Scroll untuk baca artikel
Makro

Petani Tembakau Hadapi Ancaman Ekonomi, APTI Serukan Perlindungan Pemerintah

×

Petani Tembakau Hadapi Ancaman Ekonomi, APTI Serukan Perlindungan Pemerintah

Sebarkan artikel ini
tembakau rokok
HARGA ROKOK - Kementerian Keuangan memastikan harga jual eceran (HJE) rokok konvensional dan rokok elektrik akan mengalami kenaikan mulai 2025. (Foto: Pixabay)

KABARBURSA.COM – Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk berkomitmen melindungi jutaan petani tembakau yang menghadapi ancaman global serta regulasi yang dinilai mengganggu stabilitas ekonomi mereka.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTI, Agus Parmuji menyebutkan bahwa saat ini industri hasil tembakau legal telah dikekang oleh lebih dari 480 peraturan ketat, mencakup regulasi fiskal dan nonfiskal, mulai dari peraturan daerah hingga undang-undang tingkat nasional.

Tidak hanya itu, Agus menyoroti hadirnya PP 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk komunitas pertembakauan.

“Padatnya regulasi yang membebani IHT legal nasional ini berdampak langsung pada keberlanjutan hidup jutaan petani tembakau yang bergantung pada industri rokok,” tegas Agus.

Ia menambahkan bahwa untuk menjaga kelangsungan hidup jutaan petani tembakau sebagai pilar ekonomi bangsa, APTI meminta Presiden agar Indonesia tidak mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Diterapkannya FCTC di Indonesia, kata Agus, berpotensi menghancurkan lapangan kerja bagi petani dan buruh tembakau, serta menekan pertumbuhan ekonomi nasional—berlawanan dengan Asta Cita yang menargetkan penyerapan jutaan tenaga kerja demi memacu perekonomian.

APTI juga mendesak agar Harga Jual Eceran (HJE) rokok tidak dinaikkan pada tahun 2025 dan agar PPN tidak ditingkatkan menjadi 12 persen untuk melindungi daya beli masyarakat yang tengah menurun.

Desakan ini, menurutnya, sejalan dengan program 100 Hari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, yang bertujuan memulihkan daya beli masyarakat yang merosot.

Selain itu, APTI mengusulkan agar tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2025 hingga 2027 tidak dinaikkan guna menjaga keberlanjutan pemulihan industri hasil tembakau legal.

Asosiasi juga menolak simplifikasi tarif cukai dan pengurangan disparitas antarlayer, sebab kebijakan ini hanya menguntungkan perusahaan rokok internasional yang menggunakan tembakau lokal dalam jumlah minim.

“Bila simplifikasi diterapkan, petani tembakau bisa menghadapi kiamat ekonomi,” tegas Agus.

Terakhir, APTI meminta aturan yang setara antara rokok elektronik dan rokok kretek, mengingat tarif cukai rokok elektronik yang lebih murah membuat produk lokal semakin tertekan.

Ancam Mata Pencarian

Para petani yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dan Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).

Mereka mengaku khawatir bahwa beberapa pasal dalam aturan tersebut dapat mengancam mata pencaharian jutaan petani dan mengurangi kontribusi industri tembakau terhadap perekonomian nasional dan daerah.

Sekjen Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTI Kusnasi Mudi menjelaskan bahwa luas perkebunan tembakau di Indonesia saat ini sekitar 191,8 ribu hektare, mengalami penurunan sekitar 4,38 persen atau 8,8 ribu hektare dari tahun 2021 yang mencapai 200,6 ribu hektare.

Kata dia, Jawa Timur memiliki perkebunan tembakau terluas di Indonesia dengan luas 90,6 ribu hektare, yang mewakili 47,23 persen dari total luas perkebunan tembakau nasional. Selanjutnya, Jawa Tengah memiliki 50.000 hektare, NTB 34,3 ribu hektare, dan Jawa Tengah 8.000 hektare.

Dengan luas lahan tersebut, banyak orang bergantung pada sektor ini untuk mencari nafkah.

Kusnasi khawatir bahwa RPMK dan PP Nomor 28 Tahun 2024 dapat mengganggu sektor hilir industri hasil tembakau (IHT), yang pada akhirnya akan berdampak pada kesejahteraan petani.

“Meskipun tidak ada aturan yang langsung mengganggu sektor hulu, dampak pada sektor hilir tentu akan berimbas pada hulu. Penurunan daya beli atau konsumsi rokok akan mempengaruhi penyerapan hasil pertanian kita,” ujar Kusnasi, 12 September 2024.

Dampak Langsung Pendapatan Petani

Dia juga menegaskan bahwa RPMK dan PP Nomor 28 Tahun 2024 mengabaikan pentingnya tembakau sebagai komoditas strategis.

“Ada 2,5 juta petani tembakau yang akan terdampak oleh peraturan ini,” ujarnya.

Dia menambahkan, tembakau adalah satu-satunya komoditas yang dapat tumbuh saat kemarau, sehingga peraturan yang memberatkan sektor IHT akan berdampak langsung pada pendapatan petani.

Sementara itu, Sekjen APCI I Ketut Budhyman Mudara mengatakan bahwa PP Nomor 28 Tahun 2024 dan RPMK berpotensi mengancam posisi Indonesia sebagai eksportir cengkeh terbesar di dunia.

“Petani cengkeh Indonesia menghasilkan sekitar 24,45 ribu ton, menyumbang 32,18 persen dari total volume ekspor cengkeh dunia. Sekitar 97 persen hasil produksi cengkeh diserap oleh industri rokok kretek. Tanaman cengkeh hampir sepenuhnya dikelola oleh petani kecil,” ucap Budhyman.

Direktur Tanaman Semusim dan Tahunan Kementerian Pertanian (Kementan) Rizal Ismail menjelaskan bahwa PP Nomor 28 Tahun 2024 tidak secara langsung membatasi para petani tembakau karena aturan ini lebih fokus pada sektor hilir seperti zonasi penjualan rokok.

Namun, dia mengakui bahwa gangguan pada sektor hilir bisa mempengaruhi sektor hulu.

“Jika sektor hilir terganggu, penyerapan komoditas dari hulu juga akan terdampak,” jelasnya.

Rizal juga mencatat bahwa pembatasan regulasi dapat menyebabkan penurunan pendapatan negara dan munculnya produk tembakau ilegal yang sulit dikontrol kualitasnya.(*)