KABARBURSA.COM – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan (year on year/yoy) mencapai 5,1 persen pada 2024.
Angka tersebut masih di bawah target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam APBN 2024 sebesar 5,2 persen yoy.
“Perekonomian Indonesia tahun 2024 diprakirakan tumbuh 5,1 persen yoy,” kata Sri Mulyani dalam acara konferensi pers KSSK di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2024.
Meski begitu, Sri Mulyani memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap menunjukkan performa baik di tengah dinamika risiko global.
Menurut mantan Direktur Bank Dunia (World Bank) ini, perekonomian Indonesia menjelang akhir tahun akan didorong oleh penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada November mendatang, yang diharapkan dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga.
“Peningkatan mobilitas masyarakat pada hari libur nasional, termasuk Hari Raya Natal dan Tahun Baru, diharapkan juga akan memberikan kontribusi positif bagi aktivitas konsumsi,” ujar Sri Mulyani.
Selain itu, kinerja sektor manufaktur dan perdagangan menjadi penopang utama pertumbuhan dari sisi produksi.
“Ini sejalan dengan daya beli masyarakat yang terjaga dengan stabilitas dan inflasi yang rendah, serta peningkatan aktivitas untuk meningkatkan nilai tambah dari output produksi,” jelasnya.
Sri Mulyani juga memprediksi bahwa perekonomian domestik pada Kuartal III-2024 akan tumbuh di atas 5 persen yoy, melanjutkan kinerja positif dari Kuartal II 2024 yang didorong oleh konsumsi rumah tangga dan investasi.
Sri Mulyani menyebutkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan tetap terjaga, terutama di kalangan kelas menengah ke atas, dan investasi juga terus meningkat seiring dengan selesainya berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Begitu juga dengan kinerja ekspor nonminyak dan gas (migas) diperkirakan akan meningkat, didorong oleh produk manufaktur dan pertambangan.
“Ke depan, peningkatan aktivitas perekonomian domestik diprakirakan berlanjut hingga akhir tahun 2024,” kata Sri Mulyani.
Di sisi lain, pemerintah akan berupaya mengarahkan kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat, stabilitas harga, serta berbagai Program Perlindungan Sosial (Perlinsos), yang menjadi penopang utama aktivitas ekonomi. Dia memprediksi bahwa untuk tahun 2025, perekonomian Indonesia akan tumbuh sebesar 5,2 persen yoy, didorong oleh permintaan domestik dan penguatan reformasi struktural yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas serta memperkuat struktur pertumbuhan ekonomi, termasuk sektor-sektor yang dapat menyerap tenaga kerja dan memiliki nilai tambah yang tinggi.
Perubahan Iklim dan Geopolitik
Meski ada optimisme terhadap potensi pertumbuhan ekonomi, Sri Mulyani pernah mengingatkan adanya tantangan besar yang harus dihadapi ke depan. Menurutnya, faktor seperti perubahan iklim, perkembangan teknologi, konflik geopolitik, dan ketidakpastian ekonomi global akibat inflasi, semuanya berpotensi menghambat laju pertumbuhan yang diharapkan.
“Dengan berbagai ancaman ini, bagaimana caranya kita bisa mencapai pertumbuhan 6 persen atau bahkan 7 persen,” kata Sri Mulyani.
Ia menekankan bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, Indonesia perlu melakukan reformasi struktural yang lebih terencana dan taktis. Ini mencakup pembangunan modal manusia dan infrastruktur yang harus lebih terperinci dan mudah dilaksanakan.
“Kita perlu meningkatkan daya saing industri hilirisasi di Indonesia. Reformasi struktural adalah kunci untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah,” ujarnya.
Seperti diketahui, salah satu poin utama dalam program 8 Asta Cita Prabowo-Gibran yaitu mendorong industri nasional melalui proses hilirisasi selama periode 2024-2029.
Direktur Program Indef Eisha Maghfiruha Rachbini sebelumnya mempertanyakan perihal program ini. Ia berujar apakah hilirisasi benar-benar dapat mengubah wajah ekonomi Indonesia yang masih bertumpu pada komoditas menjadi negara industri yang tangguh.
Menurut Eisha, meskipun hilirisasi mulai digencarkan di ranah kebijakan, faktanya masih kurang mendapat perhatian di ranah akademik internasional sebagai strategi kunci transformasi ekonomi.
“Hilirisasi sebetulnya jika dilihat pada academic paper di jurnal-jurnal internasional masih sedikit sekali atau kurang dipakai untuk melihat perubahan ekonomi suatu negara dari berbasis komoditas menjadi negara industri berbasi peran manufaktur yang tinggi,” kata Eisha dalam diskusi publik tentang ‘Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo’ Minggu, 22 September 2024.
Sebaliknya, istilah industrialisasi lebih sering dipakai untuk menggambarkan bagaimana negara-negara seperti Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat (AS) mampu mencapai status negara maju melalui industrialisasi besar-besaran.
“Istilah Industrialiasi lebih banya dipakai untuk mengukur satu negara yang masuk ke negara maju,” ujarnya.
Sayangnya, di Indonesia, industrialisasi seolah-olah hanya menjadi mimpi yang tertinggal di masa lalu.
Indonesia sebenarnya pernah menikmati masa keemasan industrialisasi pada era Orde Baru, di mana pertumbuhan industri manufaktur mencapai 8 hingga 9 persen setiap tahunnya antara 1989 hingga 1996.
Industri manufaktur kala itu menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, menyumbang hingga 25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Pada 1989 dari 19 persen terus meningkat menjadi 25 persen, industri manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu,” kata Eisha. (*)