Scroll untuk baca artikel
Makro

Kebijakan Anti-Dumping: Solusi atau Tantangan Baru Bagi Produk Lokal?

×

Kebijakan Anti-Dumping: Solusi atau Tantangan Baru Bagi Produk Lokal?

Sebarkan artikel ini
MGL5218 11zon
Aktifitas Peti Kemas di Tanjung Priok hari ini. foto: KabarBursa/abbas sandji

KABARBURSA.COM – Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menilai bahwa kebijakan bea masuk anti-dumping dapat menjadi langkah yang tepat untuk melindungi industri dalam negeri. 

Namun, ia juga mengingatkan bahwa Indonesia perlu lebih cerdas dalam menghadapi kebijakan dumping yang sering dilakukan oleh negara-negara seperti China.

Menurut Esther, China telah berhasil menggunakan strategi dumping dengan memberikan subsidi pada biaya logistik bagi produk-produk yang diekspor ke negara lain. 

“China, misalnya, memberikan subsidi logistik pada produk-produk mereka, sehingga harga produk mereka menjadi jauh lebih murah di pasar global,” ujarnya kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Sabtu, 19 Oktober 2024.

Selain itu, lanjutnya, biaya produksi di China yang lebih rendah juga menjadi salah satu faktor utama yang membuat harga produk impor dari negara tersebut jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan produk lokal. Oleh karena itu, Indonesia harus belajar dari strategi China untuk bisa bertahan di pasar global.

Indonesia Harus Cerdas Hadapi Persaingan

Esther menekankan pentingnya kebijakan yang lebih cerdas dari pemerintah Indonesia untuk bersaing di pasar global. Menurutnya, Indonesia sebaiknya tidak hanya mengandalkan kebijakan bea masuk anti-dumping, tetapi juga menekan biaya produksi dalam negeri agar harga produk lokal bisa lebih kompetitif.

“Indonesia harus smart seperti halnya China, yang bisa melakukan dumping policy tanpa terlalu banyak dipermasalahkan oleh WTO. Kita juga perlu menekan biaya produksi dalam negeri agar harga final produk bisa lebih murah dan bisa bersaing di pasar global,” jelasnya.

Dampak Kebijakan Anti-Dumping terhadap Harga Produk

Mengenai dampak kebijakan anti-dumping terhadap pasar dan harga produk di dalam negeri, Esther berpendapat bahwa kebijakan ini memang bisa membantu menjaga daya saing produk lokal. 

Namun, tanpa upaya untuk menekan biaya produksi, produk lokal akan tetap sulit bersaing, terutama jika produk impor dari negara seperti China terus mendapatkan subsidi.

“Jika kita tidak bisa menurunkan biaya produksi, kebijakan anti-dumping tidak akan terlalu berdampak. Produk impor yang mendapat subsidi tetap akan lebih murah dan sulit diimbangi oleh produk lokal,” tutup Esther.

Respon Pengusaha Positif

Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) merespons positif kebijakan bea masuk antidumping (BMAD) untuk impor  ubin keramik dari China.

Ketua Umum Asaki Edy Suyanto menilai hal itu sebagai bentuk perlindungan terhadap praktik perdagangan tidak adil. Namun, menurut dia, tarif BMAD yang ditetapkan, yaitu antara 35 persen hingga 50 persen, masih di bawah ekspektasi asosiasi.

“Kami menghargai keputusan ini, meskipun tarif BMAD yang diberlakukan masih di bawah harapan kami. Kami berharap bisa meniru negara-negara seperti Meksiko dan Amerika Serikat yang menerapkan tarif di atas 100 persen,” kata Edy.

Meski demikian, Edy optimistis kebijakan BMAD ini akan membantu membangkitkan kembali industri keramik nasional yang selama hampir satu dekade terakhir mengalami keterpurukan, menyebabkan beberapa pabrik tutup dan menurunkan tingkat utilisasi produksi.

Ia memperkirakan, penerapan BMAD bersama dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 36 Tahun 2024 tentang SNI Wajib, akan meningkatkan utilisasi produksi keramik nasional dari 63 persen menjadi 67-68 persen pada akhir 2024. Edy juga menargetkan tingkat utilisasi produksi akan mencapai 80 persen pada 2025 dan 90 persen pada 2026.

Saat ini, Indonesia berada di posisi keempat dunia dari segi kapasitas produksi keramik dengan 675 juta meter persegi per tahun, di bawah China, India, dan Brazil. Namun, secara produksi aktual, Indonesia masih di urutan kedelapan.

“Asaki menargetkan untuk masuk dalam lima besar produsen keramik dunia pada 2025 versi Ceramic World Review,” ujarnya.

Edy juga yakin bahwa penerapan BMAD, SNI Wajib, dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) akan menarik investasi baru, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk dari China. Hal ini diharapkan menciptakan lapangan kerja baru.

Selain itu, ia melihat peluang ekspansi industri keramik di Indonesia masih besar, mengingat konsumsi keramik per kapita di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, serta jauh tertinggal dari Vietnam dan China.

Dengan adanya kebijakan BMAD ini, Edy berharap industri keramik nasional dapat mendukung program pembangunan rumah rakyat sebanyak 3 juta unit per tahun yang diusung oleh pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, karena kebutuhan bahan bangunan seperti ubin keramik akan meningkat. 

Ia juga menekankan pentingnya perpanjangan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (safeguard) pada November mendatang untuk melengkapi kebijakan BMAD yang dinilai masih belum optimal.(*)