Scroll untuk baca artikel
Makro

DPR: Ekonomi Delapan Persen Butuh Penguatan Perdagangan Luar Negeri

×

DPR: Ekonomi Delapan Persen Butuh Penguatan Perdagangan Luar Negeri

Sebarkan artikel ini
Kapal Kargo Loading Dock sebelum menuju negara tujuan ekspor
Ilustrasi ekspor (Foto: Int)

KABARBURSA.COM – Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi delapan persen. Salah satu upaya mencapainya adalah memperkuat perdagangan luar negeri sebagai penopang utama ekonomi.

Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak, mengatakan perdagangan luar negeri Indonesia kini menghadapi tantangan berat di tengah kondisi ekonomi global yang melambat. Ia menyoroti penurunan nilai surplus neraca perdagangan sebagai bukti sulitnya mempertahankan pasar ekspor dalam beberapa tahun terakhir.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan surplus neraca perdagangan Indonesia terus menurun. Pada 2024 (Januari hingga September), surplus mencapai USD21,98 miliar, turun dari USD36,93 miliar di 2023 dan USD54,46 miliar di 2022.

Amin menjelaskan Indonesia masih mengandalkan ekspor komoditas mentah untuk devisa, sementara ekspor produk hilir belum menghasilkan dampak signifikan. Menurutnya, tren penurunan surplus perdagangan menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera mengadopsi strategi baru. “Diperlukan strategi baru dalam perdagangan luar negeri kita. Tren penurunan surplus neraca perdagangan dalam beberapa tahun terakhir, menjadi sinyal bahaya yang harus kita sikapi dengan kebijakan yang tepat,” ujar Amin dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com, Selasa, 29 Oktober 2024.

Meski demikian, Amin optimistis Menteri Perdagangan Budi Santoso mampu membawa terobosan dalam memperkuat perdagangan luar negeri. Optimismenya didasarkan pada pengalaman Budi yang pernah menjabat sebagai Sekjen Kemendag, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, dan atase perdagangan di India.

Amin juga menguraikan beberapa penyebab utama penurunan surplus perdagangan. Pertama, fluktuasi harga komoditas global seperti kelapa sawit, batu bara, dan karet yang memengaruhi pendapatan ekspor. Kedua, ketergantungan Indonesia pada ekspor bahan mentah yang membuat negara rentan terhadap perubahan permintaan dan harga di pasar dunia.

Ia menambahkan ketidakstabilan ekonomi global pasca-pandemi dan peningkatan proteksionisme di berbagai negara membuat Indonesia perlu cepat beradaptasi.

Faktor lain yang menyebabkan penurunan surplus adalah peningkatan impor barang modal, bahan baku, dan pangan. Menurut Amin, impor bahan baku memang penting untuk industri manufaktur, tetapi harus diimbangi dengan peningkatan ekspor produk jadi agar Indonesia tidak terus-menerus mengalami defisit perdagangan. “Impor bahan baku memang penting untuk industri manufaktur kita, tetapi mesti diimbangi peningkatan ekspor produk jadi, agar kita tidak terus terjebak dalam situasi defisit perdagangan,” jelas Amin.

Amin juga mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan. Pertama, diversifikasi ekspor. Indonesia perlu memperluas jenis produk ekspor, tidak hanya komoditas mentah, tetapi juga produk hilir bernilai tambah tinggi. Penguatan industri manufaktur dalam negeri dinilai bisa meningkatkan daya saing produk serta menciptakan lebih banyak lapangan kerja.

“Penguatan industri manufaktur dalam negeri selain untuk menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar global, juga mampu menciptakan lapangan kerja yang lebih banyak,” kata Amin.

Kedua, Amin menekankan pentingnya membuka pasar baru di wilayah yang belum banyak dijamah, seperti Afrika dan Amerika Latin. Menurutnya, kedua kawasan ini memiliki potensi besar namun belum tergarap secara maksimal. “Selain memperkuat hubungan dengan negara-negara mitra tradisional, Indonesia harus aktif menjajaki kerja sama dengan negara-negara berkembang yang memiliki permintaan produk yang sesuai dengan kapasitas kita,” ujarnya.

Selain itu, Amin mendorong pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur pendukung ekspor, seperti pelabuhan dan fasilitas logistik yang memadai. Menurutnya, efisiensi distribusi produk akan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. “Saya optimis Indonesia mampu keluar dari tekanan, asalkan kebijakan yang diambil tepat, dibarengi tindakan yang cepat dan terukur, serta kerja sama lintas sektor,” kata Amin.

Belum Punya Strategi Jelas

Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P Sasmita, mengatakan target ekonomi 8 persen Prabowo belum belum memiliki strategi yang jelas.

“Untuk saat ini, pertumbuhan 8 persen versi Prabowo sebaiknya diperlakukan hanya sebatas visi misi saja dulu, karena kita belum mendengar secara detail strateginya untuk mencapai itu seperti apa,” katanya kepada KabarBursa.com, beberapa waktu lalu.

Ronny menilai janji Prabowo untuk mencapai pertumbuhan 8 persen dalam tiga tahun pemerintahannya terdengar sangat diplomatis dan manis, tetapi tidak realistis. Ronny berkaca pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), meskipun sudah melakukan berbagai upaya dan strategi selama hampir 10 tahun untuk mengejar pertumbuhan 7 persen, dia hanya berhasil mencapai angka di kisaran 5 persen.

Ia mengatakan pemerintahan Prabowo-Gibran berpotensi terjebak dalam pola yang sama jika tidak ada perubahan kebijakan dan strategi pembangunan yang signifikan. “Jika tidak menghadirkan strategi pembangunan yang revolusioner dan perubahan kebijakan secara signifikan, pemerintahan Prabowo Gibran berpotensi meneruskan tren pertumbuhan di era Jokowi, yakni terperangkap di dalam kisaran 5 persenan,” katanya.

Untuk mencapai target 8 persen, menurut Ronny, pemerintah harus aktif terlibat dalam membangun daya saing sektor manufaktur dan jasa, serta melakukan revitalisasi sektor pertanian dan akselerasi pembangunan sumber daya manusia. “Pemerintah harus mengefektifkan belanja pemerintah di satu sisi dan memastikan bahwa belanja tersebut menghasilkan multiplier effect kepada perekonomian nasional,” katanya.

Ronny lantas mengingatkan pemerintah untuk memerangi korupsi dan pungutan liar secara serius dan berkelanjutan guna menurunkan tingkat Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia. Ia mengatakan angka 8 persen seharusnya tidak hanya diumbar, tetapi juga disertai dengan strategi dan langkah yang jelas untuk mencapainya.

“Indonesia tentu memiliki potensi mencapai itu, jika prakondisinya terpenuhi. Tapi itu di atas kertas dan sudah sejak lama dibicarakan oleh semua orang. Nyatanya sampai hari ini angka tersebut masih berada di atas kertas. Jadi Prabowo sudah tak perlu lalu membaca apa yang sudah ada di atas kertas, tapi jabarkan langkah-langkah untuk mewujudkan angka di atas kertas tersebut,” katanya.(*)