Scroll untuk baca artikel
Makro

Menakar Peluang Turunnya Suku Bunga Pinjaman China untuk Sektor Energi Indonesia

×

Menakar Peluang Turunnya Suku Bunga Pinjaman China untuk Sektor Energi Indonesia

Sebarkan artikel ini
WhatsApp Image 2024 10 29 at 22.54.05
Petugas memantau "heavy dump truck" yang menurunkan batu bara di kawasan tambang milik Adaro di Tabalong, Kalimantan Selatan, Selasa, 24 Januari 2017. Foto: Antara/Sigid Kurniawan.

KABARBURSA.COM – Pada Senin, 21 Oktober 2024, Bank Sentral China melakukan langkah baru untuk menggairahkan ekonomi negaranya. People’s Bank of China atau PBOC menurunkan suku bunga pinjaman (loan prime rate/LPR) satu tahun dari 3,35 persen menjadi 3,1 persen, sementara LPR lima tahun dipangkas menjadi 3,6 persen. Kebijakan ini diambil untuk mendorong ekonomi China yang tengah tertekan oleh perlambatan sektor properti, deflasi, dan lesunya permintaan dalam negeri.

Berdasarkan data China’s National Bureau’s of Statistics, pertumbuhan ekonomi China kembali melambat pada kuartal terakhir 2024. Produk Domestik Bruto atau PDB riil tumbuh hanya 4,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pemotongan suku bunga ini bertujuan memudahkan akses kredit bagi korporasi dan rumah tangga, memberikan insentif bagi perusahaan untuk meningkatkan produksi, dan secara keseluruhan, mendorong pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai target 5 persen pada akhir tahun.

Dampak langsung dari kebijakan ini tentu akan meningkatkan likuiditas di China sehingga mendorong arus modal kembali ke Negeri Tirai Bambu dalam jangka pendek. Hal ini memicu sentimen positif di pasar modal domestik China. Namun, bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, dampak kebijakan ini lebih kompleks dan mencakup efek langsung maupun tidak langsung.

Pada 2022, bauran energi China masih sangat didominasi oleh bahan bakar fosil. Mengutip laporan Oxford Energy, energi fosil di negara itu menyumbang 83 persen dari total konsumsi energi primer. Batubara memegang porsi terbesar, yaitu 56 persen– Badan Energi Internasional atau IEA bahkan mencatat sebesar 60 persen. Minyak bumi menempati posisi kedua dengan porsi 18 persen, sementara gas alam menyumbang sekitar 9 persen dari total konsumsi energi.

Sumber energi terbarukan, meskipun berkembang, masih memiliki porsi yang relatif kecil dalam bauran energi keseluruhan. Pembangkit listrik tenaga air (hydropower) menyumbang 8 persen, sedangkan energi terbarukan lainnya, seperti angin dan surya, hanya berkontribusi sekitar 7 persen. Energi nuklir memiliki porsi terkecil, yaitu sekitar 2 persen.

Sebagai perbandingan, pada 2021, Inggris mengandalkan bahan bakar fosil untuk 76 persen dari konsumsi energi primernya, tetapi batubara hanya menyumbang 3 persen, dengan gas alam dan minyak masing-masing sebesar 38 dan 35 persen. Bahan bakar fosil memang mendominasi struktur energi di banyak negara. Tapi di China sangat bergantung pada batubara. Meski ini menjadi faktor tingginya emisi negara tersebut, tetapi batubara juga yang memperkuat kemandirian energi China. Cadangan batubara domestik pun melimpah hingga China berhasil menjaga ketergantungan pada impor batubara, yakni hanya sekitar 10 persen dari total pasokan.

Secara langsung, Indonesia sebagai pemasok utama komoditas energi dan bahan baku lainnya bagi China berpotensi merasakan peningkatan permintaan ekspor. Data dari Kementerian Perdagangan mencatat nilai ekspor Indonesia ke China mengalami tren peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dari USD27,96 juta pada 2019 menjadi USD64,93 juta pada 2023, dengan pertumbuhan rata-rata tahunan mencapai 27,3 persen. Meski terjadi penurunan sebesar 7,73 persen pada periode Januari-Agustus 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, kebijakan suku bunga rendah diharapkan dapat memicu peningkatan permintaan ekspor dari China ke depan, terutama untuk komoditas energi seperti batubara.

China yang merupakan ekonomi industri besar, sangat tergantung pada energi dan bahan baku untuk mendukung aktivitas produksinya. Dengan lebih dari separuh kebutuhan energi nasional mereka masih berasal dari batubara, kebutuhan China akan energi dari Indonesia tetap tinggi. Banyaknya industri di China yang memanfaatkan energi ini—dari manufaktur, baja, hingga konstruksi—menjadikan komoditas energi dari Indonesia sebagai elemen vital dalam rantai pasok mereka. Pemangkasan suku bunga ini memberi ruang lebih besar bagi perusahaan di China untuk meningkatkan kapasitas produksi dengan biaya kredit yang lebih murah sehingga permintaan energi dan bahan baku dari Indonesia berpotensi meningkat.

