Scroll untuk baca artikel
Makro

Kelas Menengah Runtuh, Pangsa Kerja Beralih ke Sektor Penghasilan Rendah

×

Kelas Menengah Runtuh, Pangsa Kerja Beralih ke Sektor Penghasilan Rendah

Sebarkan artikel ini
Kelas Menengah
Ketika dunia baru saja mulai melupakan dampak pandemi COVID-19, sejumlah tantangan baru muncul menghadang perekonomian global pada 2025. (Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji).

KABARBURSA.COM -Next Policy merilis hasil penelitian tentang musabab penurunan kelas menengah di Indonesia. Menurut studi lembaga penelitian ekonomi ini, runtuhnya kelas menengah sangat terkait dengan menurunnya peran sektor formal sebagai sumber penghidupan. Next Policy menilai kelas menengah sangat bergantung pada sektor formal sebagai penyedia lapangan kerja.

Dalam rentang waktu tahun 2018 hingga 2023, studi Next Policy mengungkap rata-rata pangsa pekerja miskin status sebagai karyawan, pegawai, dan buruh sebesar 31,8 persen. Sementara angka untuk kelas rentan miskin 37,6 persen, calon kelas menengah 43,7 persen, kelas menengah 54,7 persen, dan kelas atas 61,0 persen.

Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, mengatakan sektor formal memberikan tingkat upah yang lebih tinggi dan jaminan kerja yang lebih baik dibandingkan sektor informal. Menurutnya, kelas menengah memiliki ketergantungan yang tinggi pada sektor formal, terutama perusahaan besar dan menengah, sebagai penyedia lapangan kerja dengan tingkat penghasilan yang tinggi.

Pada Maret 2018, Next Policy mencatat ada sebanyak 55,8 persen dari pekerja kelas menengah memiliki status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh. Sementara pada Maret 2023, angka tersebut anjlok menjadi 52,8 persen. Yusuf menilai, kejatuhan sektor formal terjadi seiring disrupsi yang marak di industri manufaktur.

“Kejatuhan sektor formal-modern dalam tahun-tahun terakhir, terutama industri manufaktur yang banyak mengalami disrupsi usaha, penurunan omset dan penerimaan, krisis likuiditas, hingga penutupan usaha secara permanen, telah memukul kelas menengah dengan keras,” kata Yusuf dalam studinya, dikutip Sabtu, 19 Oktober 2024.

Next Policy mencatat, jumlah pekerja kelas menengah dengan status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh anjlok dari 16,8 juta orang pada Maret 2018 menjadi tersisa 13,8 juta orang pada Maret 2023.

Seiring kejatuhan peran sektor formal dalam menyediakan lapangan kerja ini, Yusuf menyebut penduduk kelas menengah mengalami keruntuhan. Adapun penduduk kelas menengah dengan rentang usia 18-64 tahun turun dari 30,2 juta orang pada Maret 2018 menjadi 26,1 juta orang pada Maret 2023.

Meski demikian, Yusuf menilai turunnya peran sektor formal sebagai penyedia lapangan kerja yang berkualitas bagi kelas menengah tidak selalu dalam bentuk pemutusan hubungan kerja. Adapun jatuhnya peran sektor formal dan runtuhnya kelas menengah terjadi seiring anjloknya daya beli dan konsumsi kelas menengah karena beralihnya pangsa kerja.

“Jatuhnya daya beli dan konsumsi kelas menengah lebih banyak disebabkan oleh beralihnya pekerja kelas menengah ke pekerjaan baru dengan penghasilan yang lebih rendah, yang pada gilirannya membuat mereka turun kelas ke kelas ekonomi yang lebih rendah,” ungkapnya.

Berdasarkan studinya, Yusuf menuturkan, pada Maret 2018-Maret 2023 jumlah pekerja kelas menengah dengan status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh, turun signifikan dari 16,8 juta orang menjadi 13,8 juta orang.

Di waktu yang sama, jumlah pekerja calon kelas menengah dengan status pekerjaan sebagai karyawan, pegawai, dan buruh, melonjak drastis dari 24,4 juta orang menjadi 28,6 juta orang.

“Dengan kata lain, pekerja kelas menengah tetap bekerja sebagai karyawan, pegawai, buruh namun upahnya mengalami penurunan, atau mereka beralih ke pekerjaan baru di perusahaan lain dengan tingkat upah yang lebih rendah,” jelasnya.

Terjadi sebelum Pandemi

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, sebelumnya mengungkapkan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir setelah pandemi Covid-19. Pada 2019, tercatat ada 57,33 juta orang yang tergolong kelas menengah.

Namun, jumlah tersebut menyusut menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Dengan demikian, sekitar 9,48 juta orang keluar dari kategori kelas menengah dan jatuh ke kelompok pendapatan yang lebih rendah.

Amalia Adininggar Widyasanti menyebut penurunan jumlah penduduk kelas menengah sebagai dampak jangka panjang atau scarring effect dari pandemi Covid-19. “Pada 2021, jumlah kelas menengah mencapai 53,83 juta orang dengan proporsi 19,82 persen. Sementara pada 2024, jumlahnya turun menjadi 47,85 juta dengan proporsi 17,13 persen,” kata Amalia dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu, 28 Agustus 2024, lalu.

Penurunan ini diiringi oleh peningkatan jumlah penduduk yang termasuk dalam kategori aspiring middle class, atau kelompok yang sedang menuju kelas menengah. Kelompok ini berada di antara kelas rentan miskin dan kelas menengah. Berdasarkan data BPS, pada 2024 terdapat 137,5 juta orang atau 49,22 persen dari total penduduk yang masuk dalam kategori tersebut.

Namun, penelitian Next Policy justru menemukan kelas menengah turun sejak sebelum pagebluk melanda. Berdasarkan studinya, Nexy Policy menemukan jumlah penduduk kelas menengah terus merosot sejak 5 tahun terakhir atau dua tahun sebelum Covid-19. Kelompok yang mestinya terbebas dari rantai kemiskinan dengan ketahanan ekonomi yang tinggi, malah mengalami keruntuhan.

“Dalam 5 tahun terakhir, kelas menengah menjadi satu-satunya kelompok yang mengalami kejatuhan, turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah,” kata Yusuf.

Dia menuturkan, pada Maret 2018 – Maret 2020, jumlah kelas menengah menyusut hingga 2,8 juta orang (1,55 persen). Sementara pada saat pandemi, Maret 2020-Maret 2023, jumlah kelas menengah menyusut hingga 5,9 juta orang (2,64 persen).

Yusuf mengatakan jatuhnya 8,7 juta masyarakat sejahtera ke kelas ekonomi yang lebih rendah dalam 5 tahun terakhir secara jelas mengindikasikan kerapuhan kelas menengah.

“Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, tantangan terbesar kita kini tidak hanya penanggulangan kemiskinan namun juga mengembangkan kelas menengah. Kelas menengah yang kuat dan dengan ukuran yang semakin besar adalah krusial bagi Indonesia menuju status negara berpendapatan tinggi,” kata Yusuf.(*)