KABARBURSA.COM – Ekonomi Amerika Serikat (AS) berhasil mempertahankan laju pertumbuhan yang solid pada kuartal ketiga. Ini terjadi karena inflasi yang semakin terkendali serta kenaikan upah yang signifikan, mendorong peningkatan belanja konsumen menjelang pemilu presiden yang diprediksi akan sengit, berfokus pada isu-isu ekonomi.
Produk domestik bruto (PDB) AS naik sebesar 2,8 persen dalam laju tahunan pada kuartal lalu, menurut laporan awal Biro Analisis Ekonomi Departemen Perdagangan. Proyeksi ekonom yang disurvei oleh Reuters memprediksi kenaikan sebesar tiga persen.
The Business Times, Kamis, 31 Oktober 2024, melaporkan bahwa perkiraan tersebut bervariasi antara dua hingga 3,5 persen. Pada kuartal kedua, ekonomi tumbuh sebesar tiga persen. Laju ini jauh di atas proyeksi pejabat Federal Reserve yang menilai tingkat pertumbuhan non-inflasi di sekitar 1,8 persen.
Perkiraan awal PDB ini dirilis kurang dari seminggu sebelum pemilih Amerika menuju TPS pada 5 November untuk memilih antara Wakil Presiden Kamala Harris dari Partai Demokrat dan mantan presiden Donald Trump.
Jajak pendapat menunjukkan persaingan ketat antara kedua kandidat. Warga Amerika yang konsisten menyatakan ekonomi sebagai isu utama, merasa kesal dengan harga pangan dan perumahan yang tinggi. Meskipun begitu, ekonomi tetap stabil, menepis perkiraan resesi, dan masih lebih baik dibandingkan banyak negara lain.
Hasil survei juga menunjukkan Trump unggul dalam hal pengelolaan ekonomi, termasuk dalam jajak pendapat Reuters/IPSOS terbaru yang dirilis pada Selasa.
ketidakpastian menjelang rilis data ketenagakerjaan AS
Dolar Amerika Serikat terus melemah akibat ketidakpastian pemilu AS dan data makroekonomi yang ternyata lebih kuat dari perkiraan, serta rilis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Inggris.
Pelemahan ini juga diperparah oleh ketidakpastian menjelang rilis data ketenagakerjaan AS dan pemilihan presiden pekan depan.
Menurut laporan Reuters, Indeks Dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan dolar terhadap sekeranjang enam mata uang utama lainnya, sempat naik menjadi 104,43 di awal sesi.
Namun, indeks tersebut akhirnya turun 0,17 persen menjadi 104,06. Indeks ini telah menyentuh level tertingginya sejak akhir Juli pada angka 104,63 sehari sebelumnya.
Data terbaru menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat tumbuh pada tingkat tahunan 2,8 persen di kuartal ketiga 2024, sedikit di bawah prediksi para ekonom yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 3 persen.
Sementara itu, laporan ADP National Employment Report menunjukkan lonjakan pertumbuhan payrolls sektor swasta AS pada Oktober, mengatasi kekhawatiran akan gangguan temporer akibat badai dan aksi mogok buruh. Kenaikan lapangan kerja ini memicu harapan bahwa ekonomi AS tetap tangguh.
Namun, sentimen pasar tetap terbagi antara optimisme terkait data ekonomi dan kekhawatiran menjelang rilis data ketenagakerjaan AS pada hari Jumat, 1 November 2024.
Chief Market Strategist Marc Chandler, di Bannockburn Global Forex, mengatakan bahwa ketidakpastian terkait data ketenagakerjaan dan pemilihan presiden AS telah mendorong para pelaku pasar untuk melakukan penyesuaian posisi.
Uto Shinohara, analis dari Mesirow Currency Management di Chicago, menambahkan bahwa pasar masih memperkirakan adanya pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan Federal Reserve mendatang. Namun, pemangkasan suku bunga lebih lanjut di Desember masih menjadi pertanyaan, tergantung pada kondisi lapangan kerja dan data ketenagakerjaan yang akan dirilis.
Pemilu presiden AS yang akan digelar pada 5 November menjadi faktor utama yang menambah volatilitas di pasar mata uang. Persaingan ketat antara kandidat Partai Republik, Donald Trump, dan kandidat Demokrat, Kamala Harris, telah menciptakan ketidakpastian yang berpengaruh terhadap dolar AS.
Kebijakan ekonomi Trump, yang cenderung proteksionis dan inflasioner, dipandang oleh pasar sebagai faktor yang bisa memicu perubahan signifikan dalam nilai dolar di masa mendatang.
Di tengah meningkatnya spekulasi bahwa Trump mungkin memenangkan pemilu, pasar juga melihat adanya potensi ketidakpastian terhadap kebijakan ekonomi AS pasca-pemilu. Namun, dampak jangka pendek terhadap dolar akan sangat bergantung pada rilis data ketenagakerjaan AS yang dapat memberikan panduan lebih jelas mengenai langkah kebijakan Federal Reserve.
APBN Inggris dan Pengaruhnya pada Sterling
Selain faktor internal di AS, pelemahan dolar juga didorong oleh rilis APBN Inggris yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Inggris Rachel Reeves.
Sterling sempat merosot sebanyak 0,6 persen selama penyampaian APBN, namun kembali stabil dan terakhir tercatat turun hanya 0,34 persen menjadi USD1,2971.
Langkah pemerintah Inggris untuk tetap menjalankan kebijakan fiskal yang ketat telah membantu menjaga kepercayaan investor, meski dampak terhadap pasar obligasi tetap terasa.
Anggaran ini menegaskan kembali komitmen pemerintah Inggris untuk memperbaiki keuangan publik setelah krisis yang dipicu oleh kebijakan pemotongan pajak yang diterapkan oleh Perdana Menteri Liz Truss dua tahun lalu.(*)