Ekspor Batubara

Ekspor batubara Indonesia ke China menunjukkan tren yang cukup fluktuatif dalam kurun waktu lebih dari satu dekade terakhir. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2012, volume ekspor batubara Indonesia ke China tercatat sebesar 81.528 ribu ton. Angka ini mengalami peningkatan pada tahun 2013, mencapai 89.777 ribu ton. Namun, dua tahun berikutnya terjadi penurunan signifikan, dengan volume ekspor turun menjadi 49.782 ribu ton di tahun 2014 dan semakin menurun ke 36.684 ribu ton pada 2015.

Setelah masa penurunan tersebut, ekspor batubara mulai kembali mengalami kenaikan, dengan angka mencapai 50.961 ribu ton pada 2016. Tren ini berlanjut relatif stabil pada 2017 dan 2018 dengan volume sekitar 48.000-an ton per tahun. Namun, pada 2019, ekspor ke China kembali melonjak hingga mencapai 65.670 ribu ton. Kondisi ini berlanjut pada tahun 2020 dengan volume 62.492 ribu ton, meski sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

Lompatan terbesar terjadi pada 2021 ketika ekspor batubara Indonesia ke China menembus angka 108.487 ribu ton. Peningkatan yang signifikan ini mencerminkan kebutuhan energi yang besar dari China, khususnya untuk memenuhi permintaan industri yang sedang berkembang pesat saat itu. Meskipun sempat turun lagi menjadi 69.685.7 ribu ton pada 2022, ekspor batubara ke China kembali meningkat pada 2023 dengan volume sebesar 81.682.9 ribu ton.

Sementara itu, merujuk pada data Shanxi Coal, ekspor batubara Indonesia ke China selama Januari-September 2024 mencapai 388 juta ton, naik 6,1 persen dari periode yang sama tahun lalu. Selama September 2024, ekspor energi ini naik 16,73 persen atau 45,44 juta ton dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan ini juga tercatat 7,62 persen lebih tinggi dibanding bulan Agustus 2024.

Hanya Sementara

Pemangkasan suku bunga yang dilakukan Bank Sentral China diperkirakan akan memperkuat permintaan energi dan bahan baku dari Indonesia, terutama batubara, mengingat ketergantungan tinggi China pada energi fosil untuk mendukung aktivitas industrinya. Namun, para ahli mempertanyakan apakah kebijakan ini cukup berkelanjutan untuk menghadapi perlambatan ekonomi China, terutama di sektor properti, yang masih menjadi tantangan besar bagi pemerintah Tiongkok.

Senior Investment Information PT Mirae Asset Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama, mengatakan kebijakan stimulus yang diberikan pemerintah China tidak bersifat berkelanjutan. Kebijakan ini dipandang hanya sebatas untuk mewujudkan recovery perekonomian domestiknya sebagaimana yang diramal International Monetary Fund atau IMF. “Kalau hemat saya, ini bersifat sementara dan cenderung menarik arus keluar dana (outflow) dari negara-negara emerging markets (pasar negara berkembang) ke pasar Tiongkok. Tapi sekali lagi, ini hanya sementara,” ungkapnya kepada KabarBursa.com.

Nafan mengatakan investor asing biasanya lebih memilih pasar dengan perekonomian stabil, seperti Indonesia. IMF dalam laporan Policy Pivot, Rising Threats memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1 persen pada 2025, yang dianggap sebagai sinyal positif bagi investor.

Di sisi lain, Nafan menyarankan para investor menanti katalis positif bukan hanya dari kinerja laporan keuangan kuartal III emiten, melainkan juga data ekonomi domestik yang hasilnya sesuai atau bahkan di atas ekspektasi. “Itu akan bagus untuk mengarahkan pasar modal kita. Itu juga bisa menantikan terkait bagaimana pergerakannya tukar rupiah mulai mengalami penguatan. Jadi biasanya kalau rupiah menguat ada tanda-tanda terjadi inflow karena pasar obligasi kita juga menguatkan,” katanya.

Durian Runtuh untuk Sektor Energi

Head of Research PT Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas, mengatakan pemangkasan suku bunga oleh PBOC memberikan durian runtuh bagi sektor energi Indonesia, terutama komoditas batubara. China, yang sangat bergantung pada energi fosil, khususnya batubara, untuk mendukung kebutuhan industrinya, diprediksi akan meningkatkan permintaan terhadap energi dari Indonesia. Kebijakan ini memberi peluang bagi Indonesia untuk memperkuat ekspor energinya, seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi perusahaan-perusahaan China berkat biaya kredit yang lebih rendah.

