KABARBURSA.COM – Keunggulan Wakil Presiden Kamala Harris atas Donald Trump semakin tipis menjelang pemilu AS, dengan selisih hanya satu poin, yakni 44 persen untuk Harris dan 43 persen untuk Trump. Laporan elektabilitas berdasarkan jajak pendapat Reuters/Ipsos yang dirilis pada Selasa, 29 Oktober 2024. Survei tiga hari yang selesai pada Minggu tersebut menunjukkan persaingan yang sangat ketat menjelang pemungutan suara pada 5 November, dengan margin kesalahan sekitar tiga poin.
Dilansir dari Reuters, Rabu, 30 Oktober 2024, sejak memasuki pemilihan pada Juli, Harris terus memimpin dalam jajak pendapat Reuters/Ipsos. Namun, keunggulannya terhadap Trump mulai menipis sejak akhir September. Dalam survei sebelumnya, yang dilakukan pada 16-21 Oktober, Harris unggul dua poin atas mantan Presiden Trump.
Jajak pendapat terbaru, yang melibatkan 1.150 warga AS dewasa, termasuk 975 pemilih terdaftar, menunjukkan Trump memiliki keunggulan dalam sejumlah isu penting di mata pemilih.
Ketika ditanya siapa yang memiliki kebijakan lebih baik dalam hal ekonomi, pengangguran, dan pekerjaan, 47 persen memilih Trump, dibandingkan 37 persen yang mendukung Harris. Trump telah unggul dalam isu ekonomi sepanjang kampanye, dengan 26 persen pemilih menyebut lapangan kerja dan ekonomi sebagai masalah utama negara, diikuti oleh ekstremisme politik (24 persen) dan imigrasi (18 persen).
Keunggulan terbesar Trump tampak pada isu imigrasi, di mana ia mengusulkan kebijakan keras, termasuk deportasi massal bagi migran ilegal. Sebanyak 48 persen pemilih mendukung pendekatan Trump pada imigrasi, dibandingkan 33 persen yang memilih Harris.
Harris sedikit lebih unggul dalam menangani ekstremisme politik dan ancaman terhadap demokrasi, meskipun keunggulan ini menyusut. Sebanyak 40 persen pemilih menganggap pendekatan Harris lebih baik, sementara 38 persen memilih Trump, dengan selisih hanya dua poin dari sebelumnya tujuh poin pada survei 16-21 Oktober.
Selama kampanye, Harris menekankan peran Trump dalam kerusuhan Capitol pada 6 Januari 2021, saat pendukungnya mencoba membalikkan kekalahan pemilu 2020. Pada Selasa, Harris dijadwalkan berpidato besar terakhir sebelum pemilu di lokasi tempat Trump mengumpulkan pendukungnya sebelum kerusuhan.
Sementara itu, Trump membalas dengan menyatakan bahwa pandangan Harris terlalu ekstrem dan cenderung membawa AS menuju pengambilalihan institusi secara sosialis.
Meski Harris unggul tipis, keunggulan ini mungkin tidak cukup untuk memenangi pemilu, mengingat pemenang ditentukan melalui hasil Electoral College, bukan suara terbanyak secara nasional. Pemilu kali ini kemungkinan akan diputuskan oleh tujuh negara bagian kunci.
Trump sebelumnya menang atas Hillary Clinton dalam pemilu 2016, meskipun Clinton unggul dua poin dalam perolehan suara nasional. Saat ini, jajak pendapat menunjukkan bahwa Harris dan Trump bersaing ketat di negara-negara bagian penting tersebut.
Dengan persaingan yang sengit, keberhasilan kedua kandidat dalam memastikan para pendukungnya untuk datang ke TPS bisa menjadi kunci kemenangan. Dalam pemilu 2020, sekitar dua pertiga warga AS dewasa ikut memilih, angka tertinggi dalam lebih dari seabad.
Survei terbaru menunjukkan 89 persen pemilih terdaftar dari Partai Demokrat dan 93 persen dari Partai Republik sangat yakin akan memberikan suara mereka.
Angka ini menunjukkan antusiasme yang lebih tinggi dibandingkan empat tahun lalu, di mana 74 persen Demokrat dan 79 persen Republik yakin akan memilih. Di antara pemilih yang paling berpotensi datang ke TPS, Harris juga unggul tipis satu poin atas Trump, yakni 47 persen berbanding 46 persen.
AS Terancam Pecah
Di sisi lain, rasa frustrasi terhadap pemerintah federal AS yang dipandang boros dan terlalu campur tangan semakin meluas, tidak hanya di kalangan elite politik dan pengusaha, tetapi juga di sejumlah wilayah di AS. Salah satu ekspresi paling kuat dari ketidakpuasan ini datang dari Texas, di mana Gerakan Nasionalis Texas kini semakin gencar menyuarakan keinginan untuk berpisah dari AS.
Ketua Gerakan Nasionalis Texas, Daniel Miller, mengungkapkan sekitar 25 negara bagian kini siap untuk berpisah dari Amerika Serikat (AS). Sentimen pemisahan ini dipicu kembali oleh sengketa integritas pemilu 2020 yang semakin menguat menjelang Pemilu AS mendatang, terutama di tengah krisis perbatasan selatan. Gerakan Nasionalis Texas yang mendorong agar Texas berpisah dari Amerika kini semakin mendapatkan momentum.
Kolumnis Newsmax dan komentator politik konservatif AS, Michael Shannon, mengatakan pemisahan ini didorong oleh campur tangan berlebihan dari pemerintahan Biden-Harris, mulai dari upaya hukum terhadap Trump hingga propaganda transgender yang dianggapnya memecah belah.
Shannon menyebut kebijakan seperti ini diikuti dengan mandat pemerintah federal agar pria yang mengidentifikasi sebagai wanita dapat bertanding dalam olahraga wanita, penangkapan terhadap pengunjuk rasa anti-aborsi, serta perburuan politik terhadap peserta kerusuhan 6 Januari yang bahkan merambah hingga ke para lansia.
“(Ini) menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi Partai Republik, kaum konservatif, dan independen yang masih menghormati hukum,” kata Shannon, dikutip dari Sputnik, Selasa, 29 Oktober 2024.
Meski Shannon memperkirakan pemisahan Texas mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat, ia tak menutup kemungkinan beberapa negara bagian berhaluan merah akan berupaya meninggalkan AS jika Kamala Harris memenangkan pemilu. “Jika perpecahan nyata terjadi, kemungkinan akan dimulai dengan Ron DeSantis di Florida yang menolak bekerjasama dengan lembaga federal,” ujarnya.
Berdasarkan jajak pendapat YouGov Februari lalu, sekitar 23 persen warga Amerika mendukung pemisahan negara bagian mereka dari AS, sementara 28 persen mendukung jika negara bagian lain berpisah. Sebanyak 51 persen warga menolak tegas pemisahan, sedangkan 27 persen sisanya belum memiliki kepastian.
Data survei lainnya menunjukkan perpecahan nasional terjadi sepanjang garis partai, dengan perbedaan yang mencolok antara pandangan Demokrat dan Republik saat ini dibandingkan satu dekade lalu. Februari lalu, anggota parlemen dari Partai Republik, Marjorie Taylor Greene, bahkan menyerukan ‘perceraian nasional’ antara negara bagian Demokrat dan Republik.(*)