yang melebihi ekspektasi. Berdasarkan data dari Malaysian Palm Oil Board (MPOB), persediaan CPO Malaysia pada akhir Agustus naik 7,34 persen dibandingkan bulan sebelumnya, mencapai 1,88 juta metrik ton, level tertinggi dalam enam bulan.
Pada sesi perdagangan Bursa Malaysia Derivatives Exchange, kontrak patokan CPO untuk pengiriman November turun 15 ringgit, atau 0,39 persen, menjadi 3.880 ringgit (USD 890,52) per metrik ton. Penurunan ini dipengaruhi oleh kenaikan produksi CPO sebesar 2,87 persen menjadi 1,89 juta ton, sementara ekspor justru anjlok 9,74 persen menjadi 1,53 juta ton.
Survei Reuters sebelumnya memperkirakan persediaan akan mencapai 1,86 juta ton dengan produksi 1,89 juta ton dan ekspor 1,5 juta ton, yang sejalan dengan data MPOB.
Analis teknikal dari Reuters Wang Tao, memperkirakan bahwa harga minyak kelapa sawit dapat menguji ulang level support di 3.856 ringgit per ton. Jika harga menembus di bawah level tersebut, penurunan lebih lanjut menuju 3.833 ringgit bisa terjadi.
Selain itu, penurunan harga minyak mentah berjangka akibat perlambatan permintaan dari China dan potensi kelebihan pasokan minyak global memberikan tekanan tambahan pada pasar CPO. Penurunan harga minyak mentah membuat CPO menjadi kurang menarik sebagai bahan baku untuk produksi biodiesel, sehingga menambah tekanan pada harga CPO di pasar global.
CPO RI untuk Domestik
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa pemerintah, melalui Kementerian Pertanian, sedang mengeksplorasi kemungkinan untuk mengalihkan antara 3 hingga 5 juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang biasanya diekspor ke Eropa, untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menjelaskan bahwa langkah ini terutama untuk mendukung program biodiesel B50, yakni campuran solar dengan 50 persen bahan bakar nabati.
Menurut Edi, langkah ini sejalan dengan upaya Uni Eropa yang berusaha membatasi impor CPO dari Indonesia.
“Selisih antara 3 hingga 5 juta ton CPO yang biasa kita ekspor ke Eropa dapat dialihkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, seperti yang disarankan Presiden Terpilih Prabowo Subianto; jika Eropa enggan membeli, kita akan manfaatkan untuk kepentingan domestik, salah satunya untuk program B50,” ujar Edi dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Senin 9 September 2024.
Selain rencana alih guna dalam negeri, Edi juga membuka kemungkinan bahwa CPO yang tidak diekspor ke Eropa dapat dijual ke negara-negara lain. Namun, gagasan ini masih dalam tahap kajian lebih lanjut.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, mencatat bahwa dalam pelaksanaan B50 dan bahkan B60, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, termasuk insentif.
“Konsep Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, adalah meningkatkan pungutan ekspor untuk mendapatkan insentif. Dengan menunda pengiriman CPO ke Eropa, kita bisa meningkatkan harga jual ke negara lain dan memperbesar pungutan ekspor,” jelas Eniya.
Namun, Eniya menegaskan bahwa hal ini masih dalam kajian untuk menilai aspek keekonomian. Tiga pertimbangan utama lainnya adalah aspek teknis, infrastruktur, dan penyediaan bahan baku. Pemerintah berencana menyelesaikan kajian spesifikasi B50 pada Oktober 2024.
Peningkatan infrastruktur yang melibatkan badan usaha bahan bakar nabati (BBN) dan bahan bakar minyak (BBM) juga memerlukan waktu dan investasi. Selain itu, Eniya menyoroti perlunya peningkatan produksi BBN melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dari Kementan.
Menurut laporan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), total ekspor CPO meningkat menjadi 3,38 juta ton pada Juni 2024 dari 1,96 juta ton pada Mei. Kenaikan signifikan terlihat pada produk olahan CPO, yang melonjak 872 ribu ton dari 1,36 juta ton menjadi 2,23 juta ton pada Juni, sementara ekspor CPO mentah naik 578 ribu ton menjadi 651 ribu ton.
Kenaikan volume ekspor ini diiringi dengan peningkatan harga dari USD981/ton pada Mei menjadi USD1.011/ton pada Juni, sehingga nilai ekspor melonjak menjadi USD2,79 miliar pada Juni dari sebelumnya USD1,72 miliar pada Mei.