Scroll untuk baca artikel
Makro

Food Estate vs Sawah di Jawa, Mana yang Lebih Efektif untuk Swasembada Pangan?

×

Food Estate vs Sawah di Jawa, Mana yang Lebih Efektif untuk Swasembada Pangan?

Sebarkan artikel ini
IMG 0553
SWASEMBADA PANGAN - Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp139,4 triliun untuk mencapai swasembada pangan. (Foto: Istimewa)

KABARBURSA.COM – Di tengah gencarnya kebijakan swasembada pangan, Indonesia justru dihadapkan pada ancaman menjadi importir beras terbesar di dunia. Program food estate yang diharapkan menjadi solusi utama, malah menuai kritik. Alih fungsi lahan sawah di Jawa semakin masif, dan ketergantungan pada impor kian meningkat. Lalu, benarkah food estate adalah jawaban untuk mencapai swasembada pangan atau justru menjadi ancaman baru bagi ketahanan pangan kita?

Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, mengatakan kebijakan swasembada pangan Presiden Prabowo yang mengandalkan food estate sebagai solusi utama salah arah. Ia menilai langkah ini mengalihkan perhatian dari masalah utama yang justru lebih mendasar, yaitu alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi di Jawa. Menurut Yusuf, menjaga lahan sawah yang tersisa di Jawa jauh lebih efektif untuk memastikan swasembada pangan di masa depan.

“Kebijakan membuka lahan sawah baru di luar Jawa, termasuk food estate, sebagai kompensasi atas hilangnya sawah di Jawa, adalah kebijakan yang salah arah, mahal, dan berisiko sangat tinggi untuk ketahanan pangan kita,” kata Yusuf kepada KabarBursa.com, Selasa, 29 Oktober 2024.

Yusuf mengimbuhkan, mempertahankan lahan sawah di Jawa dan mendorong usaha pertanian berbasis keluarga jauh lebih penting daripada mengandalkan food estate yang berpotensi gagal dan memiliki biaya tinggi.

Data Next Policy menunjukkan konversi lahan sawah di Jawa semakin masif, termasuk akibat proyek strategis nasional (PSN). Hal ini terlihat dari luas lahan panen padi yang konsisten menurun dalam enam tahun terakhir, dari 11,38 juta hektar pada 2018 menjadi 10,21 juta hektar pada 2023, penurunan sebesar lebih dari 10 persen.

Penetapan lahan sawah yang dilindungi (LSD) juga menunjukkan indikasi konversi lahan di delapan provinsi sentra beras, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pada 2019, luas lahan baku sawah (LBS) di delapan provinsi tersebut sekitar 3,97 juta hektar, tetapi pada 2021 hanya tersisa 3,84 juta hektar, mengindikasikan sekitar 136 ribu hektar sawah telah berubah fungsi.

Impor Beras yang Memecahkan Rekor Baru

Selain masalah alih fungsi lahan, Yusuf menyoroti angka impor beras yang kian mengkhawatirkan. Proyeksi impor beras Indonesia pada 2024 diperkirakan mencapai 5,17 juta ton, yang jika terealisasi akan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah, melampaui impor beras tahun 1999 yang mencapai 4,75 juta ton. Angka ini bahkan akan menempatkan Indonesia sebagai importir beras terbesar di dunia, mengalahkan Filipina yang rata-rata mengimpor 4 juta ton per tahun.

Ketergantungan pada impor beras ini dinilai sebagai tanda lemahnya ketahanan pangan dan risiko yang tinggi terhadap politik proteksionisme global. Pada 2023, ketika Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras, sebanyak 93 persen berasal hanya dari tiga negara, yakni Thailand, Vietnam, dan Pakistan. Ketergantungan pada negara tertentu untuk pasokan beras ini berpotensi mengganggu stabilitas harga dan ketersediaan beras di dalam negeri apabila terjadi krisis global atau kebijakan proteksionisme di negara-negara tersebut.