Pada 2023, Indonesia mengekspor sekitar 43 persen batubara termalnya ke Tiongkok atau mencapai 502,9 juta metrik ton. Ini menjadikan Indonesia sebagai pemasok utama untuk kebutuhan energi di negara itu. Sukarno mengatakan kebijakan penurunan suku bunga China bisa berdampak positif bagi Indonesia meski tidak terjadi secara langsung. “(Ini) berpeluang akan meningkatkan permintaan energi, yang nantinya ekspor kita bisa meningkat ke China dari sisi komoditasnya,” kata Sukarno kepada KabarBursa.com.

4786af54 fc68 4fd6 976f 7c702d7b0515 w1597 n r1 st s
Para pekerja tambang mengoperasikan truk dan mesin di tambang batu bara milik PT Exploitasi Energi Indonesia Tbk di kabupaten Palaran, Samarinda, Kalimantan Timur. Foto: Reuters/Zevanya Suryawan.

Meski kebijakan pemangkasan suku bunga membuat China tampak lebih prospektif bagi investor asing, Sukarno sepakat dengan Nafan bahwa peralihan dana ke China hanya bersifat sementara. “Dampak outflow sepertinya hanya jangka pendek,” kata dia.

ADRO Bersiap Manfaatkan Peluang

Peningkatan permintaan energi dari China, yang didorong oleh kebijakan pemangkasan suku bunga oleh PBOC, membuka peluang besar bagi eksportir batubara Indonesia. Sebagai salah satu pemasok utama batubara termal untuk China, Indonesia berpotensi memperkuat ekspornya seiring dengan melonjaknya kebutuhan energi di Negeri Tirai Bambu. Beberapa perusahaan energi, seperti PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), kini bersiap memanfaatkan peluang tersebut dengan menjaga peningkatan ekspor mereka ke China pada 2024.

Hingga kuartal I 2024, ADRO mencatat peningkatan ekspor batubara ke China sebesar 15 persen.”Dan pada semester I 2024 penjualan batubara Adaro ke China naik menjadi 18 persen,” kata Head of Communication Adaro, Febriati Nadira, kepada KabarBursa.com, Senin, 28 Oktober 2024.

Febri mengatakan perseroan akan terus menjaga peluang yang ada seiring kebijakan moneter China yang berupaya meningkatkan likuiditas domestik. ADRO pun berkomitmen memenuhi permintaan pelanggan dengan kontrak jangka panjang. Hal itu tak lepas dari tingginya target penjualan perusahaan yang dipimpin oleh Boy Thohir ini. Pada 2024, misalnya, ADRO menargetkan penjualan mencapai 65 juta hingga 67 juta ton, terdiri dari 61 juta hingga 62 juta ton batubara termal dan 4,9 juta hingga 5,4 juta ton batubara metalurgi dari PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR).

tambang batu bara pt adaro indonesia 169
Pertambangna batubara ADRO. Foto: Dok. Adaro.

Febri menjelaskan perubahan kebijakan di China berpotensi memengaruhi harga komoditas global. Setiap kebijakan baru di China yang memengaruhi permintaan energi dapat menyebabkan fluktuasi harga komoditas, termasuk batubara. Meski begitu, menurut Febri, harga batubara adalah faktor di luar kendali. ADRO pun akan tetap fokus pada aspek yang bisa dikontrol, seperti operasional perusahaan untuk memastikan pencapaian target dan efisiensi biaya.

“ADRO juga terus berupaya mengembangkan dan mendiversifikasi bisnis untuk meningkatkan kontribusi dari bidang non batubara termal dengan terus berperan aktif dalam proyek mineral dan energi terbarukan,” kata Febri.

Keuntungan dan Risiko Ketergantungan Indonesia pada Pasar China

Di tengah upaya sejumlah negara besar mengurangi ketergantungan mereka terhadap China, Indonesia justru semakin mendekatkan diri dengan ekonomi Negeri Tirai Bambu. Ketergantungan ini menjadi semakin nyata seiring kebijakan pemangkasan suku bunga yang dilakukan China, yang berpotensi mendorong peningkatan permintaan ekspor komoditas energi dari Indonesia, terutama batubara.

Namun, ketergantungan yang tinggi pada satu pasar utama seperti China bukan tanpa risiko. Meskipun kebijakan ini memberikan peluang bagi sektor energi Indonesia, ketergantungan yang semakin besar ini juga menghadirkan tantangan, terutama jika kondisi ekonomi atau kebijakan China mengalami perubahan mendadak. Sebelum lebih jauh, mari kita telaah peluang dan risiko dari ketergantungan Indonesia pada China.

