KABARBURSA.COM – Setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS, salah satu kebijakan utama yang menjadi sorotan adalah rencana tarif impor yang berpotensi memperburuk inflasi dan mempengaruhi harga barang-barang konsumsi.
Trump telah mengusulkan tarif antara 10 persen hingga 20 persen untuk semua barang impor. Bahkan ada kemungkinan tarif setinggi 60 persen hingga 100 persen untuk produk dari Tiongkok.
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran besar bagi para pelaku industri, konsumen, dan analis pasar, karena dampaknya terhadap harga barang dan ekonomi AS secara keseluruhan.
Di tengah mulai meredanya inflasi yang telah menekan ekonomi selama beberapa tahun terakhir, proposal tarif Trump diprediksi akan menjadi tantangan baru.
National Retail Federation (NRF), sebuah asosiasi perdagangan ritel, mengingatkan bahwa kenaikan tarif ini bisa berdampak besar pada harga barang konsumsi sehari-hari.
CEO NRF Matthew Shay, menyatakan bahwa tarif yang diterapkan secara luas pada barang-barang konsumen sama saja dengan memberlakukan pajak baru pada keluarga Amerika. Hal ini yang kemudian akan mendorong inflasi dan menyebabkan kenaikan harga yang signifikan, serta potensi kehilangan pekerjaan di sektor ritel.
Sebuah studi NRF bahkan menunjukkan bahwa tarif yang diusulkan dapat menyebabkan lonjakan harga dua digit di enam kategori ritel utama, termasuk pakaian, alas kaki, furnitur, peralatan rumah tangga, barang perjalanan, dan mainan.
Kenaikan harga untuk pakaian saja bisa mencapai 12,5 persen hingga 20,6 persen. Dampak ini tentunya akan dirasakan langsung oleh konsumen Amerika yang sudah berjuang menghadapi harga tinggi selama beberapa tahun terakhir.
Dilema Besar bagi Industri dan Konsumen
Bagi banyak perusahaan, tarif ini menimbulkan dilema besar. Tarang Amin, CEO E.l.f. Beauty, salah satu perusahaan kosmetik yang bergantung pada Tiongkok untuk produksinya, mengatakan bahwa jika tarif ini diterapkan, perusahaan terpaksa akan menaikkan harga.
Meski demikian, E.l.f. telah mulai mendiversifikasi rantai pasokannya, dengan mengurangi ketergantungan pada Tiongkok dari hampir 100 persen menjadi di bawah 80 persen.
Selain itu, Neil Saunders, managing director GlobalData, dalam catatan risetnya menyebutkan bahwa tarif ini akan menyebabkan “sakit kepala besar” bagi peritel, karena biaya tambahan ini pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen.
Saunders juga menegaskan, bahwa peritel akan berada di posisi sulit, harus memilih antara menanggung kerugian besar pada margin keuntungan mereka atau menaikkan harga yang artinya berisiko memperlambat pertumbuhan volume penjualan.
Selanjutnya, bagaimana peritel akan terpengaruh oleh kebijakan ini bergantung pada sumber barang-barang mereka dan kemampuan dalam menaikkan harga atau menyerap biaya tambahan.
Menurut analis Bank of America Lorraine Hutchinson, beberapa perusahaan seperti Five Below, Crocs, dan Skechers, memiliki eksposur besar karena lebih dari 20 persen barang mereka diproduksi di Tiongkok. Akibatnya, perusahaan-perusahaan ini akan kesulitan untuk menyerap beban tarif dan kemungkinan besar akan menurunkan peringkat kinerja saham mereka.
Sebaliknya, perusahaan seperti Bath & Body Works, yang 85 persen produksinya berbasis di Amerika Utara, akan lebih sedikit terpengaruh oleh tarif baru ini.
Namun, bagi perusahaan dengan margin keuntungan rendah, seperti Dollar Tree, yang bisnisnya bergantung pada model harga tetap, situasi menjadi jauh lebih rumit. Dollar Tree harus memilih antara menanggung beban biaya atau mengubah model harga yang telah lama mereka pertahankan.
Bagi konsumen, dampak tarif ini menjadi sangat jelas. Harga barang-barang yang mereka beli sehari-hari bisa melonjak, mulai dari perbaikan mobil hingga mainan anak-anak, semuanya akan terpengaruh.
AutoZone, salah satu perusahaan suku cadang mobil, sudah mengumumkan rencana untuk menaikkan harga jika tarif diterapkan. Sementara, produsen makanan dan minuman seperti Constellation Brands (pembuat bir Corona dan Modelo) serta Mondelez (produsen Oreo) juga dihadapkan pada potensi kenaikan biaya produksi.
Kenaikan harga juga diantisipasi untuk produk-produk alas kaki, di mana 99 persen dari semua sepatu yang dijual di AS diproduksi di luar negeri.
Matt Priest, CEO Footwear Distributors and Retailers of America, menyatakan skeptisisme tentang kemampuan AS untuk memproduksi sepatu dalam jumlah besar di dalam negeri, bahkan jika tarif tinggi diberlakukan.
Di tengah semua ketidakpastian ini, ada sedikit harapan bahwa retorika tarif yang keras mungkin hanya strategi negosiasi. Sementara, kebijakan final yang diimplementasikan akan lebih moderat. Meski demikian, dampak jangka pendek dari kebijakan tarif ini diperkirakan akan sangat mengganggu, khususnya bagi perusahaan yang sangat bergantung pada impor dari Tiongkok.
Secara keseluruhan, dengan inflasi yang baru saja mulai mereda, kebijakan tarif yang keras akan menjadi tantangan besar bagi ekonomi AS.
Konsumen, yang sudah lelah dengan kenaikan harga mungkin akan semakin sulit menyesuaikan diri dengan kenaikan harga yang lebih lanjut apabila tarif ini benar-benar diterapkan.
Apapun hasil akhirnya, jelas bahwa industri ritel akan berada di bawah tekanan besar untuk menavigasi situasi yang semakin rumit ini, sementara konsumen mungkin harus bersiap menghadapi harga yang lebih tinggi di banyak barang kebutuhan sehari-hari.(*)