Scroll untuk baca artikel
Makro

Larangan Pakai Mobil Dinas Impor Jadi Angin Segar untuk Industri Otomotif

×

Larangan Pakai Mobil Dinas Impor Jadi Angin Segar untuk Industri Otomotif

Sebarkan artikel ini
MGL1026 11zon
Kepadatan arus lalulintas di Jalan Sudirman Senayan terlihat padat, Selasa (29/10/2024). Kepadatan ini terjadi setiap hari. Kabar Bursa/abbas sandji

KABARBURSA.COM –  Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto, menyambut baik instruksi Presiden Prabowo Subianto kepada jajaran Kabinet Merah Putih dan pejabat eselon I kementerian untuk tidak menggunakan mobil dinas impor. Prabowo meminta agar pejabat publik menggunakan mobil dinas produksi dalam negeri, khususnya yang diproduksi oleh PT Pindad.

Jongkie mengatakan mobil produksi dalam negeri memiliki kapasitas yang mumpuni untuk digunakan sebagai kendaraan dinas harian. “Kami menyambut baik arahan Presiden Prabowo utk menteri dan eselon I memakai mobil buatan dalam negeri. Kalau dari sektor swasta/sipil, ini (PT Pindad) merupakan pilihan dan kemampuannya masing-masing,” kata Jongkie saat dihubungi KabarBursa.com, Selasa, 29 Oktober 2024.

Jongkie sepakat arahan Prabowo kepada jajarannya itu menjadi katalis atau sentimen positif bagi ekosistem industri otomotif dalam negeri. Apalagi, ajakan ini menggaung di tengah lesunya penjualan mobil baru sepanjang 2024.

Data Gaikindo menunjukkan penjualan mobil baru dari pabrik ke diler (wholesales) pada semester I 2024 mengalami penurunan jumlah sekitar 19,4 persen menjadi 408.012 unit. Begitu juga dengan penjualan ritel yang turun 14 persen menjadi 431.987 unit. Dengan data tersebut, diketahui rata-rata penjualan bulanan sekitar 71.000 unit.

Menurut Jongkie arahan untuk menggunakan mobil buatan dalam negeri bisa dikonversi sebagai pemacu arah kebijakan dalam rangka mengembangkan industri otomotif Indonesia. Saat ini, kata dia, perkembangan industri otomotif dalam negeri sudah berada dalam arah yang tepat.

Selain itu, penggunaan kendaraan hasil produksi domestik pun harus sejalan dengan kebijakan Kementerian  Perindustrian yang mewajibkan 70 persen bahan baku mobil merupakan komponen dalam negeri.

Penjualan Mobil Menurun

Penjualan mobil secara nasional turun cukup signifikan pada September 2024. Jika sebelumnya penurunan penjualan hanya menimpa sebagian besar mobil Jepang dan Eropa, kini penurunan juga dialami oleh mobil buatan China.

“Kelesuan ekonomi global yang melanda pada tahun 2024 telah memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia, salah satunya terlihat dari melambatnya pertumbuhan industri otomotif di Indonesia saat ini,” kata Yannes kepada Kabarbursa.com, Senin, 21 Oktober 2024.

Menurut Yannes, kelesuan penjualan mobil secara nasional ditandai dengan ketidakpastian pasar dan penurunan daya beli konsumen global. Indonesia juga mengalami penurunan penjualan yang sama akibat kondisi ekonomi dan penurunan indeks kepercayaan konsumen yang sempat menguat beberapa waktu lalu.

“Kondisi ini, yang ditandai dengan ketidakpastian pasar dan penurunan daya beli konsumen global, berimbas pada penurunan permintaan akan produk-produk Indonesia, termasuk komponen otomotif yang menjadi salah satu tulang punggung industri manufaktur kita,” jelas dia.

Berdasarkan data Gaikindo, sepanjang September 2024 penjualan mobil hanya sebesar 72.667 unit atau turun sebesar 4,8 persen dibandingkan dengan bulan Agustus 2024 yang mencapai 76.304 unit. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, penjualan mobil turun lebih besar, yakni sebesar 9,1 persen.