Produksi Beras Nasional yang Kian Menurun

Tidak hanya ketergantungan pada impor, Yusuf juga menyoroti tren penurunan produksi beras nasional dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2018, produksi beras Indonesia masih berada di angka 33,9 juta ton, namun pada 2023 turun menjadi hanya 30,9 juta ton. Tren penurunan ini memperlihatkan adanya masalah struktural yang mendalam dalam sektor pertanian beras Indonesia.

Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan ini, menurut Yusuf, antara lain adalah perubahan iklim, seperti fenomena el-nino, serta ketersediaan pupuk yang semakin terbatas. Jumlah petani yang menurun dan bertambah tua serta alih fungsi lahan sawah yang masif juga turut menjadi kendala utama.

Yusuf menyebut harga beras yang terus meningkat selama tiga tahun terakhir merupakan indikator dari masalah pasokan yang serius. Jika pada awal 2022 harga beras berada di kisaran Rp11.750 per kilogram, maka pada awal 2024 sudah mencapai Rp14.550 per kilogram, dan kini di pertengahan 2024 naik menjadi Rp15.350 per kilogram.

“Satu faktor yang paling mendasar dalam penurunan produksi beras nasional yang menyebabkan impor terbesar di tahun ini adalah alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi secara masif, termasuk yang disebabkan oleh proyek strategis nasional (PSN), terutama di Jawa,” kata Yusuf.

Melihat kondisi ini, ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada peningkatan kapasitas lahan sawah yang tersisa dan mengurangi ketergantungan pada food estate yang berisiko tinggi. Ia menegaskan pentingnya mengadopsi kebijakan yang berkelanjutan dan berfokus pada perlindungan lahan serta pemberdayaan pertanian berbasis keluarga untuk mencapai swasembada pangan yang lebih kuat.

Keroyokan Kementerian dan BUMN

Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan swasembada pangan, terutama untuk beras, bisa dicapai dalam empat hingga lima tahun ke depan. Program yang jadi andalan Prabowo dalam visi misinya ini akan digarap bersama-sama oleh sejumlah kementerian dan lembaga terkait.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan Prabowo telah menugaskan Kementan dan beberapa kementerian lain untuk mendukung target swasembada pangan. Kementerian Pekerjaan Umum (PUPR) akan bertanggung jawab menyiapkan dan memperbaiki irigasi, sementara badan usaha milik negara (BUMN) akan menyediakan benih dan pupuk.

“Jika irigasi rampung, saya yakin swasembada pangan bisa terwujud dalam empat tahun,” kata Amran di kantor Kementan, Jakarta Selatan, Senin, 28 Oktober 2024.

Pekan lalu, Amran juga bertemu Menteri BUMN Erick Thohir beserta jajaran direksi BUMN klaster pangan. Dalam pertemuan itu, BUMN berjanji menyediakan benih unggul lewat PT Syang Hyang Seri dan menjaga distribusi pupuk, termasuk pupuk subsidi, melalui PT Pupuk Indonesia (Persero).

Menurut Amran, pencapaian swasembada pangan akan dilakukan lewat intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Intensifikasi dilakukan dengan memaksimalkan lahan yang ada, terutama melalui pompanisasi di daerah seperti sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, Cimanuk, dan Brantas. Selain itu, Kementan juga akan mengoptimalkan lahan rawa seluas 360.000 hektar.

Untuk ekstensifikasi, Kementan menargetkan membuka lahan sawah baru seluas 3 juta hektare di luar Jawa. Target utamanya di Merauke dengan pencetakan sawah seluas 1 juta hektare, diikuti Kalimantan Tengah dengan target 500.000 hektare dan Kalimantan Selatan seluas 300.000 hektare. Sementara, daerah lain seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, dan Aceh masing-masing ditargetkan seluas 200.000 hektare.

“Petani penggarap akan mendapat pasokan benih dan pupuk dari pemerintah. Petani yang mengelola lahan nonirigasi, akan mendapat bantuan pompa,” kata Amran.(*).