Sejak Donald Trump memulai perang dagang dengan China pada 2018, Amerika Serikat (AS) perlahan-lahan mengurangi keterlibatannya dengan China. AS mengambil sejumlah langkah strategis, termasuk merelokasi industri ke negara-negara di Asia dan Eropa Timur. Selain itu, AS juga mendorong kebijakan rendah karbon untuk melemahkan dominasi China atas bahan baku penting bagi kendaraan dan baterai listrik, seperti litium, kobalt, nikel, dan magnesium.

AS bahkan meluncurkan UU Cip dan Ilmu Pengetahuan untuk meningkatkan daya saing di bidang semikonduktor, riset, dan sumber daya manusia dengan anggaran miliaran dollar AS. Sementara itu, Jepang memperkuat kerja sama dengan Uni Eropa dan negara-negara di Timur Tengah, khususnya dalam penelitian, pengembangan, serta pemurnian logam tanah jarang. Komoditas ini sangat penting sebagai bahan dasar teknologi canggih, seperti cip, telepon pintar, alat militer, kendaraan listrik, dan turbin angin.

Data Survei Geologi AS (USGS) menunjukkan pada 2022, China menghasilkan 44 juta ton dari 115,82 juta ton logam tanah jarang dunia, atau sekitar 62 persen. Dominasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa China bisa membatasi ekspornya demi melemahkan saingan ekonomi atau politiknya. Menurut Robert Dujarric dari Institute of Contemporary Asian Studies di Tokyo, ancaman ini yang awalnya hanya tersirat, kini mulai menjadi kenyataan.

Penelitian China in the World pada 2022 mengungkapkan pengaruh China terhadap AS dan Jepang relatif rendah, masing-masing berada di peringkat ke-21 dan ke-52 dari 82 negara yang dikaji. Sebaliknya, negara-negara dengan ketergantungan terbesar pada China di antaranya Pakistan, Kamboja, Singapura, dan Thailand.

Di sisi lain, ketergantungan Indonesia pada China meningkat seiring kebijakan hilirisasi di sektor besi-baja dan nikel. Ekspor Indonesia ke China pun semakin beragam, terutama dengan bertambahnya produk olahan berbasis bijih logam. Penelitian China in the World menunjukkan tingkat pengaruh China terhadap Indonesia cukup besar, menempatkan Indonesia di peringkat ke-16 dari 82 negara. Beberapa sektor yang paling terpengaruh oleh China adalah kebijakan luar negeri dengan indeks 41 persen, teknologi 40,38 persen, kebijakan dalam negeri 37,2 persen, dan ekonomi 33,6 persen.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengingatkan jika Indonesia terus mengandalkan pasar China, risiko besar bisa mengancam. Jika terjadi gangguan di China, industri dalam negeri akan terdampak langsung. Oleh karena itu, diversifikasi pasar ekspor komoditas bernilai tambah menjadi langkah penting untuk menjaga kestabilan.

Meskipun ada risiko, ketergantungan Indonesia pada China juga memberikan dampak positif. Selama hampir empat tahun terakhir, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China terus berkurang secara bertahap. Data BPS menunjukkan bahwa pada 2021, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan China sebesar USD2,445 juta, dengan total ekspor ke China mencapai USD53,781 juta dan impor dari China tercatat lebih tinggi, yaitu USD56,227 juta.

Pada 2022, defisit ini menyusut menjadi USD1,883 juta. Ekspor Indonesia mengalami peningkatan signifikan menjadi USD65,839 juta, meskipun impor dari China juga naik menjadi USD67,722 juta. Peningkatan ekspor ini membantu mengurangi defisit dibandingkan tahun sebelumnya.

Memasuki 2023, Indonesia berhasil mencatat surplus perdagangan dengan China sebesar USD2,057 juta, sebuah perubahan positif dalam hubungan dagang kedua negara. Walaupun ekspor sedikit menurun menjadi USD64,938 juta, penurunan impor yang lebih besar menjadi USD62,880 juta membawa Indonesia ke posisi surplus.

Menurut Direktur Eksekutif Next Policy, Fithra Faisal Hastiadi, kemitraan dengan China membawa keuntungan bagi Indonesia di bidang investasi dan perdagangan. Namun, ketergantungan berlebihan bisa membuat Indonesia rentan terhadap perlambatan ekonomi di China.

Di tengah penguatan hubungan antarnegara dengan kesamaan pandangan politik dan ekonomi, Indonesia diharapkan bisa mencari peluang kerja sama investasi dan perdagangan yang lebih luas, baik dengan negara-negara di blok Barat maupun Timur. “Syaratnya, Indonesia harus tetap independen, terbuka, dan mendasarkan diplomasi perdagangan pada asas pertemanan,” katanya.(*)

 

Andi Hidayat berkontribusi dalam penulisan artikel ini.