Sementara penjualan mobil nasional secara kumulatif pada Januari-September 2024 mencapai 633.218 atau turun sebesar 16,2 persen. Sedangkan penjualan mobil nasional secara sales (dari dealer ke konsumen) pada bulan September 2024 tercatat sebesar 72.336 unit atau turun sebesar 5,8 persen dibanding bulan sebelumnya.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2023, penjualan mobil turun sebesar 10,6 persen. Pada bulan September 2023, penjualan mencapai 80.984 unit. Sementara untuk penjualan kumulatif periode Januari-September 2024 sebesar 657.223 unit atau turun sebesar 11,9 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Berdasarkan merek, penjualan mobil wholesales tertinggi pada September 2024 masih dikuasai oleh Grup Astra, dengan Toyota mencatat 25.454 unit dan Daihatsu 12.676 unit. Selanjutnya, posisi terlaris diikuti oleh Honda dengan 7.926 unit, Mitsubishi 5.824 unit, dan Suzuki 5.183 unit.

Jepang Ketinggalan, China Pimpin Otomotif Global

Turunnya penjualan mobil di Indonesia sepanjang 2024 ini menggarisbawahi tantangan yang tengah dihadapi industri otomotif, baik dalam skala lokal maupun global. Ketidakpastian ekonomi dan daya beli yang menurun menjadi faktor utama, tetapi tantangan lain juga hadir dalam bentuk pergeseran tren di pasar kendaraan global. Jika Indonesia berupaya menggenjot industri otomotif dalam negeri, termasuk melalui dukungan untuk produksi lokal seperti Maung Garuda, dinamika lain datang dari persaingan global yang kian ketat, khususnya dari Tiongkok dan Jepang.

Tapi, industri otomotif Jepang sudah lama menyadari bahwa mereka tertinggal, terutama di sektor kendaraan listrik. Meski begitu, langkah besar belum terlihat untuk mengejar ketertinggalan ini. Sementara itu, China tetap menjadi pemimpin global. Ekspor mobil China kini melebihi Jepang, yang selama ini dikenal sebagai eksportir otomotif terbesar. Asosiasi Produsen Otomotif Jepang (JAMA) pada awal tahun ini melaporkan bahwa sepanjang 2023, Jepang mengekspor 4,42 juta unit kendaraan. Namun, menurut Asosiasi Produsen Mobil China, ekspor Beijing mencapai 4,91 juta unit pada periode yang sama.

Tanda-tanda pergeseran ini sudah muncul bertahun-tahun lalu, saat kendaraan listrik mulai beredar di pasar. Banyak yang memperkirakan Jepang akan terdisrupsi jika terus bergantung pada kendaraan berbahan bakar minyak. Sekarang, kendaraan listrik semakin umum di jalan, membuat konsumen makin tertarik untuk beralih.

Salah satu hambatan bagi produsen Jepang adalah investasi besar mereka di pabrik kendaraan berbahan bakar minyak. Di Indonesia, misalnya, Jepang membangun pabrik di Karawang dan pelabuhan ekspor di Subang. Investasi ini semula diperkirakan mampu mendukung pasar jangka panjang. Namun, beradaptasi tidaklah mudah bagi Jepang. Produsen Korea Selatan lebih fleksibel dalam berinvestasi, tidak terbebani oleh infrastruktur lama. Begitu juga dengan industri otomotif China, yang sejak awal banyak memproduksi mobil listrik.

Disrupsi yang dihadapi Jepang ini mirip dengan revolusi digital beberapa tahun lalu. Pemain lama kewalahan menghadapi perubahan, dan banyak yang akhirnya tertinggal. Mereka yang cepat bertransformasi justru berhasil bertahan dan meraih pangsa pasar baru. Perusahaan besar memang sering kali terlambat berubah karena merasa pasar masih menguntungkan. Ketika akhirnya mereka bergerak, responsnya lamban. Meski pasar lama mulai melemah, banyak yang tetap enggan beralih dari model bisnis lama.(*)