Scroll untuk baca artikel
Makro

Dolar AS Melemah Dipicu Ketidakpastian Pemilu dan Data Ekonomi

×

Dolar AS Melemah Dipicu Ketidakpastian Pemilu dan Data Ekonomi

Sebarkan artikel ini
dolar as jpg
DOLAR AS - Nilai tukar rupiah kembali tertekan terhadap dolar AS yang tercatat melemah pada penutupan perdagangan Jumat, 13 Desember 2024. (Foto: Antara)

KABARBURSA.COM – Dolar Amerika Serikat terus melemah akibat ketidakpastian pemilu AS dan data makroekonomi yang ternyata lebih kuat dari perkiraan, serta rilis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Inggris.

Pelemahan ini juga diperparah oleh ketidakpastian menjelang rilis data ketenagakerjaan AS dan pemilihan presiden pekan depan.

Menurut laporan Reuters, Indeks Dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan dolar terhadap sekeranjang enam mata uang utama lainnya, sempat naik menjadi 104,43 di awal sesi.

Namun, indeks tersebut akhirnya turun 0,17 persen menjadi 104,06. Indeks ini telah menyentuh level tertingginya sejak akhir Juli pada angka 104,63 sehari sebelumnya.

Data terbaru menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat tumbuh pada tingkat tahunan 2,8 persen di kuartal ketiga 2024, sedikit di bawah prediksi para ekonom yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 3 persen.

Sementara itu, laporan ADP National Employment Report menunjukkan lonjakan pertumbuhan payrolls sektor swasta AS pada Oktober, mengatasi kekhawatiran akan gangguan temporer akibat badai dan aksi mogok buruh. Kenaikan lapangan kerja ini memicu harapan bahwa ekonomi AS tetap tangguh.

Namun, sentimen pasar tetap terbagi antara optimisme terkait data ekonomi dan kekhawatiran menjelang rilis data ketenagakerjaan AS pada hari Jumat, 1 November 2024.

Chief Market Strategist Marc Chandler, di Bannockburn Global Forex, mengatakan bahwa ketidakpastian terkait data ketenagakerjaan dan pemilihan presiden AS telah mendorong para pelaku pasar untuk melakukan penyesuaian posisi.

Uto Shinohara, analis dari Mesirow Currency Management di Chicago, menambahkan bahwa pasar masih memperkirakan adanya pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan Federal Reserve mendatang. Namun, pemangkasan suku bunga lebih lanjut di Desember masih menjadi pertanyaan, tergantung pada kondisi lapangan kerja dan data ketenagakerjaan yang akan dirilis.

Pemilu presiden AS yang akan digelar pada 5 November menjadi faktor utama yang menambah volatilitas di pasar mata uang. Persaingan ketat antara kandidat Partai Republik, Donald Trump, dan kandidat Demokrat, Kamala Harris, telah menciptakan ketidakpastian yang berpengaruh terhadap dolar AS.

Kebijakan ekonomi Trump, yang cenderung proteksionis dan inflasioner, dipandang oleh pasar sebagai faktor yang bisa memicu perubahan signifikan dalam nilai dolar di masa mendatang.

Di tengah meningkatnya spekulasi bahwa Trump mungkin memenangkan pemilu, pasar juga melihat adanya potensi ketidakpastian terhadap kebijakan ekonomi AS pasca-pemilu. Namun, dampak jangka pendek terhadap dolar akan sangat bergantung pada rilis data ketenagakerjaan AS yang dapat memberikan panduan lebih jelas mengenai langkah kebijakan Federal Reserve.

APBN Inggris dan Pengaruhnya pada Sterling

Selain faktor internal di AS, pelemahan dolar juga didorong oleh rilis APBN Inggris yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Inggris Rachel Reeves.

Sterling sempat merosot sebanyak 0,6 persen selama penyampaian APBN, namun kembali stabil dan terakhir tercatat turun hanya 0,34 persen menjadi USD1,2971.

Langkah pemerintah Inggris untuk tetap menjalankan kebijakan fiskal yang ketat telah membantu menjaga kepercayaan investor, meski dampak terhadap pasar obligasi tetap terasa.

Anggaran ini menegaskan kembali komitmen pemerintah Inggris untuk memperbaiki keuangan publik setelah krisis yang dipicu oleh kebijakan pemotongan pajak yang diterapkan oleh Perdana Menteri Liz Truss dua tahun lalu.

Pengaruh Data Ekonomi Eropa dan Australia

Di zona euro, data pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat dari perkiraan juga berkontribusi terhadap pelemahan dolar. Ekonomi zona euro tercatat tumbuh sebesar 0,4 persen pada kuartal ketiga, lebih tinggi dari prediksi 0,2 persen para ekonom.

Data inflasi yang lebih kuat di beberapa wilayah Jerman juga menyebabkan spekulasi bahwa Bank Sentral Eropa mungkin akan menunda pemotongan suku bunga yang diperkirakan pada Desember mendatang.

Sementara itu, di Australia, dolar Australia sempat mencapai level terendah sejak Agustus setelah data inflasi menunjukkan penurunan ke level terendah dalam 3,5 tahun. Namun, mata uang tersebut berhasil bangkit dan menguat 0,26 persen menjadi USD0,6577.

Pelemahan dolar AS kali ini dipicu oleh sejumlah faktor, mulai dari rilis data ekonomi yang bervariasi, ketidakpastian menjelang rilis data ketenagakerjaan, hingga dinamika politik terkait pemilu AS.

Meskipun data ekonomi menunjukkan ketangguhan pasar tenaga kerja, ketidakpastian seputar kebijakan Federal Reserve dan dampak pemilu membuat dolar AS berada di bawah tekanan. Di sisi lain, mata uang lain seperti sterling, euro, dan dolar Australia, mengalami penguatan akibat pengaruh data ekonomi dan kebijakan fiskal di negara masing-masing.

Dengan fokus pasar yang tertuju pada data ketenagakerjaan dan hasil pemilu, pergerakan dolar AS masih akan berpotensi volatil dalam beberapa hari ke depan.(*)